Pages

Thursday, December 30, 2010

Lukisan Garuda Dijiwa Bangsanya

Hari ini tiga puluh desember dua ribu sepuluh. Berarti besok, seluruh dunia akan merasakan detik-detik pergantian tahun. Kemarin, Tim Nasional sepak bola kami, INDONESIA berlaga dalam Final liga AFF. Lawan kami saat itu adalah negara yang sedang panas dibicarakan oleh penduduk kami. Dimana ratusan atau bahkan ribuan TKI kami mencari suapan nasi disana, Malaysia. Kita mungkin sekarang ini sedikit melupa, bahwa mereka memiliki label "Negara Serumpun". Saya yakin bukan tanpa alasan predikat itu melekat pada mereka, ada suatu ikatan yang mungkin tidak generasi kami tau. Sesuatu energi yang melintas diantara kami. Yang dimana energi itu telah berubah menjadi udara panas yang tidak lagi memiliki angin.

Adalah saya, seorang anak bangsa yang begitu cinta pada tanah airnya. Tak bisa saya sebut atau jelaskan kenapa, namun saya selalu yakin bahwa keberadaan saya di negeri ini adalah mutlak pilihan saya sendiri sebelum dilahirkan. Saya juga memberi kepastian pada seluruh komponen disetiap sisi dari jiwa-jiwa yang bersemayam dalam diri saya sebelumnya bahwa saya telah memberi proposal permohonan kepada Tuhan untuk memberi kehidupan kembali di Negara pilihan saya, INDONESIA.

Begitu banyak air mata yang tidak seharusnya saya keluarkan atas apa yang tejadi pada nusantara tercinta. Kehilangan, bencana alam, atau apapun yang membuat jutaan air mata menetes karena kehilangan sebagian primer dari jiwanya.

Namun saya kadang dihentak oleh alam, yang berbisik : Sesuatu yang terbaik akan terjadi. Karena itu hadapilah dengan terus berjalan, karena jika kits berada dalam titik keputus asaan, maka berhentilah menjadi manusia, lalu masuklah ke dalam tanah! Sekali lagi bukan saya menolak terkubur bersama alam, saya hanya ingin bersatu dengan mereka, dengan cara yang berbeda. Bagaimana jalannya? tidak tau. Saya rasakan saja.

Dengan adanya kekalahan ( setidaknya rata-rata masyarakat menyebutnya begitu ) atas tim nasional kami kemarin adalah kutukan atas kesombongan, ataulah peringatan. Bagi saya itu adalah sebuah jalan, tanpa kata "hanya" atau sesuatu yang berlebih. Hal itu memang harus terjadi. Tanya kenapa? sekali lagi jawaban bukan milik saya.

Entah kemana Timnas akan berjalan. Tapi yang pasti mereka membuka mata jutaan nyawa, bahwa bulu kuduk bangsa masih dapat berdiri. Dan air mata masih dapat datang, saat "Indonesia Raya" berkumandang.

Bukan sesuatu yang memalukan apalagi menyedihkan, karena apabila tahun ini adalah tahun kerusakan, maka kita akan mendapat sesuatu yang lebih dari kata membanggakan. Ada sebuah diskrepasi antara kerusakan dan keindahan dan kata yang paling tepat untuk berdiri diantaranya saya rasa adalah "proses".

Secara pribadi yang masih dikelilingi dan dialiri darah, saya pastikan kita yang tersisa adalah bagian dari jiwa-jiwa pilihan yang mendapat penawaran. Akankah kita terlibat dalam suatu "proses" tersebut.

Saya rasa belum ada seseorang yang dapat secara pasti dapat menerjemahkan bahasa Tuhan. Karena keterbatasan otak manusia yang masih terlalu bayi untuk mencapai bahasa yang kuasa. Lalu mengapa harus mencipta stigma ?

Tapi sekali lagi, malam kemarin saya melewati malam dengan tersenyum. Timnas Indonesia telah membuat saya merasa menjadi manusia utuh. Yang diciptakan dengan rasa senang, sedih, marah, gemas, dan berapi-api. Tidak ada satupun yang dapat dikurangi. Bukankah manusia akan menjadi sempurna karena memiliki kelebihan, dan juga kekurangan? saya rasa hanya dengan memiliki lebih, ataupun hanya memiliki kurang tidak dapat membuat para partikel terkecil dimuka bumi pun sepakat untuk menyebut Manusia adalah mahluk Tuhan paling sempurna.

