Sunday, July 29, 2012
Sampah digantungan ranjang.
Saat ini matahari sedang tertidur, langit gelap sekali. Jalanan ini terlalu sempit untuk dua motor dan seorang pejalan kaki, mungkin karena itu juga langkahku menuju pulang agak terhambat. Sepatuku sudah kenyang dengan air hasil semprotan ban kendaraan roda dua yang melewati genangan air dilubang jalan. Angkasa tadi habis menangis, atau hanya aku dadanya terisak. Selama kaki-kakiku melangkah, dikepalaku hanya terbayang dimana lagi kami harus tinggal. Kehilangan pekerjaan memang bukan barang baru untukku, tapi kali ini bukan lagi tentang aku. Ini tentang sosok yang aku cinta, tidak hanya dengan kepala, tapi juga jiwa. Apa yang harus aku katakan jika kami lagi-lagi harus pergi dari tempat yang dua tahun ini sudah kami sebut "rumah"? Aku mengerti, kau sudah lelah kalau harus terus berpindah. Aku juga tau sudah terlalu banyak mimpimu yang aku ganggu. Aku hanya belum menemukan cara, bagaimana agar kau bahagia.
"Aku tak kan pernah berhenti. Akan terus memahami. Masih Harus berpikir. Bila harus memaksa. Atau berdarah untukmu. Apapun itu asalkan kau coba menerimaku"
Aku tidak pernah bosan memandanginya, sejak suara tangisannya membahana disela sesakku sebelumnya. Dia telah mengajarkan aku mengabaikan sakit, sejak tiba di dunia. Saat dia menangis dikedua lenganku, aku tau dia mendekap kalbuku lebih erat dari segala perekat.
Hujan turun lagi, semakin deras. Datang begitu tiba-tiba. Seperti engkau yang mungkin tidak pernah kurencanakan kedatangannya.
Aku ingat mata ayahmu yang membelalak saat kuberikan sebatang alat tes berwarna putih dengan garis dua. Dia langsung memegangi kepalanya, menendang pintu kamar kos-nya. Aku yang kala itu belum genap dua puluh tahun hanya bisa menangis. Entah apa kalimat yang akan aku lontarkan pada nenek kakekmu. Aku ingat saat kami, orangtuamu akhirnya memutuskan pergi dari rumah masing-masing untuk mengagungkan cinta hanya berdua, sambil membawamu didalam perutku yang semakin membesar. Ayahmu yang awalnya sangat menyayangi aku, mulai berubah setiap kutanyakan soal tagihan kamar kost. Aku masih ingat jelas rasa nasi sisa kamar tetangga.
Hari itu sepertinya kau sedang meraung-raung didalam perut, seperti menendang-nendang lambung. Aku tidak memberimu makan semalaman, dan ayahmu tidak pulang. Bungkusan coklat didepan kamar sebelah kiri kami rasanya sulit tak kuberi hirau. Hari itu kuberikan kau makanan yang tak layak. Aku tidak mengkonsumsi susu ibu mengandung, bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena lebam disekujur tubuhku, tiap aku menyebut kata rupiah ditelinga ayahmu.
"Dan kamu hanya perlu terima. Dan tak harus memahami. Dan tak harus berpikir. Hanya perlu mengerti. Aku bernafas untukmu. Jadi tetaplah disini. Dan coba menerimaku"
Sekarang tubuhku basah. Aku sendirian, memegangi kantung berisi bakwan dan beberapa jenis gorengan. Aku tau kau lebih suka pisang molen, tapi tadi tampaknya aku kehabisan. Maaf nak, aku mungkin tidak pantas disebut ibu. Seluruh tubuhku penuh dengan tangan laki-laki yang bahkan tak kutau namanya. Yang aku tau, kamu selalu menangis saat teman-temanmu membicarakan aku, atau pekerjaanku. Aku mungkin telah salah menggunakan senyum yang kau ajarkan. Aku mengaplikasikannya kepada seluruh tamu yang datang, berharap mereka memberikan kepingan-kepingan uang, agar kau bisa merasakan susu yang tidak pernah mampu keberikan dulu.
Hujan sudah mulai reda, aku kembali menuju pulang, menuju engkau yang sebelumnya aku lihat diingatan. Kau memiliki alis yang sama dengan ayahmu, tebal. Alisku tipis, jelas kau jauh lebih cantik. Ayahmu pasti akan sangat terkejut jika melihatmu, walau aku pernah berharap kalian lebih baik tidak pernah bertemu.
Pintu kayu ini rasanya sudah menjadi sisa rayap. Perlu teknik khusus untuk membukanya, tidak semua orang bisa, hanya aku, dan dia. Meja kayu bundar dengan taplak kotak2 yang semakin menguning itu terisi piring kosong. Ada sisa kuah kaldu disana, aku tersenyum. Setidaknya aku tau, perutmu sudah terisi. Dan dengan alphanya cahaya lampu, aku juga tau kau telah terlelap. Ini pukul empat pagi. Setelah jacket hitam ini kuletakkan di kursi plastik putih, aku mengambil gelas, memberikan hujan pada kerongkongan, hingga aku melewati ruang dengan penutup kain kuning muda. Kusibakkan mereka hingga aku lihat jelas kamu. Kamu yang tangisannya bisa menusuk lambungku, kamu yang tawanya mampu membuatku percaya kehadiran surga didunia, kamu yang kucintai sampai nadi. Kamu... Kamu tergantung dengan tali mengalungi lehermu. Kakimu tidak lagi menginjak tanah. Aku yang kehilangan udara, berteriak sekuat tenaga, lingkunganku gelap seketika.
"Cobalah mengerti. Semua ini mencari arti. Selamanya takkan berhenti. Inginkan rasakan. Rindu ini menjadi satu. Biar waktu yang memisahkan."
Tuesday, March 13, 2012
Rusak

Suatu malam, sebuah kotak musik yang terbuka. Sebilah boneka cantik dengan gaun berwarna gading melekat di tubuhnya dengan sempurna. Dia begitu cantik, berputar dengan satu kaki terangkat. Rambutnya diikat keatas, menambah keindahan lehernya yang jenjang. Siapapun akan terpikat. Dia terus berputar, dipandangi puluhan pasang mata yang memandang kagum.
Pengemudi-pengemudi Lego tak mampu mengalihkan mata, segala macam action figure pun bependapat sama. Dalam kamar bernuansa biru dan abu-abu, dialah sang maha cantik yang selalu mempesona. Berputar tanpa lelah dengan senyum yang selalu menghiasi wajah. Namun kedua bola matanya belum pernah lelah, memandangi satu sosok pemilik ruangan itu. Seseorang yang dengan ukuran tubuh puluhan bahkan ratusan kali lipat darinya.
Masih lekat di ingatannya, saat ibunda Edward pertama kali membelinya dari suatu toko mainan terbesar dikota itu untuk putra pertama dan semata wayangnya. Si cantik itu selalu setia bernyanyi dan menari, mengiri lelaki yang kala itu masih berupa bongkahan daging mungil hingga kini, beranjak menjadi pemuda yang begitu ia puja.
Pandangan di berbagai sudut dari puluhan pasang mata yang juga merupakan koleksi Edward tak digubrisnya. Kedua penglihatannya hanya tetuju pada seorang pemuda yang memiliki jiwa, dimana dia masih belum sadar jua. Mereka berbeda. Si cantik ini adalah idola, yang tidak mengindahkan sekelilingnya. Dia hanya begitu buta, pada sosok yang amat dia cinta.
*
Suatu malam, Edward pulang dengan mimik yang tidak biasa. Wajahnya lebih cerah dari langit biru yang dicumbui awan putih, matanya lebih terang daripada matahari yang selalu menyapanya tiap pagi. Seluruh penghuni kamar itu bertanya. Apa yang terjadi pada bos kesayangan mereka.
Si cantik merasakan hal yang sama, sesuatu telah terjadi pada Edward. Meski hari itu lelaki pujaan tersebut tidak lupa untuk menatap dan memutar tongkang dibawah kakinya agar si cantik ini benyanyi dan menari, namun tetap, kali ini pandangannya berbeda. Si cantik menari sambil bertanya-tanya. Matanya tidak lepas dari lelaki yang tersenyum dalam lelap.
Sudah lebih dari sepekan, Edward tidak seperti biasa. Waktu bermain bersama para koleksinya semakin sedikit. Laki laki yang beranjak dewasa itu kini jarang ada dirumah. Setelah menyisir dan tersenyum didepan kaca, Edward biasanya bergegas pergi. Dan sudah berapa hari ini, Edward tidak lagi memintanya bernyanyi. Jam pulangnya yang terlalu larut, membuat Edward tidak lagi sempat menyapa si cantik yang berdiri diatas meja pada sisi kanan tempat tidurnya. Si cantik kini begitu lesu. Tiga hari ini dia hanya terbujur kaku.
Para penghuni ruangan itu merasakan apa yang tejadi pada si cantik. Mereka berusaha menghibur dengan segala bentuk lelucon yang mana semua gagal menciptakan senyum dibibirnya.
Pada suatu siang, tidak seperti biasa, Edward pulang lebih awal. Seluruh penghuni kamarnya merasa janggal, begitu juga si cantik. Pria tesebut dengan tergega-gesa merapikan beberapa koleksi dan baju tidurnya yang berserakan, lalu kembali berlari keluar kamar. Si cantik, sekumpulan lego, para action figure saling bertatapan heran. Tak lama setelah itu, pintu kembali terbuka "Kamarku agak berantakan gapapa ya?". Suara Edwin terdengar lebih jelas setalah kaki-kakinya melangkah masuk, namun setelah itu sepasang kaki cantik milik seorang perempuan berambut pirang turut hadir "Waw, kamarmu nyaman sekali". Mereka kemudian masuk dalam kamar tesebut.
sang wanita tampaknya begitu tepesona dengan koleksi-koleksi Edward. Dipandangi bekali-kali para action figure di setiap sudut ruangan tersebut. Tampak master yoda yang sebenarnya salah tingkah karena kedatangan tamu asing yang tak segan meraba-raba dirinya.
