Pages

Thursday, February 17, 2011

Kebebasan di satu titik.


Dari kaca yang tersemat didalam kotak bedak, pantulan bibir yang dipulas dengan lipstik merah merekah. Setelah dilapisi pelembab sekaligus penambah kilauan bibir, cermin itu kembali dilipat dan tersimpan rapi didalam tas kecil manik-manik.

Sudah lebih dari dua jam kedua kakinya menopang tubuh yang dibalut oleh terusan bertali merah, membentuk siluet badannya yang molek. Sesekali tangannya melambai genit pada kendaraan-kendaraan yang lewat. Hingga akhirnya terdengar suara sirene dari suatu kendaraan.

"RAZIAAAAAA, RAZIAAAAAAAA !!!!" dan keadaan berubah carut marut.

Dia pun terbirit-birit lari sambil menanggalkan kedua sepatu yang dapat menambah tinggi badan 10cm. Pikirannya terlalu panik untuk bekerja, dia hanya bisa berlari sambil menghindar dari kejaran petugas. Diselingi dengan teriakan teman-temannya yang tertangkap, dia terus mencoba mencari tempat persembunyian seraya berdoa dalam hati.

"Ya Tuhan, kalo saya masih dianggap sebagai hambamu, maka tolonglah" bisiknya.

Tidak sampai tiga puluh detik dia bergumam, sebilah suara berkata :

"Pegang tanganku, cepat naik!"

Tanpa sempat terkejut berlama-lama, dia-pun menyambut uluran tangan sosok besar sambil kembali berbisik.

"ya Tuhan, daritadi kamu ada didekat saya toh, baru ngebatin langsung dikabulin"

Lalu sosok itu kembali berkata :

"Bilang apa kamu tadi?"

"Hehehe, engga bang, itu.." jawabnya malu

"Itu itu apa?"

"Ya begitu bang, bisa diem dulu. Kalo kedengeran ada yang ngobrol, para petugas itu pasti akan menangkap kita"

"Kita?" jawab pria besar dengan rantai ditangannya.

"Anu bang, saya maksudnya. Kalo abang mah, mereka ga akan kuat ngangkat"

"Maksud kamu saya gendut?"

"Engga bang, ampun. Tapi maaf bang jangan marah, bisa diam sebentar?"

"Baiklah".

*

Lima belas menit berlalu, sekarang keadaan rasanya sudah lebih aman. Sirene petugas terdengar sudah menjauh dari lingkungan yang tadi hingar bingar.

"Mas, sepertinya dibawah sudah kosong" ujar pria yang berdiri sejak 1962.

"Mas?!??!?!?!?! ABANG TEGA!!!! Ga liat apa lipstik kita? masa bibir merah gini dipanggil MAS?"

"Ya terus?"

"Mba aja, ses juga boleh" jawabnya sambil mengerling manja pada hasil sketsa yang dibuat oleh Henk Ngantung

"Maaf mas-mas yang terlihat seperti mba-mba, bisa tolong lepaskan tanganmu dari bokong saya? Risih mas mbaknya" Sang diorama raksasa seperti salah tingkah.

"Eh, iya bang" dibantu sang Patung yang kekar besar, dia turun perlahan-lahan. "Hup" kakinya kembali menginjak tanah setelah sementara bersembunyi diatas voetstuk atau kaki patung setinggi 25 meter.

"Makasi bang" jawabnya dengan suara bariton yang seusaha mungkin berubah menjadi sopran.

"Sama-sama" Jawab patung kekar itu cool.

"Eh bang, kenapa sih abang tadi nolong saya?" waria itu bertanya genit sambil memain-mainkan rambutnya.

"GR" jawab patung itu datar

"Heee?"

"Seseorang membangunku bukan tanpa alasan, aku itu adalah simbol dari suatu kebebasan yang harus dimiliki setiap manusia. Presiden pertamamu, memerintahkan Henk Ngantung untuk membuat sketsa atas aku"

"Henk Ngantung itu siapa bang?"

"Ya ampun" patung kekar itu menepuk jidatnya. "Dia itu Gubenur Jakarta yang memiliki masa jabatan paling singkat. Cuma 1 tahun kepemimpinannya"

"Satu tahun? apa dia diberhentikan karena membuat Jakarta banjir?"

"Ah mbaknya mas, jangan bercanda. Pada masa itu penyerapan kota kita ini baik. Henk Ngantung sadar diri dengan kapasitasnya sebagai Gubenur. Karena latar belakang beliau itu seniman"

"Lah ko seniman jadi Gubenur?"