Apalagi tulisan ini hanya terketik dari tangan seorang saya, seorang perempuan dengan darah Indonesia yang juga masih saja salah dalam bersikap serta berkata dan berprilaku. Apa itu sempurna? bahkan ketika saya berdosa yang membuat jengkel beberapa raga, Tuhan masih saja menyebut saya manusia, mahluknya yang sempurna.

Jika penutup tahun ini Sekelompok pemuda yang disebut Timnas telah memberi saya begitu banyak rasa, maka saya yakin nanti mereka akan berlari lebih dari cepat.

Dan sekali lagi, apabila harimau pulang membawa kemenangan dengan berjalan, maka kita semua tau : Berselimut kemenangan ataupun kekalahan, Seekor garuda pasti tetap akan terbang !!

Tuesday, December 28, 2010

Singa dan Alat tulis


Aku masih ingat sekali garis-garis wajah lelaki yang selalu kulihat mengenakan peci itu. Belum lewat dua puluh empat jam kami bertukar suara, beliau membeli kertas berisi berita harian negeri dari tanganku.

Saat itu dia menghela nafas panjang membaca tulisan besar di kolom utama. "PENCURIAN SEBATANG ALAT TULIS". Aku menengok sisa tumpukan koran ditanganku, mencoba menyamakan gambar sosok yang ada didalamnya dengan seorang lelaki didepan batang hidungku. Mataku menyipit dan arah pandangku berganti-ganti, kadang ke koran digenggaman tanganku yang tak sebesar tangannya, kadang menuju pria dewasa dengan kharisma yang begitu menyilaukan ini.

"Apa yang kaulihat nak?" tanyanya melihatku celingukan

"Tidak Pak, anu...", suaraku terpotong "Apakah bapak adalah Lelaki di gambar ini?" kataku seraya menunjuk foto didalam koran.

Dia hanya tersenyum, lalu telapak tangannya menuju ujung kepalaku dan mengusap-usap rambutku. Tanpa ada kata lagi keluar dari mulutnya, beliau lalu membalikkan badan dan berjalan. Sempat kulihat, sebatang pulpen menyembul dari kantung yang terletak di dada kiri baju putihnya.


*****

Alun-alun ramai sekali, aku masih berkeliling dengan memanggul dagangan sisa ditangan. Diantara kerumunan manusia yang tidak hanya dihuni oleh pribumi, aku seperti melihat seekor singa diatas podium.

Singa itu bersorot mata tajam, dan siap mencabik manusia-manusia berambut merah dan kuning yang telah menjadi tuan di "rumah" kami. Setelah mengucap salam, lelaki yang wajahnya tercetak di koran yang kudagangkan membuka kembali suaranya :

"KALIAN LIHAT INI APA?" katanya sambil mengacungkan pulpen yang tadi siang kulihat tersemat dikantungnya. Tapi tidak ada satu orangpun yang menjawab meski pastilah tau akan jawabannya.

"INI ADALAH ALAT TULIS YANG MENJADI BERITA DIMANA KALIAN GEMBAR GEMBORKAN HARI INI" katanya berapi-api.

"SEBELUMNYA JELAS SAYA KATAKAN, SAYA "MEMINJAM" DAN DIHADAPAN KALIAN SEMUA BANGSA BELANDA, SAYA KEMBALIKAN". Sang singa podium mengarahkan pulpen hitam itu ke arah kumpulan tentara berkulit putih. Namun semua diantara mereka ragu untuk maju, hingga lelaki pemberani itu menaruh dibawah kakinya.

Masih dengan tatapan berapi-rapi dan suara yang menggelegar, laki-laki berpeci tersebut meneruskan katanya

"HANYA KARENA SATU BUAH ALAT TULIS, KALIAN MENYEBAR BERITA TENTANG PENCURIAN PULPEN DIMANA-MANA. DAN SAYA DETIK INI DENGAN BESAR HATI BERANI MENGEMBALIKAN LANGSUNG KE TANGAN KALIAN. SEKARANG GILIRAN KALIAN, KALIAN TELAH MENCURI NEGARA KAMI RATUSAN TAHUN LAMANYA, DAN PERTANYAAN SAYA HANYA SATU : BERANIKAH KALIAN MENGEMBALIKANNYA ??

Ratusan darah Indonesia mendidih kala itu, termasuk darahku. Lelaki itu telah membuka mata kami semua, bahwa selama tubuh kita masih mengandung darah, buang jauh-jauh kata MENYERAH !!

******

My Hermesian



Berawal dari dunia maya, mereka telah menjadi bagian nyata dalam hidup saya.
Dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, MENULIS menjadi kunci untuk mempersatukan kita. Saya itu gapteknya setengah mati, blog ini aja awalnya dibuatin sama Asiah, terus baru-baru ini lagi getol-getolnya menghias blog ini kembali.