Si cantik yang masih tertegun dengan kehadiran perempuan tesebut berusaha menahan rasa yang bekecamuk didadanya. Hingga akhirnya, wanita tersebut berlari menghampiri dirinya "Edward, action figure apa ini? Cantik sekali!" katanya sambil memandangi boneka penari tersebut. Edward kemudian mendekat "itu kotak musik kesayanganku. Aku harus memutarnya setiap malam agar bisa tetidur". Jawabnya sambil mengangkat si cantik, memutar skrupnya, memintanya bernyanyi dan menari. Melenggoklah si cantik setelah sekian lama tubuhnya kaku dan tak lagi tejamah tangan Edward. Wanita disamping pujaannya itu kini menatap kagum, memandangi si cantik yang menari. Hingga saat sicantik dan perempuan itu berhadapan, Edward mendaratkan bibirnya di bibir si wanita yang sedang terpana oleh tarian si cantik. Siang itu adalah suatu kenyataan yang harus si cantik terima, menari dan bernyanyi, mengiringi kekasih pujaan bercinta, dengan wanita yang bukan dirinya.
Hari itu matahari seperti bersekutu dengan udara. Mereka menghilang untuk membunuh mata dan nafas si cantik. Begitu gelap dan sesak, tariannya menggejolak, tangisannya tak tedengar.
Sejak kejadian siang itu, si cantik merasa sebagian dirinya sudah mati. Dia tidak lagi menari, apalagi benyanyi. Tubuhnya seperti tebujur kaku. Edward tak lagi menyapanya, dia terlalu sibuk dengan kekasih barunya. Para action figure dan anggota lego pun kini kehilangan kata-kata. Melihat si cantik yang semakin lama semakin kuyu.
Kotak musik yang dipijaknya kini sesak oleh debu, tidak ada lagi tangan yang mengusapnya. Dia begitu rapuh, tidak lagi ada senyum, apalagi kata-kata.
Waktu berlalu, Edward kini akan pergi, meninggalkan rumah untuk melanjutkan perguruan tinggi di kota lain.
Lelaki itu duduk seorang diri diatas tempat tidur, memandangi seluruh koleksinya semenjak kecil, bernostalgia dengan ingatannya. Diangkatnya si cantik, dia kembali memutar skrup dibawah kakinya. Kali ini, si cantik tak lagi bernyanyi. Edward yang sempat bingung meniup-niup bagian bawah kotak musik tersebut, namun tetap, si cantik tak lagi bersuara, apalagi menari. Mimik Edward berubah sedih, namun suara dari luar kamar memecah hening dikamarnya "Edward, semua sudah siap dimobil. Jangan sampai ketinggalan kereta!". Edwardpun bersiap. Meletakkan sicantik kembali diatas meja kamarnya.
"Aku rusak".
Friday, June 3, 2011
Menunggu..

Aku punya cerita.
Kali ini tentang : Menunggu...
Kalian pernah tau rasanya terjaga hingga menjadi saksi, dari lahirnya matahari?
Bermata terbuka ditemani keringat yang tidak menetes itu cukup mengganggu, setidaknya hari ini.
Aku merasakan sunyi paling bising dengan pipi yang basah.
Menatap kotak berisi gambar bergerak, tidak dengan maksud atau seperti kehilangan alasan untuk tidak beranjak.
Tapi tidak satupun dari apa yang mereka bicarakan atau lakukan didalam televisi itu aku pahami, aku hanya ingin
memastikan, aku punya kegiatan.
Bermata kosong dengan harapan tidak kesepian.
Ternyata sepi itu terlalu gaduh, aku menunggu sesuatu yang belum juga tiba. Menjaga tempat yang dia tinggalkan, dengan harapan dia cepat pulang.
Ada suara detik, yang tidak pernah berhenti.
Aku telah mengumpulkankannya menjadi musim hujan yang belum juga datang.
Aku percaya, Tuhan telah mengutus salah satu utusan yang tidak pernah mampu manusia lawan, waktu.
Dan aku telah menjadi pecundang-NYA yang paling konyol, saat memposisikan diri sebagai penantang.
Inilah hasil dari kekalahan tertotol, emosi yang tidak lagi mampu aku kontrol.
Sekarang aku menunggu diam dibalik pintu.
Ramai belum juga mau datang, televisi ini juga masih menyala, suaranya numpang lewat diterima.
Tapi samar-samar aku mendengar kayu terketuk.
"Siapa?" tanyaku tanpa menoleh pada pintu dibelakang kepala.
"Aku mengantarkan surat" sahut suara didepan.
Aku buka pintu dan menabuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebelum surat beramplop putih sampai pada ke-lima jemari. Pria bertopi dengan jaket biru tua itu sempat bilang "Maklum birokrasi. Bisa minta lagi parafnya disini? Hanya untuk tanda bukti suratnya sudah sampai". Aku tidak membalasnya dengan kata, hanya melakukan apa yang dia perintahkan.
Sekarang aku kembali duduk diposisi semula, dengan amplop yang aku buka dengan hati-hati.
Secarik kertas tanpa garis dihiasi beberapa kata.
"Jika aku belum juga pulang, mungkin waktunya kamu untuk berdiri, keluar dan mencari aku, atau mungkin kita tidak akan pernah lagi bertemu. Tertanda, Hati-mu"
Aku meraba lubang dibalik dadaku, kosong...
********
Tuesday, March 29, 2011
Plastic Heaven

kalian pernah melihat Surga? Jika belum, izinkan saya bercerita tentang sebuah tempat dimana sebagian manusia menganggapnya sebagai tempat paling Indah.
Dengan berbekal uang Seratus Lima puluh ribu, kita mungkin akan bertemu. Tapi belum tentu, kalian boleh menyentuhku.
Berawal dari seorang pria yang merupakan tetangga lama kami yang sudah terasa sebagai keluarga. Pak Gunawan, lelaki keturunan Tionghoa ini cukup akrab dengan keluargaku di kampung. Beliau adalah perantau Ibukota yang kadang pulang dua bulan sekali untuk menjenguk anak istri. Karena sang istri merupakan saudara jauh ibu, maka ikatan silaturahmi kami cukup dekat. Hanya saja, Pak Gunawan selalu merasa tidak kerasan tinggal dikampung dalam kurun waktu lama. Alasannya, beliau merasa terasingkan oleh warga karena berkulit pucat dan bermata sipit.
Pada suatu hari, Pak Gunawan bertamu kerumah sambil membawakan oleh-oleh dari kota. Akulah yang mengantar teh untuk pak Gunawan, Mbak Sri (istri beliau) pergi kekamar bersama ibu.
"Ini Drupadi?" tanya Pak Gun kepada bapak sambil memandangku.
"Iya, sudah gadis ya? kamu sudah terlalu lama tidak bertamu berarti" sahut bapak sambil tertawa terkekeh.
Aku hanya membalas perbincangan selintas tadi dengan senyum, lalu berlalu ke dapur. Sampai akhirnya kedengar suara Bapak kembali memanggil.
"iya pak" jawabku seraya kembali keruang tamu.
"Ini lho, pak Gun ingin mengajak kamu ke kota. Mau mengorbitkan kamu jadi artis katanya.
STOP!
itu memori terakhir yang aku ingat. Sekitar Lima tahun lalu, sebelum akhirnya aku tiba disini.
Surga, itu kata mereka. Untukku, ini hanya suatu tempat bias. Aku tak lagi punya rasa. Yang aku tau hanya mengangkat, pura-pura merasa nikmat, lalu aku akan punya uang untuk dikirimkan pada para kerabat.
Aku ada dilantai tiga. Disini terdapat kolam besar ditengah rimbunan pohon seperti layaknya surga. Pohon-pohon itu semuanya terbuat dari Plastik tapi nyaris menyerupai asli. Bunga-bunga juga bertebaran. Lelaki berbagai macam tipe ada disini, kalian sebut bangsanya, aku rasa semua ada.
Tetapi jika lelaki-lelaki itu cenderung dari dalam negri, biasanya mereka akan memilih gadis dari Negara lain. Usbekistan sangat laris dikalangan pribumi. Sedangkan kami wanita-wanita berdarah asli nusantara, biasanya akan siap menjadi santapan para turis dari Belanda, Jerman, atau Amerika.
Bahasa Inggrisku tidak fasih. Jadi bisa bayangkan rasanya pertama kali mendapatkan "client" asing, kami masuk kedalam kamar yang mana biasanya mereka dalam kendali alkohol lalu segera meremas kami tanpa basa-basi. Tidak jarang mereka "langsung" dan menolak "berciuman" terlebih dahulu. Mereka melihat kami sebagai ladang penyakit yang sangat nikmat, jadi tetap dikunjungi namun sangat berhati-hati.
Aku juga begitu, harus sangat berhati-hati. Karena jika pelayanan kami tak memuaskan mereka. "PAPI" atau panggilan terhadap pak Gun sekarang ini tidak ragu membentak atau memukul.
*
Malam ini Rabu, salah satu malam yang aku tunggu.
Biasanya dia datang.
DIA?
Seperti biasa, salah satu pengunjung disini. Tapi seperti kataku, laki-laki seperti dia akan memilih Usbek atau Korea. padahal harga Korea disini lebih mahal, 1.9 juta. Sedangkan aku dan pribumi lain 900ribu saja.
Aku sudah berdandan secantik mungkin, berharap dia menatapku dengan dalam dan akhirnya memutuskan untuk mengangkutku keluar dari lantai 3 yang sungguh menurutku amat membosankan ini. Aku kadang kedinginan. Diwajibkan berbikini disaat outdoor sampai salah satu dari pengunjung memilihmu sebenarnya bukan ide baik.
