Pages

Tuesday, August 17, 2010

Potret Indah Negriku..





Aku berjalan perlahan menapaki lorong panjang yang tidak diimbuhi cahaya.

Suara jantungku bersautan dengan suara gigi yang beradu. Belum lagi keringat yang lahir dari rahim pori-pori membuat suasana malam ini begitu tegang.

Aku sendiri disini dengan menggenggam lampu senter yang baru saja padam. Sial betul jurik malam yang menjadi acara wajib penerimaan mahasiswa baru di kampusku minggu lalu. Acara itu telah menghabiskan batere senterku dan terpujilah wahai kau kecerobohan, yang tidak memeriksa ulang keadaan batere sehingga hari ini, tepatnya malam ini, aku berjalan dalam kandungan gulita.

Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh, jarum-jarum dalam penunjuk waktu terus berjalan. Sebentar lagi tepat tengah malam, aku akan memberikan makanan untuk rasa penasaranku yang semakin kerontang.

Seluruh suara di luaran sana sibuk membicarakan tentang pusaka negara ini. Katanya,salah satu harta negara itu kini tidak lagi menggantung manis di sebuah dinding baja, melainkan tergolek didalam suatu peti.

Berita dari para burung yang terbang dan mendaratkan tahi mereka sembarangan itu jelas menggemparkan masyarakat. Berbagai teori konspirasi muncul. Dari mulai Lukisan kebanggaan negara itu lenyap di curi oleh gerombolan si berat dari Rusia, atau Gambar itu kini telah ada di museum kaca di Perancis. Terlalu banyak hipotesa yang ada. Rakyat dan media yang menanyakan berita itu juga telah dipatahkan oleh pemerintah.

Dengan jawaban "Lukisan kebanggaan negara kita sedang mengalami perbaikan. Akan segera kami sampaikan kemudian setelah Gambar negara kita itu sudah kembali mulus dan sehat" kira-kira begitu kata juru bicara presiden berbadan gemuk, dengan tinggi badan seadanya, kumis melintir, serta kulit kecoklatan.

He? Sehat? Siapa yang sakit pula pikirku. Tapi sudahlah, jawaban dari pemerintah memang rata-rata mengambang dan aku sudah terlalu kenyang dengan janji-janji hebat saat mengharapkan suara, lalu beralih muka setelah meraja.

Aku bukan anak seorang tokoh politik atau bahkan tertarik pada kehidupan pemerintahan. Aku juga bukan pria patah hati yang sehingga menjadi sedemikian gila menerobos museum nasional pukul 10 malam. Aku hanya anak bangsa biasa yang merasa ingin tau kekayaan negaranya. Yang tidak hanya mengenyot jempol mitos ceria tentang Negaranya. Aku ingin menjadi saksi atas bangkitnya negara yang terlalu lama dilanda bencana, dan malam ini aku akan membuktikan bahwa tak perlu lagi ada rahasia.

*

Kini aku telah berhadapan pada sebuah pintu baja. Ruangannya sekali lagi tidak temaram, tapi aku berhasil mencuri kartu dari kantong petugas yang sekarang telah tertidur pulas setelah kububuhi sedikit obat di kopinya.

Ku gesekkan kartu itu di tempat yang terlihat seperti mesin debit. Dan cahaya ke unguan serta kebiruan mencuat 30 persen dalam ruang itu. Tidak terlalu terang namun cukup untuk membuat kedua mataku menangkap pinntu raksasa yang terbuat dari besi.

Di bagian bibir kanan terdapat satu lagi mesin semacam mesin debit kartu jika kita bertransaksi melalui kartu. Ku gesekan lagi kartu yang satu, dan seketika terbukalah secara perlahan besi besar itu.

Mataku sekali lagi membelalak, debu seakan telah memama biak di ruangan ini. laba-laba pun sepertinya telah membentuk kerajaan besar dan menabur jaring dimana-mana. cahaya ke kuningan menyeka ruangan itu. Aku mendekat pada anak tangga yang dimana pada pucuknya terdapat sebuah peti.

"ah, itu pasti peti penyimpanan lukisan fenomenal tersebut!" ujarku dalam hati sambil mendekat.

Ku tapaki satu persatu anak tangganya dan tibalah peti berdebu itu tepat dihadapanku. Tanganku bergetar, "aku akan menjadi saksi sejarah. Dimana manusia-manusia diluaran sana menganggap ini buah bibir semata. tapi aku menyentuhnya".

Kini kesepuluh jemariku bekerjasama mengangkat penutupnya dan seketika...

DEG!!!!

Jantungku seperti berhenti ditempat, aku hanya sebuah pigura kayu berukir, dimana pada bagian bawahnya tertulis

"POTRET INDAH NEGERIKU"

perlahan pula aku merasakan air di pelupuk mataku mulai menjamahi pipiku, jemariku membelai kanvas kandungan dari pigura kayu tersebut. ...

PUTIH....ya, hanya ada warna putih disana. Tidak ada pegunungan indah yang tinggi, atau para pantai yang mencolek hati pasa turis, tidak ada alam raya yang membuat kita dijajah bangsa-bangsa lain, tidak ada rempah-rempah, tidak ada tawa santun khas bangsa ini, tidak ada pemimpin yang berorasi, tidak ada keringat perjuangan, tidak ada apapun....Lukisan itu : KOSONG!

Aku menunduk dan meratap, ini lah potret bangsaku yang selalu di elu-elukan. Akulah anak bangsa yang selalu mencari seribu macam alasan untuk memcinta negara yang kadang membuatku sengsara. Ini bukan hanya rintihan air mata para rakyat jelata, ini adalah cermin bagi rasa malu setiap penduduk yang merasa sempurna.