Jadi, selamat datang di blog amatir saya dan slideshow ini saya persembahkan khusus kepada sahabat-sahabat saya tercinta : HERMESIAN....

Jakarta dan Aku



Saya sangat mencintai sejarah, sekali lagi sangat.
Hal ini kental terasa sejak saya berusia enam tahun, jelang libur panjang kenaikan kelas menuju Sekolah dasar.

Saat itu Ayahku memiliki sebuah pabrik di kawasan Tanjung priuk, dan karena kesibukannya, hampir setiap weekend kami sekeluarga menghabiskan waktu di Horison ( sebuah nama hotel di kawasan Ancol yang sekarang mercure ) atau di Putri Duyung cottage. Semua dikarenakan agar ayah dapat dengan mudah sewaktu-waktu menge-chek pabriknya karena rumah kami terbilang jauh dari pabrik.

Dalam perjalanan menuju Ancol ataupun tanjung priuk, saya jatuh cinta pada sebuah bangunan. Yang mana puluhan rengek saya tidak terhiraukan, saya justru tidak lagi tertarik pada permainan di dalam Dunia fantasi kala itu, keinginan saya hanya satu : Menuju puncak Monumen Nasional.

Entah kenapa saya selalu merasa bangunan itu memanggil-manggil. Suatu energi yang begitu kuat dan memaksa saya untuk menginjakkan kaki disana. Sejak itu saya selalu menyebutnya "Golden Woman Fire" semacam kekuatan atau inspirasi yang tidak pernah padam datang dari seorang wanita.

Sekolah dasar berhasil saya duduki dan satu pelajaran favorit saya adalah : PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Tampak jelas bangunan yang sempat menjadi yang tertinggi di asean itu ada, lengkap dengan pendirinya : F. Silaban dan juga Soekarno.

Sejak itu saya putuskan : SAYA PASTI AKAN MENUJU MONAS, dengan atau tanpa diantar MAMA.

Ternyata benar, bagai gayung bersambut, karya wisata tingkat dua sekolah dasar adalah MONUMEN NASIONAL. Kalian tau, mungkin terdengar berlebih tapi saya tida bisa tertidur hari itu. Seperti menjemput mimpi yang terlalu nyata, dan membuatmu enggan memejamkan mata. Hingga pada akhirnya hari itu datang.

Kalau kalian pernah lihat sekitar 18 tahun lalu seorang anak perempuan berseragam batik al-azhar dengan rok hijau, mulutnya menganga sepanjang Monumen Nasional, itu saya !! Sepanjang museum saya tak abis menebar senyum sendirian.

Saya sempat juga terpisah dari rombongan saking terlalu asyik sendiri melihat pahatan-pahatan milik orde baru di bagian dinding luar. Sampai ahirnyaaaaaaa, saya terlewat rombongan yang menuju puncak monas. kalo dulu Senayan city udah ada, pasti yang lompat dari atas pertama kali itu saya !! RrrrRr...., tapi akhirnya ya itulah yang membuat saya selama 14 tahun terus menggilainya dan juga sejarah-sejarah lainnya.

Video diatas itu sebagian dari perjalanan saya yang dibuat sedemikian indah oleh teman saya Alman saat mengitari kota tercinta saya, kota tercinta kita semua, Jakarta :))

Sunday, December 26, 2010

Jawaban Tuhan Dalam Air Mata


Apa kalian pernah merasakan detak jatung menghentak-hentakan dada dengan begitu keras ?

Jika belum, kalian harus mencobanya. Bagi yang tidak asing dengan pertanyaanku barusan, sekali lagi aku ingin bertanya : Menyenangkan bukan ?

Deretan gigiku seakan ingin terus melihat dunia karena menahan senyum ternyata sulit. Sepanjang jalan di tol menuju Bogor, kedua daun telinga tak kuizinkan untuk rehat dari sengatan lagu-lagu cinta, walau sebenarnya perasaanku saat ini lebih tepat disebut : RINDU.

Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menginjak kota hujan yang juga menjadi tempat pertama kali aku bernafas. Kegemparan di bulan kelahiranku pada tahun '98 terjadi di Jakarta. Kami yang memiliki bentuk mata yang tidak bulat dan berkulit pucat menjadi bahan hujatan. Toko milik adik ayahku habis dibakar massa. Sedangkan sebagian investasi ayah ada disana, sehingga kami yang menjadi satu-satunya sisa dari keluarga besar Ayah memutuskan untuk ikut hijrah menuju kota kelahiran nenek moyangku, Guangzhou.