Kami biasanya dibariskan dengan nomor yang sudah ada di dada kami. Rombongan Korea telah keluar dan tersisa tiga dari sepuluh yang ada. Stock Uzbek sudah habis dibawa naik ( bagian atas adalah hotel ) maka setelah China, giliran kami para Gadis Indonesia yang masih lengkap ber delapan.
Aku lihat dia duduk sambil menenggak alkohol bersama teman-temannya.
"INDONESIA" suara papi kembali menggema "Silahkan bisa diamati dulu. Apabila ada yang ingin melihat lebih jelas, sebut saja nomornya. Supaya pilihan kalian bisa mendekat dan dilihat lebih jelas" tambah pria tambun tionghoa itu.
"10w120" dia, DIA mengangkat tangannya. Seingatku, itu adalah nomor yang tertera didadaku. Hatiku menjerit senang, Akhirnya, aku dapat mendekatinya. Satu malam berpura-pura menjadi kekasihnya. Aku pun mendekat sampai akhirnya dia berkata setelah aku mendekat.
"Maaf, bukan. 10m121 maksudnya. nomor kalian hampir sama sih" katanya terkekeh.
Aku sering mengalami seperti itu. ditolak dalam menjalani pekerjaan yang sangat hina sekalipun. lalu kembali pada barisan, dan Wina si beruntung yang memiliki nomor dada seperti yang disebutkan maju.
Papi sempat menawarkan "Satu aja? ga mau dua sekalian? siapa tau untuk variasi?" tambahnya dengan lelucon yang menurutku sama sekali tidak lucu.
tapi itulah aku, tetap tersenyum dalam apa yang aku rasakan. Seperti keberadaan pohon dan bunga-bunga disini, PALSU...
******
Sunday, February 6, 2011
Dia Tidak Menunggu

Bokongku masih terlalu betah beradu dengan kursi tiga bantalan yang bersender pada tepi jendela besar. Semacam tidak ingin bergerak, kalian tau "PeWe" kan? Manusia jaman sekarang menyebut istilah itu untuk menyingkat kalimat Posisi Wenak. Ya, kira-kira itu yang sedang aku rasakan.
Tidak terlalu sendiri, aku bersyukur memiliki teman yang sangat setia menemani sejak dua tahun lalu. Bahkan saat aku meninggalkan kesadaran, dia tetap ada. Bayangkan, dimana lagi bisa menemukan teman yang begitu setia disisimu bahkan saat make up-mu luntur karena menangis?
Mari kuperkenalkan pada kalian, namanya : WAKTU.
"Kamu ingin melewatkan malam ini dengan mata terbuka lagi?" dia membuka percakapan.
"Ah, aku cuma ingin bertemu bulan" jawabku sabil menghembuskan asap dari tembakau yang terbakar.
"Alasan" jawabnya dengan tawa ketus, "kamu hanya ingin menabung air mata dengan kenangan yang dipaksa untuk bersedih" tambahnya.
"Apaan sih? Dasar ga jelas!" balasku tak kalah ketus sambil melempar pandang pada kaca besar yang menembus langit dan pemandangan. Samar-samar dari pantulannya aku lihat, kantung mataku hampir menyerupai milik pemimpin negri yang negaranya terus tertimpa bencana lalu dihardik rakyat.
"Dia tidak akan datang" katanya lagi mengganggu diamku.
"Aku tau"
"Lalu?"
"LALU??? Daripada kamu banyak bertanya, lebih baik kau bantu aku!" akhirnya emosiku naik juga.
"Bantu bagaimana?" tanyanya bingung.
"Gimana sih? kamu kan waktu, harusnya kamu bisa dong bantu aku melupakan dia. Kamu pikir aku seneng apa kaya gini terus? Menangis setiap malam sambil mendekap pigura, sedangkan orang didalam foto ini mungkin sedang asik bercinta dengan kekasih barunya?!?" kutembaki dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah aku kandung selama ini. Seperti melahirkan prematur rasanya, karena semua seperti tidak cukup. Tabung ini masih terlalu luas untuk diroketkan.
Dia hanya diam, melihatku dengan pandangan kosong. mataku yang dihiasi air mata tidak lagi dia indahkan. Kulihat dia bergerak, dan aku mulai panik.
"Mau kemana?!?"
"Aku tidak menunggu, kamu mau disini sampai kapan?" dan waktu pun berlalu...
*******
Monday, January 17, 2011
Sang Pencipta

Emas menjadi pelapis pilar-pilar yang menjulang pada para bangunan di tempat itu, segalanya megah.
Pepohonan mejalar rapi serta sarat warna-warni bunga yang cantik. Belum lagi beraneka macam buah ranum menggantung sedang menggoda untuk dipetik.
Udara sekitar sangat sejuk menyentuh kulit, sayup-sayup terdengar suara dari binatang-binatang bersayap yang berterbangan. Mengepak indah sambil bernyanyi lagu riang.
Mahluk-mahluk hilir mudik dengan wajah penuh senyuman. Tubuh mereka bersinar, bukan hal yang perlu diherankan sebenarnya. Mereka tercipta dari cahaya, membuat rupa para mahluk itu rupawan bukan kepalang. Tidak ada yang pernah tau jenis kelamin pasti mereka, namun semua hidup rukun dan damai. Jauh dari pertikaian, karena semua seragam dan disamakan oleh NYA, Sang Pencipta.
Dalam sebuah bangunan berwarna gading, seorang diantara mereka sedang duduk bersila.
Matanya terpejam berusaha menangkap sinyal yang hanya bisa teraba oleh rasa.
Tubuhnya bersinar seperti yang lainnya, namun sang Creator tampaknya meluangkan waktu lebih banyak saat menciptanya. Kuratan di wajahnya sedikit berbeda dari kaum setempat.
Dapat dikatakan, dialah mahluk tercantik disana. Sesekali dahinya mengernyit, berusaha mencapai tingkat kepekaan tertinggi sehingga dia mulai merasakan titik terang, bahkan lebih terang dari kulit tubuhnya sendiri.
Sebuah bisikan datang, tidak seorangpun yang dapat mendengar kecuali telinga nya sendiri.
Cahaya itu semakin terang dan membutakan matanya....., PUTIH.
Sepertinya Sang pencipta kali ini menambah keistimewaan pada mahluk dengan tubuh semampai yang sedang mendapati dirinya ber aktualisasi.
Sebongkah sinar putih menyelusup ke dalam kepalanya. Kini dia resmi berbeda, The creator menurunkan salah satu kehebatannya, BERKEHENDAK.
Sejak hari itu, mahluk tercantik pun mulai melahirkan banyak pertanyaan dari rahim kepalanya.
Merasa bosan dengan tempatnya berpijak, Kota Emas. Semua dirasa menjemukan, dan terkekang oleh kediktatoran Sang Pencipta.
Mereka hanya dicipta untuk melakukan kebaikan, kerukunan, dan kebahagiaan. Dirinya bergejolak untuk bergerak. Dia yakin, ditangannya....dia dapat membuat kota itu menjadi lebih berwarna, lebih hidup dan berdinamika.
Sehingga kini dia memulai dosanya yang pertama....MEMBANGKANG.
Dengan wajahnya yang rupawan, dia dapat membisikan sebagian para pemujanya untuk bergerak dan memberontak. Segala strategi pun telah tersusun rapi, kini di siap membusung dan bergerak menuju satu ambisi. Menjadi penguasa kota Emas.
Ditengah pepohan rimbun berdaun hijau, mahluk kesayangan Sang Pencipta ini pun memimpin rapat, dimana mereka akan menyerang saat angin sedang bergerak ke selatan. Disaat itulah kebencian dapat ditiupkan.
Tapi satu hal yang dia lupakan, adalah siapa musuh yang dia hadapi : Sang Pencipta.
Perang besar terjadi, meruntuhkan sebagian bangunan-bangunan gading berhias emas yang seragam. Udara tidak lagi sejuk, kedamaian mulai bersembunyi di bilik emosi. Cemas beranak pinak di setiap mahluk di kota itu.
Senyum kini tersungging di bibirnya, dia pun mulai merasa....kemenangan tinggal selangkah di depan mata. Dengan cemas, maka para mahluk d kota itu akan berlindung padanya. Hingga the last battle pun terjadi, dirinya kini berhadapan dengan pemimpin para mahluk kota Emas yang tidak bisa ia anggap remeh.
"Mana Tuanmu?" tanya pemberontak itu dengan congkak. Dia berdiri 4 meter didepan para pasukannya.
Dan pemimpin kota itu pun maju sendiri dengan dada yang membusung " Bahkan jangan pernah terlintas di pikiranmu walau sekejab kalau kamu pantas disejajarkan dengan NYA!".
"HAHAHAHAHA" tawanya menggema, "Aku puja kesetiaanmu pada NYA Michael!! Akupun bisa memahami, kalian tidak memiliki apa yang aku punya. Harusnya kalian marah pada NYA, LIHAT!! DIA sudah bertindak tidak adil, dia mewariskan padaku salah satu sifat istimewanya. Tapi kalian??? Lihat diri kalian yang hanya dapat ditakdirkan melakukan sesuatu tanpa pilihan, MENYEDIHKAN!!"
"BELIAU memberimu keistimewaan dengan alasan NYA sendiri. Dan itu adalah mutlak hak NYA, kami tidak bertanya, karena kami rasa kami juga belum pantas untuk tau. Pengetahuan kami begitu kecil dibawah kaki NYA yang besar. Tapi kami yakin, DIA maha tau lagi maha bijaksana. Sekiranya BELIAU menjawab, belum tentu kami rasa pengetahuan kami mampu untuk memahaminya. Dan mohon kiranya kamu untuk tau, bila ada kata "MENYEDIHKAN" maka yang paling pantas menyandangnya adalah ENGKAU!"