"Memang kenapa? Bukannya hal itu musim lagi di jamanmu? Artis jadi anggota dewan?"

"Iya juga ya bang"

"Maka dari itu, aku berdiri disini dengan bertanggung jawab mengabadikan pembebasan yang dapat menyatukan. Kamu itu cuma Hoki, karena tadi ada didekatku"

"wah, terima kasih bang. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas jasamu?"

"Sampaikan pada mereka yang selalu merasa terpenjara, lihat aku!! Walaupun kedua kakiku terpaku penyangga setinggi 25 meter di lapangan Banteng sejak 1963, aku tetap dikenal sebagai "Patung pembebasan irian barat" Simbol kata MERDEKA. Karena kebebasan itu ada didalam jiwa"

*****

*****

Tuesday, February 15, 2011

Pelacur dan Sudirman


Dibawah bulan yang belum menjadi purnama, sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju kencang. Dengan kecepatan lebih dari 60 km/jam, roda-rodanya berhenti berputar secara mendadak. Sebersit bunyi kencang yang cukup panjang mengikir telinga

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttt...., kira-kira begitulah bunyi karet yang melapisi ban mobil jika beradu dengan aspal. Dari pintu kiri depan, seorang wanita berbaju hitam dengan rambut teramat kusut keluar paksa.

Tampak tas kecil berwarna senada dengan tank top yang dikenakannya menyusul dengan cara dilempar melalui jendela yang terbuka. Lalu kendaraan buatan Jepang itu kembali melaju. Meninggalkan gadis dengan rok mini berwarna merah sendiri di tepi jalan daerah duku atas.

Sesekali perempuan berusia kisaran dua puluh dua tahun itu mengusap kakinya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal. Sambil meringis dia mencoba berjalan dengan terpincang-pincang hingga akhirnya tersadar, bahwa jalanan sekitarnya tak lagi ramai kendaraan umum. Ini jam setengah tiga pagi, dan perempuan itu memutuskan untuk duduk didepan Gedung BNI kawasan Duku atas. Dari dalam tasnya, wanita dengan make up yang tidak lagi membuatnya menawan mengambil sebungkus rokok menthol. Saat akan mempertemukan api pada batang rokok yang pangkalnya telah tertanam didalam bibir, sebuah suara memecah keheningan malam.

"Sedang apa kamu malam-malam disini?" suara khas lelaki tua dengan nada berat membuat sang gadis terbatuk-batuk karena asap rokok yang dihirupnya seperti tersangkut ditenggorokan. Dan saat wanita itu menengok ke arah asal muasal suara, diapun berteriak keras

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA" dan................. : pingsan.

*

Hampir tiga puluh menit sepertinya gadis bertank top hitam itu hilang kesadaran, sampai saat dia membuka mata. Sosok yang tadi membuatnya berteriak masih berdiri kokoh disana. Baru akan kembali melanjutkan aksi teriaknya, sosok besar itu langsung berkata :

"Tenang, tenang! Ambil nafas, saya tidak mungkin menyakitimu"

Sang wanita mencoba menenangkan diri sekuat hati,

"Kamu setan ya?"

"Apa?!?!?! Sembarangan. Memang perempuan jaman sekarang tidak lagi pernah membaca buku?" sahut pria berbadan tegap dengan pose menghormat.

"Tunggu" wanita itu mencoba mengingat-ingat lebih dalam "YA!! aku pernah melihat kamu. Ya, ya, YA!! jawabnya sambil mulai tersenyum.

"Ah, akhirnya. Di buku apa kamu melihat gambarku?" tanya sosok dengan tinggi 6,5 meter itu.

"Bukan dibuku"

"Lalu?"

"Difilm naga Bonar!! Aku lihat deddy mizwar menggantung padamu dan menyuruhmu berhenti menghormat!!" jawab si wanita girang karena berhasil mengkorek memorinya.

"Aaah, ya ya. Pria tua yang film-filmnya masuk FFI kan?" tanya si patung

"Dia jurinya Pak ......."

"Jendral, panggil saya Jendral" potongnya cepat.

"Iya Jendral, dia jurinya"

"Oh, pantas. Mmmm, tunggu! kembali ke pertanyaan awal saya. Sedang apa kamu dikawasan ini malam-malam perempuan muda?"

"Tadi saya diusir dari mobil pelanggan"

"Pelanggan? pelanggan apa?" tanya Jendral besar itu.