Aku sempat bertanya pada ayah, mengapa kami harus ikut pindah, karena sesungguhnya kerusuhan terjadi di ibukota. Sedangkan kami sekeluarga bertempat tinggal di kawasan Bogor, tapi tampaknya saat itu seluruh keturunan Tiong Hoa telah gelap mata. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan diri, juga keluarga.

Bukan tanpa alasan aku terus bertanya pada Ayah. Sejujurnya, aku tidak ingin pindah. Walau teman-teman di tempat aku bersekolah kerap kali memanggil aku dengan sebutan "Cina". Aku punya alasan kuat untuk bertahan : CINTA.

Setidaknya pada usia sepuluh tahun, aku merasa itu namanya.

Seorang lelaki pribumi bernama Ilham mencuri perhatianku. Tidak ada yang special dari pria kurus berkulit gelap itu dimata orang kebanyakan. Tapi untukku, diamnya seperti memaksaku untuk terus memberinya perhatian. Di hari terakhir sekolah, aku beranikan diri mendatangi lelaki pribumi itu sebelum keesokan harinya aku meninggalkan negara ini.

Siang itu, Ilham sedang duduk di mejanya. Bel istirahat tidak membuat kaki-kakinya beranjak menuju kantin.

"Aku besok berangkat ke China" kataku tanpa basa-basi sembari berdiri tepat didepan mejanya.

"Mau ngapain?" tanyanya sambil tetap fokus pada buku gambarnya.

"Mau tinggal disana sama papi, mami, sama koko" jawabku

Seketika tangannya berhenti menggambar, menatapku, lalu lanjut tanpa memberi acuh. Aku jelas menjadi sedikit gusar.

"Kamu ga mau ngomong apa-apa sama aku?" tanyaku dengan keringat yang telah menyembul keluar. Karena sebenarnya aku malu sekali saat itu.

Jawaban Ilham saat itu hanya gelengan kepala, tanpa kata. Itulah aku rasakan pertama kali, yang dinamakan patah hati.

Tapi tunggu dulu, seusai sekolah kejadian berganti. Saat koko siap menjemput di gerbang dengan sepeda motornya, sebilah suara tertangkap telingaku

"MEEEEII"

itulah suara yang kunanti, namun aku tak bisa untuk membalas panggilannya. Karena koko terlalu menggesa-gesa. Dan kata selanjutnya menyusul

"KITA PASTI KETEMU LAGI". Itulah terakhir kudapat kata dari bibirnya.


*

Kuinjak lagi pada akhirnya aspal di kota Bogor. Terlalu banyak yang berubah dari kota ini, hingga tak lagi kukenali. Hari ini adalah hari besar untuk kami, karena alasan itulah juga kami melewati samudra untuk tiba di Indonesia. Natal tahun ini, akan dilewati di kota, yang pernah kami cintai.

*

Siang yang paling buruk sepanjang hidupku, adalah menerima kenyataan bahwa Gereja tempat kami biasa berkunjung telah ditutup. Para jamaat memanjatkan doa diatas trotoar, pertanyaanku : Inikah kota yang dulu penuh cinta? Kami saling menangis sambil terus memanjat doa. Natal kali ini dimeriahkan oleh suara-suara jalan dan juga hujatan. Mereka terus mencaci, mengatakan ini bukan tempat ibadah. Menyakitkan mata kami dengan spanduk-spanduk yang entah atas perintah siapa. Yang aku tau, Tuhan itu satu. Salahkah kami yang menyebutnya dengan nama berbeda?

Kami terus berdoa dalam cemas dan takut. Hingga aku-pun melambung pinta pada-NYA : berikan aku jawaban setidaknya satu, atas segala pertanyaanku.

Tak lama waktu berselang, sekumpulan pria berjubah putih mengepung kami, kontan kami berteriak dan menunduk. Air mata dan pipiku akhirnya bertemu. Kubenamkan wajahku dengan kesepuluh jemari. Sampai ku lihat sosok yang selama ini aku cari, mata yang sudah lama kucumbui rindu, dengan sorot mata asing yang menggebu-gebu. Ada sinar kebencian mendalam disana yang begitu terang, hingga percikan-percikan rinduku tenggelam dan menghilang.

ILHAM ?!?!?!?!

"BUBARKAN KEGIATAN YANG MENGGANGGU MASYARAKAT. BUBAR BUBAR BUBAR !!!
ALLAHU AKBAR !!"

Bersama air mata yang telah aku setubuhi. Tuhan memberikan jawaban, di hari suci.


*****

* Cerita ini total fiksi semata. Terinspirasi dari kisah saudara-saudara kita di GKI yasmin.