"JAHANAM KAU MICHAEL!!!" pemberontak itu kini terbang menyerang pemimpin kota Emas yang dikenal dengan nama Michael itu. Tubuh mereka beradu, kilatan cahaya bergesekan....membuat suasana Kota Emas saat itu megerikan. Tidak ada kedamaian, hanya teriakan dan pekikan.
Cahaya terang yang menyilaukan coba dihembuskan untuk menyerang kedua mata pemimpin kota, namun Michael mampu melompat lincah untuk menghindar. Kali ini pemberontak ini semakin marah....tubuhnya mulai meradang merah. Ini adalah jalan untuk menuju kuasa, dan dia harus melewatinya. Dan dia terus menyerang sang pemimpin dari berbagai penjuru, dan ini semua diluar prediksinya. Michael terlalu kuat untuk menjadi lawannya, sehingga dia memutuskan untuk mengambil jarak sementara...
"Aku sepertinya sedikit meremehkanmu di awal" katanya dengan nafas terengah.
"HAHAHA, jangan pernah berpikir kamulah satu-satunya mahluk yang diberikan wahyu dan rahmat."
SIAL!! hatinya mengutuk, dia seharusnya berpikir lebih panjang. Bukan hal yang tidak mungkin the creator menurunkan salah satu sifatnya pula pada pemimpin tempat ini. Salah satunya KEKUATAN. Pemberontak itu tau, Michael bukanlah tandingannya dalam hal ini. Kekuatannya jauh lebih besar dari kekukatan yang bersarang pada dirinya. Namun di tengah kelengahannya, Michael melompat dan merangkup tubuhnya, mengangkat, lalu membantingnya ke permukaan. Kini sang pemberontak mulai lemah, dan kaki MICHAEL telah berada di permukaan tubuhnya...siap menikam dengan pedang emas yang serupa dengan 2 lilitan yang mematikan.
Namun Sang Pencipta memberikan perintah, agar MICHAEL menahan apa yang sebenarnya ingin dia lalukan, mengkorek habis pemberontak tercantik yang seharusnya bersyukur. Akhirnya pemimpin para malaikat itu kini menghempaskan tubuh mantan mahluk tercantik kota Emas yang biasa terlafaz dengan kata "SURGA".
Tubuh lemasnya pun terlempar jauh dari surga dengan amarah yang belum padam. Dimana dia mendarat terasing dalam suatu tempat baru. Dia bersumpah, akan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya serta mulai membangun kota baru dengan api emosi yang teus membakar jiwanya.
Dari Kota Emas, Michael hanya menatap dengan sorot mata jauh ke bawah. Jauh didasar dirinya, dia amat menyesali, apa yang telah dilakukan saudaranya. Tapi sekali lagi dia harus yakin, ini perintah NYA. Dia hanya cukup yakin dan percaya kalau Sang creator pasti mempunyai rencana lain, Dia maha tau.....lagi maha bijaksana. Lalu Pemimpin para malaikat itu hanya bergumam.....
" Sampai berjumpa, LUCIFER "
Judul lukisan diatas adalah " Michael Expelling Lucifer And The Rebellious Angels From Heaven "
NB : Gambar diatas adalah salah satu lukisan di Museum LOUVRE, Paris.
Soal cerita, ini sebagian fiksi dan tanpa menyinggung suatu kaum tertentu. Hanya cerita dari pendongeng berotak semut yang lagi suka sama cerita2 mitologi trs nyambung2in pake teori sendiri. Just 4 have fun yaaa :) Kamsiaaaa.....
Tuesday, December 28, 2010
Singa dan Alat tulis

Aku masih ingat sekali garis-garis wajah lelaki yang selalu kulihat mengenakan peci itu. Belum lewat dua puluh empat jam kami bertukar suara, beliau membeli kertas berisi berita harian negeri dari tanganku.
Saat itu dia menghela nafas panjang membaca tulisan besar di kolom utama. "PENCURIAN SEBATANG ALAT TULIS". Aku menengok sisa tumpukan koran ditanganku, mencoba menyamakan gambar sosok yang ada didalamnya dengan seorang lelaki didepan batang hidungku. Mataku menyipit dan arah pandangku berganti-ganti, kadang ke koran digenggaman tanganku yang tak sebesar tangannya, kadang menuju pria dewasa dengan kharisma yang begitu menyilaukan ini.
"Apa yang kaulihat nak?" tanyanya melihatku celingukan
"Tidak Pak, anu...", suaraku terpotong "Apakah bapak adalah Lelaki di gambar ini?" kataku seraya menunjuk foto didalam koran.
Dia hanya tersenyum, lalu telapak tangannya menuju ujung kepalaku dan mengusap-usap rambutku. Tanpa ada kata lagi keluar dari mulutnya, beliau lalu membalikkan badan dan berjalan. Sempat kulihat, sebatang pulpen menyembul dari kantung yang terletak di dada kiri baju putihnya.
*****
Alun-alun ramai sekali, aku masih berkeliling dengan memanggul dagangan sisa ditangan. Diantara kerumunan manusia yang tidak hanya dihuni oleh pribumi, aku seperti melihat seekor singa diatas podium.
Singa itu bersorot mata tajam, dan siap mencabik manusia-manusia berambut merah dan kuning yang telah menjadi tuan di "rumah" kami. Setelah mengucap salam, lelaki yang wajahnya tercetak di koran yang kudagangkan membuka kembali suaranya :
"KALIAN LIHAT INI APA?" katanya sambil mengacungkan pulpen yang tadi siang kulihat tersemat dikantungnya. Tapi tidak ada satu orangpun yang menjawab meski pastilah tau akan jawabannya.
"INI ADALAH ALAT TULIS YANG MENJADI BERITA DIMANA KALIAN GEMBAR GEMBORKAN HARI INI" katanya berapi-api.
"SEBELUMNYA JELAS SAYA KATAKAN, SAYA "MEMINJAM" DAN DIHADAPAN KALIAN SEMUA BANGSA BELANDA, SAYA KEMBALIKAN". Sang singa podium mengarahkan pulpen hitam itu ke arah kumpulan tentara berkulit putih. Namun semua diantara mereka ragu untuk maju, hingga lelaki pemberani itu menaruh dibawah kakinya.
Masih dengan tatapan berapi-rapi dan suara yang menggelegar, laki-laki berpeci tersebut meneruskan katanya
"HANYA KARENA SATU BUAH ALAT TULIS, KALIAN MENYEBAR BERITA TENTANG PENCURIAN PULPEN DIMANA-MANA. DAN SAYA DETIK INI DENGAN BESAR HATI BERANI MENGEMBALIKAN LANGSUNG KE TANGAN KALIAN. SEKARANG GILIRAN KALIAN, KALIAN TELAH MENCURI NEGARA KAMI RATUSAN TAHUN LAMANYA, DAN PERTANYAAN SAYA HANYA SATU : BERANIKAH KALIAN MENGEMBALIKANNYA ??
Ratusan darah Indonesia mendidih kala itu, termasuk darahku. Lelaki itu telah membuka mata kami semua, bahwa selama tubuh kita masih mengandung darah, buang jauh-jauh kata MENYERAH !!
******
Sunday, December 26, 2010
Jawaban Tuhan Dalam Air Mata

Apa kalian pernah merasakan detak jatung menghentak-hentakan dada dengan begitu keras ?
Jika belum, kalian harus mencobanya. Bagi yang tidak asing dengan pertanyaanku barusan, sekali lagi aku ingin bertanya : Menyenangkan bukan ?
Deretan gigiku seakan ingin terus melihat dunia karena menahan senyum ternyata sulit. Sepanjang jalan di tol menuju Bogor, kedua daun telinga tak kuizinkan untuk rehat dari sengatan lagu-lagu cinta, walau sebenarnya perasaanku saat ini lebih tepat disebut : RINDU.
Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menginjak kota hujan yang juga menjadi tempat pertama kali aku bernafas. Kegemparan di bulan kelahiranku pada tahun '98 terjadi di Jakarta. Kami yang memiliki bentuk mata yang tidak bulat dan berkulit pucat menjadi bahan hujatan. Toko milik adik ayahku habis dibakar massa. Sedangkan sebagian investasi ayah ada disana, sehingga kami yang menjadi satu-satunya sisa dari keluarga besar Ayah memutuskan untuk ikut hijrah menuju kota kelahiran nenek moyangku, Guangzhou.
Aku sempat bertanya pada ayah, mengapa kami harus ikut pindah, karena sesungguhnya kerusuhan terjadi di ibukota. Sedangkan kami sekeluarga bertempat tinggal di kawasan Bogor, tapi tampaknya saat itu seluruh keturunan Tiong Hoa telah gelap mata. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan diri, juga keluarga.
Bukan tanpa alasan aku terus bertanya pada Ayah. Sejujurnya, aku tidak ingin pindah. Walau teman-teman di tempat aku bersekolah kerap kali memanggil aku dengan sebutan "Cina". Aku punya alasan kuat untuk bertahan : CINTA.
Setidaknya pada usia sepuluh tahun, aku merasa itu namanya.
Seorang lelaki pribumi bernama Ilham mencuri perhatianku. Tidak ada yang special dari pria kurus berkulit gelap itu dimata orang kebanyakan. Tapi untukku, diamnya seperti memaksaku untuk terus memberinya perhatian. Di hari terakhir sekolah, aku beranikan diri mendatangi lelaki pribumi itu sebelum keesokan harinya aku meninggalkan negara ini.
Siang itu, Ilham sedang duduk di mejanya. Bel istirahat tidak membuat kaki-kakinya beranjak menuju kantin.
"Aku besok berangkat ke China" kataku tanpa basa-basi sembari berdiri tepat didepan mejanya.
"Mau ngapain?" tanyanya sambil tetap fokus pada buku gambarnya.
"Mau tinggal disana sama papi, mami, sama koko" jawabku
Seketika tangannya berhenti menggambar, menatapku, lalu lanjut tanpa memberi acuh. Aku jelas menjadi sedikit gusar.
