Pages

Monday, August 9, 2010

Menjemput Matahari

Berangkat dari jurang senja yang kelelahan, aku mendaki keinginan.
" Temukan dia di pucuk malam, saat burung gereja tidak lagi bersenandung, dan para laskar cahaya tertidur lelap" katanya lantang.

Aku mengendus semerbak hujat dari delapan titik mata angin.
Memantulkan gaung seperti cinta yang dimentahkan tiap sisi.
Berpindah terus berpindah, hingga suara semakin kecil lalu hilang dalam sunyi, tidak abadi.

Para lelaki yang bersajak tentang putri di Tanjung Pualam. Mereka bilang wanita itu merekah bagai bunga cempaka, molek seperti pegungungan indah yang imajiner.
Aku masih menanjak, meski terdengar puja yang mereka muntahkan dalam aksara kini menjadi samudra hina yang tak bertepi. Mereka mengumpat, mengunyah serapah dengan rakus.
Para tikus datang menyerang loteng langit, "kami mau keadilan!!" katanya.
"Kami bosan hidup kotor dalam istana debu yang berpilarkan dosa-dosa beragam, angkut kami menuju tempat yang Tuhan-mu kata sebagai surga!" tambah mereka.

Cakrawala membiru, dia beku dalam angan-angan klasik tentang perdamaian. Tidak ada lagi bola keemasan yang bersinar. Dia tenggelam, terseret dalam lubang yang melumpuhkan kebenaran. bahkan kini keberadaan matahari dipertanyakan. Dan aku sedang memacu ke dua kaki untuk menjemputnya, dia....Matahari yang terluka.

No comments:

Post a Comment