Selamat Hari Natal, semoga berkah dan damai natal menyelimuti kalian semua

Wednesday, December 22, 2010

Dimana Letak Surga


“SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”

Ingatannya hanya melayang pada kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak. Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun tertanam dalam otak besarnya.

*

“Nik, besok ninik aja ya yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris potongan-potongan bawang

“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau, nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan tersebut kedalam wadah suatu wajan.

“Tapi aku kan ga nakal nik disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.

“Ya Ampun yo…, emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”

“Beda nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus nanti disekolah!”

Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu bangga padanya nak”

“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.

“Sudahlah bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”


*

Suara yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur turun.

“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu kirinya dipegang kuat-kuat.

“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55 tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang sedang menggerutu.

“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz” jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.

“Sebelum membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”

Anak itu terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa langkah didepannya.

“Pak Ustaaaaadd…..Pak Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan setengah berteriak.

“Ada apalagi nak?”

“Engga Pak Ustad, aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah merajuk sambul mengacungkan telunjuk

“Hahaha…, tentu boleh nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa benar Surga itu ada di telapak kaki Ibu?”

Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.

“Nak, saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.

“Lalu yang kedua siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.

“Ibumu”

“Ibu? Lalu yang ketiga?”

“Masih Ibumu nak”

Anak itu terdiam menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.

Sepasang tangan kini memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…

*

“Sudah pulang nak?”

“Sudah bu”

“Lg apa di dapur nak?”

“Lagi buat roti pake meses”

“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster batik menghampirinya

“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”

“Udaah.., ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti dari genggaman bocah cilik itu

“Ga usah buuuuu” Aryo spontan mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses, mentega, dan selai-selai lainya..

PRAAAAAAAANNNGGGG

Beberapa selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.

Pria kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…

SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU

Namun bagaimana jika sang Ibu tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?

Batinnya memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…


*

“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” sahut penghuni dari dalam rumah

Ruang tamu itu mungkin tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.

“Baru pulang nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar

“Iya bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek, bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.

“Permisi semuanya, aryo main bola ya”

“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia 35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya

“Kenalin pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.

“Bu, aryo udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”

“Iya nak, hati-hati ya” jawabnya tersenyum


*

Kaki mungilnya terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap penentuan team dijalankan.

“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali ya” bisik salah satu bocah

“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”

“yeaaaayyy, aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.

“Sampe besok ya temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah tampak menunggu di bibir lapangan.

Aryo kecil terus berjalan acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.

“ARYOO…”
Saat namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun segera menghampirinya

“Bisa bicara sebentar Aryo?”


*

“Jadi kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan

“Apa kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan “sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak berbicara

“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu ibu?”

“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah seperti teman-teman yang lain”

“Apa Ibumu pernah datang kesekolahmu?”

“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”

“Kamu senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi plastic berwarna merah yang didudukinya.

“Engga om, semua temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga karena ibuku tidak mempunyai kaki”

“Aryo, kau seharusnya bangga dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan dengan sang bocah meneruskan ceritanya


*

“Apa yang membuat anda memutuskan untuk pergi?”

“Karena saat itu saya menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang sudah seperti ibu saya sendiri.”

“Apa yang pertama anda rasakan di sana?”

“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”

“Bagaimana dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”

“Saya justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”

“Apakah anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”


“Tidak, saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh anggota keluarga saya”


*

Bocah itu kini menangis, menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk mencetak gol.

Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka pintu kamar..

“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya. Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….

*

“ARYO GA MASUK SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu

“Kalian ko ngomongnya gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak berkepang dua

“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan masuk Surga. Hahhahahahaha”

“Kalian nanti aku laporin Bu Guru ya!!”

“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum

“Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”

**********

Tuesday, December 21, 2010

Melepas senja, dengan menunggu...


Di khatulistiwa biru yang hampir tak lagi menjadi garis,
aku cari namamu, sambil menangis...

Semesta tanpa kata, hening manusia.
Hanya burung-burung yang menyamar menjadi biduan tengah senja.
Sebentar lagi matahari lari, merelakan bulan menikahi kekasihnya sementara.
Langit masih gagah saja, menanti pasangan malamnya kali ini yang berwujud purnama.

Tidak ada pesan yang dapat aku baca, selain rasa angin.
Menunggu kamu pulang, seperti ribuan malam silam.
Dipaku kenangan, yang tidak pernah aku nisankan.

Tidak lagi pernah kulihat sabit, sejak kamu pergi.
Hanya ada kupu-kupu sakit, yang belum juga mati.

Sayang, ayo pulang.
Aku menunggumu, disini, seperti ribuan malam silam....


*******