"Kamu ga mau ngomong apa-apa sama aku?" tanyaku dengan keringat yang telah menyembul keluar. Karena sebenarnya aku malu sekali saat itu.
Jawaban Ilham saat itu hanya gelengan kepala, tanpa kata. Itulah aku rasakan pertama kali, yang dinamakan patah hati.
Tapi tunggu dulu, seusai sekolah kejadian berganti. Saat koko siap menjemput di gerbang dengan sepeda motornya, sebilah suara tertangkap telingaku
"MEEEEII"
itulah suara yang kunanti, namun aku tak bisa untuk membalas panggilannya. Karena koko terlalu menggesa-gesa. Dan kata selanjutnya menyusul
"KITA PASTI KETEMU LAGI". Itulah terakhir kudapat kata dari bibirnya.
*
Kuinjak lagi pada akhirnya aspal di kota Bogor. Terlalu banyak yang berubah dari kota ini, hingga tak lagi kukenali. Hari ini adalah hari besar untuk kami, karena alasan itulah juga kami melewati samudra untuk tiba di Indonesia. Natal tahun ini, akan dilewati di kota, yang pernah kami cintai.
*
Siang yang paling buruk sepanjang hidupku, adalah menerima kenyataan bahwa Gereja tempat kami biasa berkunjung telah ditutup. Para jamaat memanjatkan doa diatas trotoar, pertanyaanku : Inikah kota yang dulu penuh cinta? Kami saling menangis sambil terus memanjat doa. Natal kali ini dimeriahkan oleh suara-suara jalan dan juga hujatan. Mereka terus mencaci, mengatakan ini bukan tempat ibadah. Menyakitkan mata kami dengan spanduk-spanduk yang entah atas perintah siapa. Yang aku tau, Tuhan itu satu. Salahkah kami yang menyebutnya dengan nama berbeda?
Kami terus berdoa dalam cemas dan takut. Hingga aku-pun melambung pinta pada-NYA : berikan aku jawaban setidaknya satu, atas segala pertanyaanku.
Tak lama waktu berselang, sekumpulan pria berjubah putih mengepung kami, kontan kami berteriak dan menunduk. Air mata dan pipiku akhirnya bertemu. Kubenamkan wajahku dengan kesepuluh jemari. Sampai ku lihat sosok yang selama ini aku cari, mata yang sudah lama kucumbui rindu, dengan sorot mata asing yang menggebu-gebu. Ada sinar kebencian mendalam disana yang begitu terang, hingga percikan-percikan rinduku tenggelam dan menghilang.
ILHAM ?!?!?!?!
"BUBARKAN KEGIATAN YANG MENGGANGGU MASYARAKAT. BUBAR BUBAR BUBAR !!!
ALLAHU AKBAR !!"
Bersama air mata yang telah aku setubuhi. Tuhan memberikan jawaban, di hari suci.
*****
* Cerita ini total fiksi semata. Terinspirasi dari kisah saudara-saudara kita di GKI yasmin.
Selamat Hari Natal, semoga berkah dan damai natal menyelimuti kalian semua
Wednesday, December 22, 2010
Dimana Letak Surga

“SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”
Ingatannya hanya melayang pada kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak. Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun tertanam dalam otak besarnya.
*
“Nik, besok ninik aja ya yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris potongan-potongan bawang
“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau, nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan tersebut kedalam wadah suatu wajan.
“Tapi aku kan ga nakal nik disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.
“Ya Ampun yo…, emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”
“Beda nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus nanti disekolah!”
Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu bangga padanya nak”
“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.
“Sudahlah bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”
*
Suara yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur turun.
“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu kirinya dipegang kuat-kuat.
“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55 tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang sedang menggerutu.
“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz” jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.
“Sebelum membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”
Anak itu terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa langkah didepannya.
“Pak Ustaaaaadd…..Pak Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan setengah berteriak.
“Ada apalagi nak?”
“Engga Pak Ustad, aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah merajuk sambul mengacungkan telunjuk
“Hahaha…, tentu boleh nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apa benar Surga itu ada di telapak kaki Ibu?”
Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.
“Nak, saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.
“Lalu yang kedua siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.
“Ibumu”
“Ibu? Lalu yang ketiga?”
“Masih Ibumu nak”
Anak itu terdiam menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.
Sepasang tangan kini memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…
*
“Sudah pulang nak?”
“Sudah bu”
“Lg apa di dapur nak?”
“Lagi buat roti pake meses”
“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster batik menghampirinya
“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”
“Udaah.., ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti dari genggaman bocah cilik itu
“Ga usah buuuuu” Aryo spontan mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses, mentega, dan selai-selai lainya..
PRAAAAAAAANNNGGGG
Beberapa selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.
Pria kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…
SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU
Namun bagaimana jika sang Ibu tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?
Batinnya memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…
*
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” sahut penghuni dari dalam rumah
Ruang tamu itu mungkin tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.
“Baru pulang nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar
“Iya bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek, bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.
“Permisi semuanya, aryo main bola ya”
“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia 35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya
“Kenalin pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.
“Bu, aryo udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”
“Iya nak, hati-hati ya” jawabnya tersenyum
*
Kaki mungilnya terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap penentuan team dijalankan.
“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali ya” bisik salah satu bocah
“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”
“yeaaaayyy, aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.
“Sampe besok ya temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah tampak menunggu di bibir lapangan.
Aryo kecil terus berjalan acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.
“ARYOO…”
Saat namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun segera menghampirinya
“Bisa bicara sebentar Aryo?”
*
“Jadi kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan
“Apa kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan “sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak berbicara
“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu ibu?”
“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah seperti teman-teman yang lain”
“Apa Ibumu pernah datang kesekolahmu?”
“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”
“Kamu senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi plastic berwarna merah yang didudukinya.
“Engga om, semua temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga karena ibuku tidak mempunyai kaki”
“Aryo, kau seharusnya bangga dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan dengan sang bocah meneruskan ceritanya
*
“Apa yang membuat anda memutuskan untuk pergi?”
“Karena saat itu saya menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang sudah seperti ibu saya sendiri.”
“Apa yang pertama anda rasakan di sana?”
“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”
“Bagaimana dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”
“Saya justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”
“Apakah anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”
“Tidak, saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh anggota keluarga saya”
*
Bocah itu kini menangis, menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk mencetak gol.
Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka pintu kamar..
“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya. Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….
*
“ARYO GA MASUK SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu
“Kalian ko ngomongnya gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak berkepang dua
“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan masuk Surga. Hahhahahahaha”
“Kalian nanti aku laporin Bu Guru ya!!”
“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum
“Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”
**********
Monday, October 18, 2010
Satu Sama :)
Aku coba sekali lagi tersenyum pada dia disana tapi hasilnya sama : BUANG MUKA!
Ok, tidak masalah.
Perlahan aku menyapu pandang ke seluruh sudut ruangan. Suara tawa dan basa-basi para tamu undangan menyesakan telinga. Sepiring kambing guling dipalang lebih dari sepuluh tubuh untuk sampai dimulut, karenanya sekarang segelas cairan tanpa warna terpeluk erat oleh kelima jari kiriku, sedang tangan kanan sibuk menari diatas abjad-abjad ponsel.
"Iya, aku juga masih di tempat kawinan temen" jawabku untuk sebuah "PING" histeris yang dari tadi menyerang blackberry-ku.
"Aku bete nih disini, ada perempuan menjijikan. Males banget deh!!!" jawabnya tak sampai satu menit dari pesanku sebelumnya.
"Yaudah, kamu santai aja. Udah makan?" tanyaku perhatian
"Semua makanan udah aku makan, kalo bisa si Chevana pecun itu juga aku makan!" balasnya.
"Eh, jangan gitu dong sayang. Sabar, kamu pasti cantik kalo ga marah-marah. Talk to you later ya, mau foto alumni SMA nih" kataku sambil berbohong.
"Ok, tapi nanti abis kamu pulang dari kawinan, kita YM-an ya sayaaaanng. Aku kangen buanget sama pacarkuuu, cinta banget sama kamuuu!" begitu kira-kira balasnya dengan kata yang menurutku "lebayatun" Tsk.
Hari ini, aku sengaja menginjakkan kaki ke tempat yang sebenarnya malas kuinjak setengah mati. Disini semua orang tertawa, dari mulai kedua mempelai yang katanya berbahagia, sampai para undangan ( lagi-lagi katanya ) merasakan hal yang sama. Jika itu semua benar, berarti akulah satu-satunya orang dalam ruangan penuh bunga ini yang ingin menangis. Kalau perlu aku ingin meraung-raung sambil membanting semua barang yang ada.Tapi hal itu tak mungkin ku lakukan, karena bila itu terjadi berarti Rumah Sakit Jiwa akan segera menjadi rumah masa depan.
Sebenarnya kantung mataku ini sudah mau pecah, tidak mampu lagi menahan luapan air yang sebentar lagi tumpah. Pelaminan itu seharusnya singgasanaku sekarang. Tawa itu milikku!!!!!! seharusnya.....
*
Ruangan ini tidak berisik, tidak banyak suara. Disini kukira tempat yang paling aman untuk air mata sementara, sampai akhirnya kudengar suara "flush" dari salah satu pintu toilet. Segera kubersihkan sisa-sisa airmata yang tadi tumpah. Malu, ini pesta pernikahan, bukan pemakaman. Meski bagikuku Kebahagian barunya, adalah kematianku paling tragis dalam rasa.
Pintu toilet terbuka, dan ternyata wanita itu lagi.
Dia belum berubah, seperti awal paragraf kuceritakan, semanis apapun senyum kutawarkan, dia pasti mengembalikannya dengan mata yang lebih besar dari ukuran asli plus ekspresi layaknya orang mengambil nafas namun ditahan dulu sebelum dihembuskan.