Masih dalam rangkaian air mata, aku mengusap pigura yang membinkainya, namun tampaknya kau itu terlalu lapuk. Serabutnya mengundang darah dari telunjukku untuk turut hadir.

Sakit...tapi tak begitu lagi terasa, ketika ingatanmu merambat pada sumpah para petinggi untuk selalu menggunakan nurani, para anak jalanan yang harus kehilangan beberapa organ tubuhnya, fakir miskin yang semakin miskin didempul asap knalpot mobil-mobil mewah.

Seperti kebencian mendidih rakyat yang tinggal dan mati di negaranya. Negara ini sudah tidak punya cinta?

PERSETAN DENGAN KEADILAN, PERSETAN DENGAN KESABARAN!! kenyataannya semua butuh makan...

Ku sapu darahku di antara kanvas putih yang tergolek lemas, aku yakin suatu saat lukisan itu akan dikenang kembali, sebagai lukisan kebangkitan.

Selama hayat di kandung badan. Engkau tetap Kubanggaakan

Aku Pernah...





Aku pernah....

Disaat malam sedang menggelapi jagat raya, aku mengibarkan lilin kecil untuk mengharap adanya kamu yang akan segera pulang.
Aku takut, kamu kira rumah ini kosong, karena hitam tidak mengizinkan mata kita menangkap bayangan satu sama lain.

Tak ku izinkan kantuk tiba, hingga lelehannya menyatu dengan marmer yang semakin kusam. dan api itu menghilang.

Kamu? tidak juga datang...

*

Aku pernah

Diketuk oleh embun pagi di bibir daun.
Dia bilang " Lelakimu itu seperti aku, yang tak sengaja tertangkap matamu dikala lahirnya mentari, namun sebelum kau bergegas mandi, kami pasti segera pergi".

Aku diam saat itu.
Pelupukku mulai berair, tapi aku tak sudi menangis. Aku mau kau melihat ku tersenyum kala pulang...., meski tak juga kamu datang.

*

Aku pernah

Merasakan ribuan tabung gas meledak didada, saat melihat bibirmu bersujud di wajahnya.
Dan aku disini, menahan tangki air mata yang segera jatuh ke permukaan dunia nyata.
Angin senja pun tau, aku hanya pura-pura turut berbahagia.

Jangan dulu kau pinta padaku sebilah doa, karena aku belum sanggup melakukannya.
Jangan pula kau minta aku sajikan senyum terindah, selama jemarimu mengikat pada telapaknya.

*

Aku pernah

Berbisik cinta, sebelum kamu bersamanya...


*******

Monday, August 16, 2010

AKU INGIN....


AKU INGIN :

*ada dibelantara pelangi. Menjilatinya satu per satu hingga nafasku menjelma puisi...

*menjadi pasangan atas sepatu yg hilang, supaya dia tidak terlihat egois dan sendirian..

*menjadi semangat atas perunggu. Agar dari yang ke-tiga, dia dapat segera menjadi nomor satu...

*melebur menjadi debu, lalu hinggap di pori-porimu

*kenyataan dari ribuan kisah di setiap kitab. Agar tidak hanya menjadi santapan rayap..

*menari dengan irama jantungmu. Lalu menghentakannya, agar kamu merasa...ada aku disana.

*bercinta denganmu diatas piano dan mengganti semua dentingannya, dengan desahan kita..

*menjadi serbuk yang melumpuhkan seluruh sel otakmu. Hingga di seluruh penjuru kepalamu, hanya ada..., seorang aku.

*mencukil awan saat dia abu-abu, lalu kusemaikan dalam kopimu. Tinggal menunggu, halilintar di kerongkonganmu..

*meredakan dahagaku, dengan air matamu...

*merobek langit. Untuk membuktikan tidak ada surga, selama kamu didunia

*merangkum melodi semesta dengan memori kita. Bukan aku, atau kamu..., kita.

*Hisapan bibir kita, segera menjadi pahala..

AKU INGIN, seluruh kata-kataku....menjelma menjadi seorang KAMU!

Monday, August 9, 2010

Menjemput Matahari

Berangkat dari jurang senja yang kelelahan, aku mendaki keinginan.
" Temukan dia di pucuk malam, saat burung gereja tidak lagi bersenandung, dan para laskar cahaya tertidur lelap" katanya lantang.

Aku mengendus semerbak hujat dari delapan titik mata angin.
Memantulkan gaung seperti cinta yang dimentahkan tiap sisi.
Berpindah terus berpindah, hingga suara semakin kecil lalu hilang dalam sunyi, tidak abadi.

Para lelaki yang bersajak tentang putri di Tanjung Pualam. Mereka bilang wanita itu merekah bagai bunga cempaka, molek seperti pegungungan indah yang imajiner.
Aku masih menanjak, meski terdengar puja yang mereka muntahkan dalam aksara kini menjadi samudra hina yang tak bertepi. Mereka mengumpat, mengunyah serapah dengan rakus.
Para tikus datang menyerang loteng langit, "kami mau keadilan!!" katanya.
"Kami bosan hidup kotor dalam istana debu yang berpilarkan dosa-dosa beragam, angkut kami menuju tempat yang Tuhan-mu kata sebagai surga!" tambah mereka.

Cakrawala membiru, dia beku dalam angan-angan klasik tentang perdamaian. Tidak ada lagi bola keemasan yang bersinar. Dia tenggelam, terseret dalam lubang yang melumpuhkan kebenaran. bahkan kini keberadaan matahari dipertanyakan. Dan aku sedang memacu ke dua kaki untuk menjemputnya, dia....Matahari yang terluka.