"Ya pelanggan gitu deh, males bahasnya, Pokoknya diusir" jawab gadis itu dengan cuek sambil kembali menyalakan rokoknya.

"Gara-gara apa kamu sampai diusir begitu?" tanya si patung itu serius.

"Kena gigi" jawabnya santai.

Sekarang Jendral besar seberat empat ton yang berdiri sejak 2003 itu tampak salah tingkah.

"Mmmmmm, nak....., apakah kamu...."

"Pelacur? IYA" jawab si gadis dengan santai sambil menghembuskan asap.

"Bukan begitu, tapi anu...."

"Apa sih pak anu-anu? Intinya saya ini wanita yang kotornya udah ga bisa dibersihin dengan cara mandi sejuta ribu kali. Jadi kali ini, anda bisa menurunkan tangan karena saya tidak pantas untuk dihormati." kali ini suaranya lebih terdengar pelan. Seperti ada suatu yang mengganjal ditenggorokan. Hidungnya mulai memerah, dari mata yang indah itu tiba-tiba turun gerimis.

Wanita ini terus menghisap rokoknya dengan paksa, hanya karena dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kedua telapak tangannya dipakai untuk menutupi wajah. Dia menunduk, tak mampu menatap dunia yang dianggapnya telah memalingkan muka. Malam itu hening, sepi, seperti hatinya yang telah dia paksa pergi.

Menit-menit yang dia paksa diam telah berlalu, sang gadis menoleh kearah Seorang jendral besar milik bangsa ini, untuk memastikan dia tidak sendiri.

"Jendral, mengapa engkau masih saja belum berhenti menghormat?" tanyanya dengan bergetar

"Aku terlahir kembali untuk menghormat pada Kalian, Negara Indonesia yang berkilau. Termasuk, engkau..."

******

ps : Photo diambil dr google. Hasil karya Rizky Ariefanto

Sunday, February 6, 2011

Dia Tidak Menunggu


Bokongku masih terlalu betah beradu dengan kursi tiga bantalan yang bersender pada tepi jendela besar. Semacam tidak ingin bergerak, kalian tau "PeWe" kan? Manusia jaman sekarang menyebut istilah itu untuk menyingkat kalimat Posisi Wenak. Ya, kira-kira itu yang sedang aku rasakan.

Tidak terlalu sendiri, aku bersyukur memiliki teman yang sangat setia menemani sejak dua tahun lalu. Bahkan saat aku meninggalkan kesadaran, dia tetap ada. Bayangkan, dimana lagi bisa menemukan teman yang begitu setia disisimu bahkan saat make up-mu luntur karena menangis?

Mari kuperkenalkan pada kalian, namanya : WAKTU.

"Kamu ingin melewatkan malam ini dengan mata terbuka lagi?" dia membuka percakapan.

"Ah, aku cuma ingin bertemu bulan" jawabku sabil menghembuskan asap dari tembakau yang terbakar.

"Alasan" jawabnya dengan tawa ketus, "kamu hanya ingin menabung air mata dengan kenangan yang dipaksa untuk bersedih" tambahnya.

"Apaan sih? Dasar ga jelas!" balasku tak kalah ketus sambil melempar pandang pada kaca besar yang menembus langit dan pemandangan. Samar-samar dari pantulannya aku lihat, kantung mataku hampir menyerupai milik pemimpin negri yang negaranya terus tertimpa bencana lalu dihardik rakyat.

"Dia tidak akan datang" katanya lagi mengganggu diamku.

"Aku tau"

"Lalu?"

"LALU??? Daripada kamu banyak bertanya, lebih baik kau bantu aku!" akhirnya emosiku naik juga.

"Bantu bagaimana?" tanyanya bingung.

"Gimana sih? kamu kan waktu, harusnya kamu bisa dong bantu aku melupakan dia. Kamu pikir aku seneng apa kaya gini terus? Menangis setiap malam sambil mendekap pigura, sedangkan orang didalam foto ini mungkin sedang asik bercinta dengan kekasih barunya?!?" kutembaki dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah aku kandung selama ini. Seperti melahirkan prematur rasanya, karena semua seperti tidak cukup. Tabung ini masih terlalu luas untuk diroketkan.

Dia hanya diam, melihatku dengan pandangan kosong. mataku yang dihiasi air mata tidak lagi dia indahkan. Kulihat dia bergerak, dan aku mulai panik.

"Mau kemana?!?"

"Aku tidak menunggu, kamu mau disini sampai kapan?" dan waktu pun berlalu...


*******