Dengan hidung yang masih merah aku menatapnya. Dia tersenyum senang melihat sisa genangan air di mataku. Aku diam, berusaha mengatur irama nafas. Tenang...., aku harus tenang menghadapi wanita berkulit putih, berbadan tambun meski raut wajahnya (sedikit) manis.
"Masih dinangisin aja sih? Udah laki orang woy!!" katanya sambil menyisir di hadapan kaca diatas wastafel, dengan arah pandang tetap kedepan.
Aku yang disamping kirinya cuma diam menahan kesal. Wanita didepanku ini adalah perempuan yang membuat kekasihku mengucap kata "Maaf ya va, aku rasa hubungan kita ga mungkin dilanjutin. Aku ga bisa pacaran jarak jauh" dan tiga hari kemudian foto di jejaring sosialnya sudah berdampingan dengan wanita di hadapanku sekarang.
Ketika lulus kuliah, mereka berdua kembali ke ibukota dan entah kenapa wanita lulusan Universitas terkemuka di Bandung ini justru seperti mengibarkan bendera perang. Tidak bosan-bosannya melempariku dengan fitnah-fitnah, dan sikap tak bersahabat. Hingga saat mereka berdua putus, wanita ini stress tingkat tinggi hingga badannya mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya. Akhir kata, tidak satupun dari kita yang mendapatkan hati Bagas, karena wanita diatas pelaminan itulah pemenangnya...
"Kamu tuh ada masalah apa ya ras sama aku?" tanyaku dengan nada sopan
"Napeeeeee lagi lo? Muka lo tuh, masalah buat mata gue" jawabnya nyinyir
"Terus kenapa dilihat?" dengan segenap hati aku berusaha menjawab dengan tenang.
"Anjing lo!! Rebek banget sih?? Eh, lo kalo emang masih kecintaan sama Bagas ya sanaaaaa" katanya sambil menaikkan dagu "Heran gue, emang salah gue kalo lo ngebosenin terus Bagas naksir gue? Makanya muka dirawat dong. jerawat dipelihara" kata terakhirnya cukup mendidihkan emosiku.
"Memangnya kamu sempurna ya ras?" kataku sambil menahan tangis yang sebenarnya memang belum selesai.
"SETIDAKNYA GUE PUNYA PACAR" jawabnya bangga.
Aku menunduk..., sedikit ingin tertawa
*
@Larashita : Pathetic amat sih hidup lo! Mending gue pacaran sama @RomeoSudirdjo deh, kamu dmn sih sayang? Bbm aku ga di bales-bales :(
Itu up date-an terbaru dari jejaring sosial milik wanita yang satu jam lalu membuatku ingin membenamkan wajahnya di toilet.
Sejak aku tau wanita yang menghancurkan hidupku itu tergila-gila dengan situs jejaring sosial, segera aku membuat dua account. Satu atas namaku @chevana dan yang satu lagi alter ego-ku @RomeoSudirjo. Tanpa perlu usaha maksimal, @Larashita pun tunduk menjadi budak cinta Romeo tanpa harus bertemu di dunia nyata. Dan sudah satu bulan ini entah kenapa wanita itu tampak semakin tergila-gila pada sosok Romeo. Mmmmmm.... ya ya ya ya....
Lagi-lagi ponselku bergetar :
"PING"
"PING"
"PING"
"Sayaaaaaaaaaaannngggg, aku udah pulang kawinaaann. Beteeee, pengen chatting sayang-sayangan sama kamu."
"Sayaaaaaaaanngg"
"PING"
"PING"
"Kamu lagi apa sih yang"
"PING"
"PING"
Kira-kira itulah isi pesan melalui blackberry messenger yang lebih terasa sebagai "teror". Aku bosan menjadi Romeo, lebih baik jadi diri sendiri :)
"Maaf ya, aku ga ngerasa cocok sama kamu. Aku ga bisa pacaran jarang jauh. Sorry ya, bye!"
kira-kira itu pesan terakhir dari Romeo untuknya. Sebelum account itu aku hapus untuk selamanya.
************
Tuesday, August 17, 2010
Potret Indah Negriku..

Aku berjalan perlahan menapaki lorong panjang yang tidak diimbuhi cahaya.
Suara jantungku bersautan dengan suara gigi yang beradu. Belum lagi keringat yang lahir dari rahim pori-pori membuat suasana malam ini begitu tegang.
Aku sendiri disini dengan menggenggam lampu senter yang baru saja padam. Sial betul jurik malam yang menjadi acara wajib penerimaan mahasiswa baru di kampusku minggu lalu. Acara itu telah menghabiskan batere senterku dan terpujilah wahai kau kecerobohan, yang tidak memeriksa ulang keadaan batere sehingga hari ini, tepatnya malam ini, aku berjalan dalam kandungan gulita.
Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh, jarum-jarum dalam penunjuk waktu terus berjalan. Sebentar lagi tepat tengah malam, aku akan memberikan makanan untuk rasa penasaranku yang semakin kerontang.
Seluruh suara di luaran sana sibuk membicarakan tentang pusaka negara ini. Katanya,salah satu harta negara itu kini tidak lagi menggantung manis di sebuah dinding baja, melainkan tergolek didalam suatu peti.
Berita dari para burung yang terbang dan mendaratkan tahi mereka sembarangan itu jelas menggemparkan masyarakat. Berbagai teori konspirasi muncul. Dari mulai Lukisan kebanggaan negara itu lenyap di curi oleh gerombolan si berat dari Rusia, atau Gambar itu kini telah ada di museum kaca di Perancis. Terlalu banyak hipotesa yang ada. Rakyat dan media yang menanyakan berita itu juga telah dipatahkan oleh pemerintah.
Dengan jawaban "Lukisan kebanggaan negara kita sedang mengalami perbaikan. Akan segera kami sampaikan kemudian setelah Gambar negara kita itu sudah kembali mulus dan sehat" kira-kira begitu kata juru bicara presiden berbadan gemuk, dengan tinggi badan seadanya, kumis melintir, serta kulit kecoklatan.
He? Sehat? Siapa yang sakit pula pikirku. Tapi sudahlah, jawaban dari pemerintah memang rata-rata mengambang dan aku sudah terlalu kenyang dengan janji-janji hebat saat mengharapkan suara, lalu beralih muka setelah meraja.
Aku bukan anak seorang tokoh politik atau bahkan tertarik pada kehidupan pemerintahan. Aku juga bukan pria patah hati yang sehingga menjadi sedemikian gila menerobos museum nasional pukul 10 malam. Aku hanya anak bangsa biasa yang merasa ingin tau kekayaan negaranya. Yang tidak hanya mengenyot jempol mitos ceria tentang Negaranya. Aku ingin menjadi saksi atas bangkitnya negara yang terlalu lama dilanda bencana, dan malam ini aku akan membuktikan bahwa tak perlu lagi ada rahasia.
*
Kini aku telah berhadapan pada sebuah pintu baja. Ruangannya sekali lagi tidak temaram, tapi aku berhasil mencuri kartu dari kantong petugas yang sekarang telah tertidur pulas setelah kububuhi sedikit obat di kopinya.
Ku gesekkan kartu itu di tempat yang terlihat seperti mesin debit. Dan cahaya ke unguan serta kebiruan mencuat 30 persen dalam ruang itu. Tidak terlalu terang namun cukup untuk membuat kedua mataku menangkap pinntu raksasa yang terbuat dari besi.
Di bagian bibir kanan terdapat satu lagi mesin semacam mesin debit kartu jika kita bertransaksi melalui kartu. Ku gesekan lagi kartu yang satu, dan seketika terbukalah secara perlahan besi besar itu.
Mataku sekali lagi membelalak, debu seakan telah memama biak di ruangan ini. laba-laba pun sepertinya telah membentuk kerajaan besar dan menabur jaring dimana-mana. cahaya ke kuningan menyeka ruangan itu. Aku mendekat pada anak tangga yang dimana pada pucuknya terdapat sebuah peti.
"ah, itu pasti peti penyimpanan lukisan fenomenal tersebut!" ujarku dalam hati sambil mendekat.
Ku tapaki satu persatu anak tangganya dan tibalah peti berdebu itu tepat dihadapanku. Tanganku bergetar, "aku akan menjadi saksi sejarah. Dimana manusia-manusia diluaran sana menganggap ini buah bibir semata. tapi aku menyentuhnya".
Kini kesepuluh jemariku bekerjasama mengangkat penutupnya dan seketika...
DEG!!!!
Jantungku seperti berhenti ditempat, aku hanya sebuah pigura kayu berukir, dimana pada bagian bawahnya tertulis
"POTRET INDAH NEGERIKU"
perlahan pula aku merasakan air di pelupuk mataku mulai menjamahi pipiku, jemariku membelai kanvas kandungan dari pigura kayu tersebut. ...
PUTIH....ya, hanya ada warna putih disana. Tidak ada pegunungan indah yang tinggi, atau para pantai yang mencolek hati pasa turis, tidak ada alam raya yang membuat kita dijajah bangsa-bangsa lain, tidak ada rempah-rempah, tidak ada tawa santun khas bangsa ini, tidak ada pemimpin yang berorasi, tidak ada keringat perjuangan, tidak ada apapun....Lukisan itu : KOSONG!
Aku menunduk dan meratap, ini lah potret bangsaku yang selalu di elu-elukan. Akulah anak bangsa yang selalu mencari seribu macam alasan untuk memcinta negara yang kadang membuatku sengsara. Ini bukan hanya rintihan air mata para rakyat jelata, ini adalah cermin bagi rasa malu setiap penduduk yang merasa sempurna.
Masih dalam rangkaian air mata, aku mengusap pigura yang membinkainya, namun tampaknya kau itu terlalu lapuk. Serabutnya mengundang darah dari telunjukku untuk turut hadir.
Sakit...tapi tak begitu lagi terasa, ketika ingatanmu merambat pada sumpah para petinggi untuk selalu menggunakan nurani, para anak jalanan yang harus kehilangan beberapa organ tubuhnya, fakir miskin yang semakin miskin didempul asap knalpot mobil-mobil mewah.
Seperti kebencian mendidih rakyat yang tinggal dan mati di negaranya. Negara ini sudah tidak punya cinta?
PERSETAN DENGAN KEADILAN, PERSETAN DENGAN KESABARAN!! kenyataannya semua butuh makan...
Ku sapu darahku di antara kanvas putih yang tergolek lemas, aku yakin suatu saat lukisan itu akan dikenang kembali, sebagai lukisan kebangkitan.
Selama hayat di kandung badan. Engkau tetap Kubanggaakan
Thursday, June 3, 2010
Matahari di Negeri Malam 1
Kenapa hitam?
Karena memang itulah warna yang mendominasi Negri ini, Negri Malam.
Negri ini tidak memiliki siang, langit selalu seragam tiap saatnya, tanpa cahaya...
Tidak ada yang berbeda pada kehidupan rakyat disana, mereka memiliki ritme tersendiri saat bekerja.
Dengan bantuan kunang-kunang, negri yang gelap itu mendapat sedikit bumbu terang walau tidak benderang.
*
Saat itu didalam gelap terjadi suatu kegemparan. Dua kelompok rakyat saling mencukil darah masing-masing lawan. Dengan kunang-kunang dalam botol plastik yang di ikat di kepala, mereka memperebutkan satu-satunya hutan yang diyakini masih menyimpan sisa kunang-kunang.
Ya, Negri alam seakan sedang diujung tombak, kunang-kunang semakin langka karena terus diburu.
Kini mereka semakin jarang dan sulit ditemui. Hal ini memancing kepanikan warga karena harga kunang-kunang di pasaran melonjak naik sedangkan penghasilan warga merosot diakibatkan kesulitan bekerja karena kekurangan cahaya. Kini rakyat pun haus akan kunang-kunang, apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkannya...
*
Di bawah langit hitam dalam udara dingin yang menusuk, seorang wanita sedang bertarung menghadapi maut demi memberikan 1 nyawa baru. Perempuan muda itu menjalani proses persalinan seorang diri dan hanya ditemani oleh seorang perepuan tua yang dikenal sebagai pembantu kelahiran. Suaminya tercinta telah gugur menjadi salah satu korban dalam perang perebutan kunang-kunang yang membuat wanita cantik yang sedang hamil tua ini geram dan mengutuk Negri Malam!
Kini perjuangannya telah mencapai titik akhir. Suara tangis seorang bayi akhirnya pecah juga, dan suara tangis bayi penghuni baru dunia itu menjadi penutup kerja telinganya. Dia pun pergi menyusul lelaki tercintanya, ke alam keabadian dan meninggalkan bayi tak berdosa itu sendirian.
Melihat pasiennya sudah kehilangan nafas, bidan tua itupun kembali menatap bayi yang sedang menangis keras dengan tangan menggemgam.
Didekatilah bayi laki-laki yang terlihat sehat itu, seketika saat genggaman tangannya terbuka, sebercah cahaya memancar dari kedua tangan bayi tersebut!
Bidan tua pun terkejut dan langsung menatap sekelilingnya. Setelah memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya, ia pun langsung membalut bayi mungil itu dengan selimut dan membawanya pulang.....
*
Sebuah Rumah yang dulu renyot dengan bau mayat binatang kini perlahan berganti menjadi rumah yang lebih kokoh, dengan kaca-kaca terang yang mengantung di setiap sudut. Menjadikan rumah tersebut menjadi rumah paling benderang di negri malam.
Tidak sedikit warga yang mengantri di depan garasi rumah dimana tempat itu juga dijadikan sebagai kios "CAHAYA". Pemiliknya adalah pasangan suami istri yang sudah mulai semakin tua.
Mereka menjual bola-bola kaca semacam kelereng dengan variasi ukuran dengan mengeluarkan cahaya yang tahan hingga 2 bulan. Barang itu sangat diminati warga apalagi sejak semakin memunahnya kunang-kunang di negri itu. Hidup mereka pun sekarang menjadi 360 derajat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sang suami tidak perlu menjadi pengrajin kaca miskin yang menjual bola-bola kaca untuk dijadikan mainan anak-anak atau hiasan. Dan sang istri tidak perlu lagi menjadi bidan keliling untuk membantu persalinan. Mereka telah kaya, bahkan dapat masuk dalam jajaran orang terkaya di Negri itu.... Negri Malam.
*
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun duduk dipojok ruangan. Gelap yang pekat menyelimutinya. Kulitnya yang putih terbungkus kemeja lusuh abu-abu dan celana coklat. matanya kosong, dia tidak sedang berusaha menangkap bayangan, atau memfokuskan penglihatan pada apapun. Dia hanya tidak tau secara pasti siapa dirinya yang utuh? Topi pet coklat yang bertengger di atas kepalanya pun kini dia lepaskan. Hingga kedua tangannya kini terpangku oleh kedua lututnya yang dia tekuk. Punggungnya masih nyaman bersender di dinding. Kini kepala nya pun menyusul, menuju dinding dan sedikit mendangak, menahan agar air mata tidak perlu datang. karena dia hanya ingin sendirian.
Kembali dia tatap kedua telapaknya yang terbungkus sarung tangan. Dilepaskannya dan seketika pada bola mata hitamnya terpantul gambar kedua telapaknya yang bercahaya. Digerak-gerakannya dan cahaya itu terus terang dan semakin benderang. Perasaannya kini tercampur aduk, bahagia bermain sendiri dengan telapaknya, sedih karena berbeda, terasing, dan perasaan-perasaan ambigu lainnya. Absurt....terlalui absurt.
BRAAAAAAAAAAAAKkKKK dalam sekejad suara pintu terbuka
"HARI!! jangan terus bermain-main dengan telapakmu. Ini kardus terakhir untuk hari ini. Jika kau selesaikan lebih cepat, maka kamu boleh ikut Ayah jalan ke pasar untuk membeli kaca-kaca baru" kata perempuan tua dengan baju terusan sebatas betis bercorak bunga-bunga sambil menyerahkan satu kardus berisi bulatan-bulatan kaca.
"Iya Ibu, tapi setelah itu aku benar akan diajak ayah keluar rumah?" tanya Hari kecil dengan bolamata berbinar.
Wanita tua itu kini mendekati lelaki kecil yang sedang menyimpan harapan
"Iya nak. Tapi ingat, kamu tidak boleh nakal. Jangan sekali-kali kamu lepaskan sarung tanganmu dan membiarkan orang lain melihat telapakmu. nanti mereka akan segera menangkapmu dan memasukan kamu ke penjara. Ibu harus melindungi kamu, kau tidak mau kan masuk penjara bersama orang-orang jahat?"
"Tidak bu, aku tidak mauu" jawab Hari cepat.
"Bagus, kalau begitu turuti ibu. Hanya Ayah dan Ibu yang dapat membantumu. Sekarang kau chayakan kaca-kaca ini dan Ibu akan membuatkan coklat panas untukmu" dan mantan bidan itupun berdiri dan kembali menutup pintu setelah dia keluar dari ruangan.
Kini Hari kecil mengambil sebongkah kaca yang ada didalam kardus lalu menggenggamnya, seketika cahaya dari telapak Harry seakan berpindah menuju bongkahan kaca tersebut, dan begitu terus selanjutnya hingga kaca-kaca berikutnya.
Bocah kecil itu terus melakukannya berulang-ulang hanya demi sebuah keselamatan. Dia tau dia berbeda, dan dia hanya ingin kesamaan dan rasa aman. Dia tidak ingin menghabisi waktunya di penjara bersama orang-orang jahat. Meski dia belum menemukan logikanya, apakah dilahirkan berbeda adalah suatu kejahatan?
******
Sunday, May 9, 2010
Aku yang menentukan hari, kapan kamu akan mati...

Di siang yang cukup terik, botol air minum, kantung plastik bekas, dan debu menjadi sebagian dari aksesoris yang menghiasi tempat kuberpijak saat ini.
Hari ini matahari hanya mampu menghantam sebatas raga. Ya, aku berkeringat karenanya. Tapi jiwaku?
Gelap.....cahayanya tidak mampu menembus batinku walau secercahpun.
Aku tak dapat menemukan apapun disana, terlalu hitam....dan aku tidak berkeinginan untuk mencari putih.
Kini aku menerobos lalu lalang manusia dengan berbagai keperluan.
Aroma sampah dan daging mentah pun berbaur sempurna menusuk penciumanku.
Sambil menjinjing kantung plastik putih hasil belanjaku tadi, aku melewati toko keranjang, toko peralatan olah raga, hingga perlengkapan bayi. Di muka toko terakhir, aku memutuskan menghentikan langkah setelah mataku menangkap gerobak kayu berisi aneka ragam minuman. Di sisi kirinya kulihat gerobak yang menjual makanan kesukaanku sewaktu seragamku masih putih biru.
Ku tancapkan bokongku di kursi panjang di hadapan gerobak-gerobak itu yang juga terbuat dari kayu.
"Baksonya 1 bang, campur semua. Jangan pake seledri ya" kataku pada lelaki di gerobak berwarna biru.
"Teh botol 1 ya bang" kataku lagi pada gerobak disebelahnya.
Lalu akupun mencari posisi ternyaman untuk duduk sementara seorang ibu dengan keranjang berisi aneka bumbu dapur dan semilir bau ayam mentah berdiri, membayar makanannya tadi, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan, aku pun membuka tas abu-abu besar yang kuhimpitkan di ketiak sejak pagi. Aku memeriksa kembali kotak yang ada didalamnya.
Aaah...dia aman, dia masih disitu. Itu adalah kotak berharga, dimana dia menyimpan milikku sejak aku tiba di dunia. Hari ini adalah harinya, dimana aku juga yang akan menentukan nasibnya.
Aku pun melahap sesuap demi sesuap gumpalan daging yang kuragukan bahan dasarnya. Entah sapi, kucing, atau tikus, aku sudah tidak perduli. Rasanya persis seperti "aku" saat ini, hambar.
Setelah menyantapnya dan menyeruput teh botol itu sampai habis, aku berdiri untuk membayar segala yang sudah aku telan tadi. Tiba-tiba sebuah suara dibelakangku berbunyi
"Mbak, ini kain kavan buat apaan?" tanya seorang pria yang mengenakan jacket jeans, berkulit gelap dan bertopi. Usianya ku taksir sekitar 34 tahun. Aku tidak mengenalnya, dan aku tidak suka dia terlihat mengintip kantung plastik putih belanjaanku.
"Bukan urusan anda!" jawabku ketus, dan berlalu meninggalkannya.
*
Mataku yang diterpa semilir angin tetap mampu menangkap warna emas yang menggumpal di atas sana. Dia tidak pernah padam, belum juga padam sejak 1961. Tahun dimana dia diresmikan oleh pemimpin pertama bangsa ini. Dulu aku selalu bermimpi untuk naik ke puncaknya dan aku telah mewujudkannya hampir 1 tahun yang lalu. Kali ini aku datang bukan untuk itu, aku memiliki misi baru. Dan aku tidak ingin menunggu lama seperti waktu lalu.
"Udah bang, disini aja" kataku pada lelaki yang sudah membocengiku dari pasar Mayestik tadi. Setelah mengembalikan helm berwarna hitam kepadanya, aku pun melanjutkan perjalananku.
Ini dia, Monumen Nasional !
Aku selalu mencintai tempat ini, sejak dulu. Entah tamannya, auranya, atau emasnya seakan terus memanggilku. Aku suka menikmati angin sambil berkhayal di sini. Udaranya bersih untuk ukuran ibukota. Aku pasti akan menarik nafas dalam-dalam, jika mampu mungkin akan ku hirup seluruh udara yang ada disini tanpa sisa.
Ok waktunya langsung menuju tempat kejadian perkara. Instruksi otakku tampaknya langsung ditangkap dengan cepat oleh kedua kaki karena mereka kini berpacu hingga sampailah aku di hadapan Husni Thamrin. Seorang politikus Betawi yang dikenal santun. Negara ini mengabadikannya dalam bentuk patung dan diapun kini menjadi penghuni tetap area taman Monumen nasional.
Kini aku duduk di hadapannya, dan segera mengeluarkan kain dari kantung plastik putih yang kubeli siang tadi. Aku hamparkan setelah memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan.
Lalu sekarang aku mengambil kotak didalam tas besarku. Kotak yang selalu aku jaga sejak dulu.
Kupandangi dia sekali lagi sambil mengenang masa-masa saat aku masih memilikinya. Atau lebih tepat jika disebut aku "dimilikinya".
Aaaahhh...aku benci sekali bila harus mengingat hal itu. Begitu saja dia berkendak, maka apapun itu aku selalu saja menurutinya. Dan hari ini, akulah yang akan menentukan nasibnya!
Aku membukanya, dan dia......dia masih bergerak. Berlumuran darah dan masih berdetak.
Kucuri senyuman sabit yang seharusnya hanya terbit kala malam. Ini adalah saat dimana aku akan menerbangkan jutaan burung merpati yang masing-masing membawa batu beban di hidupku.
Kelima jemariku berkerja sama dengan sangat baik untuk mengangkatnya dari dalam kotak putih yang sekarang ternoda warna merah yang berbercak, lalu merebahkannya di atas kavan yang akan menyelimutinya hingga kiamat menjelang atau sampai ragaku melayang.
Kulipat rapih walaupun aku telah lupa bagaimana cara ber origami. Namun kupastikan gumpalan daging itu tidak akan kedinginan. Dia akan terus terhangatkan.
Waktunya menyingkap tanah tepat dibawah Thamrin berdiri. Aku mengkoreknya sendiri dengan kesepuluh jari. Setelah kupastikan cukup dalam, aku tidurkan onggokan yang telah berselimut kavan itu kedalam lalu kutimpa lagi dengan tanah-tanah sisa gerukan tadi.
*Aku melakukannya dengan hati-hati karena aku tidak mau dia mati, aku hanya ingin dia pergi...
Kini dia telah tergunduk rapi. Bersemayam di tempat yang selalu aku datangi meski aku sedang bermimpi. Tertunduk sunyi, tanpa mendengar lagi bisik-bisik nurani.
Saatnya tegak berdiri dan berjalan kembali.
Kuberikan senyum terakhir,
Selamat Tinggal HATI :)
*****
NB : Aku hanya tidak ingin melihat, mendengar, dan mengikuti. Saat ini aku cukup tau kamu masih berdetak. Tidak tau besok, atau nanti...
Saturday, May 8, 2010
Selamat Datang :)

Tidak hanya terpancar dari biasan langit yang menghitam, tapi juga dari emosi yang menggumpal. Keringat mengalir menuju pelipis tanpa sekaan hasil perjalanan 2 kaki dari pancoran hingga bundaran HI.
Melody langkahnya semakin cepat diiringi amarah mencekat. Angin malam yang meniup semilir tak membuat hatinya yang terlalu panas mereda, kedua kaki menghentak aspal-aspal kualitas 3 pada lahan ekor naga.
Kualitas 3?
Dimana kualitas 1 ?
Kualitas 1 sudah menjadi bahan export untuk diperdagangkan ke negara lain. Maka dari itu MAMPUSlah roda-roda kendaraan mewah di Jakarta yang terpaksa harus menerobos lubang-lubang sepanjang jalan!!
Kancing-kancing kemeja merah kotak-kotak buatan Bandung tak lagi terkait, membuat kaos dalam berwarna putih yang dibeli dari pasar tanah abang tak perlu mengintip dari kedua kancing teratas.
Langkahnya berhenti di depan kedua pasangan yang selalu menunjukan wajah bahagia…
“SIAPA YANG KALIAN SAMBUT???!!!”
Pasangan itu saling bertatapan lalu menoleh pada sosok pemuda 19 tahun yang merasa dewasa setelah mengantongi KTP selama 2 tahun
“KENAPA DIAM?? SIAPA YANG KALIAN SAMBUT DENGAN WAJAH BAHAGIA ITU?? PARA ATLET YANG BERTARUNG DENGAN KERJA KERAS DAN KERINGAT HINGGA INDONESIA MENDAPAT SEJARAH MEDALI EMAS TERBANYAK DITAHUN KALIAN DIBUAT PUN SUDAH DILUPAKAN WARGA SAAT INI. BUKAN TIDAK MUNGKIN MEREKA YANG BERKALUNG EMAS SAAT ITU KINI SEDANG TERLILIT HUTANG DAN TIDAK LAGI BISA MENGUYAH DAGING SAPI ATAU AYAM. UNTUK APALAGI KALIAN BERDIRI DIATAS SANA?TURUUUUUUNNN!!”
Nafasnya semakin tersenggal-senggal. Teriakannya menggema dibawah bilik awan yang menyaksikan kolam serapah laki-laki muda.
“Apa yang kau ingin kami lakukan apabila kami turun kebawah nak?”
Suara laki-laki diatas sana akhirnya membuat pemuda yang berjalan dari pancoran menuju bundaran HI tidak mengadakan perbincangan sepihak.
“Aku ingin kalian melihat anak-anak bernyayi tanpa alas kaki di samping kaca mobil-mobil mewah, aku ingin kalian melihat kaumku membunuh satu sama lain untuk bertahan hidup, aku ingin kalian melihat pemuda-pemuda meneguk minuman keras sambil merayu para pemudi untuk menemani tidur mereka 1 malam, aku ingin kalian melihat wanita-wanita cantik negri ini mempersembahkan tubuhnya pada laki-laki beristri demi materi, aku ingin kalian melihat pemimpin-pemimpin yang mengiba suara dan beralih muka saat berkuasa. Setelah itu aku ingin tau apakah kalian masih dapat mengatakan Selamat Datang dengan gembira.”
Kedua tangannya mengepal, membangunkan liku-liku urat syaraf
“Siapa namamu anak muda?”
laki-laki yang sekilas tampak mirip dengan mantan gubenur Jakarta dengan masa jabatan tersingkat (1964-1965) Henk Ngantung bertanya.
“Apa artinya sebuah nama rakyat kecil seperti saya yang hanya mengantungi ijazah Sekolah Menengah Atas karena harus mengakui Negara tempat saya berpijak adalah Negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia??”
“Tenang anak muda, tenang”
kali ini giliran wanita si pendamping laki-laki yang bersuara.
“TENANG?? KALIAN MINTA AKU TENANG?? Taukah kalian kalau disini jarang sekali dijumpai sekedar kursi-kursi pinggir jalan atau taman tempat duduk-duduk tenang? Bahkan kita tidak memiliki keran air minum gratis untuk menghapus dahaga para pejalan kaki yang keselamatannya terancam.
“Apa kau pernah berusaha untuk mencintai bangsamu?”
“Ha-ha-ha” tawanya meledek, “Kalian pikir kami bisa mencintai sejarah bangsa ini dengan melihat museum-museum yang tidak menawarkan eksibisi internasional? Tempat-tempat itu terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana…cuuuiih!”
“Lalu untuk apa kamu tinggal di tempat yang tidak kau cintai?”
“KARENA AKU STUCK DISINI, AKU TIDAK PUNYA PILIHAN LAIN. TAUKAH KALIAN BETAPA SUSAHNYA MENCARI LAHAN PEKERJAAN DI KOTA INI? DARIMANA AKU MENDAPAT UANG UNTUK HENGKANG DARI NEGRI YANG SEBENTAR LAGI HANCUR BERANTAKAN? MENGAPA NURDIN M TOP TIDAK MEMBUAT BOM DENGAN SKALA YANG LEBIH BESAR UNTUK MENGHANCURKAN NEGARA INI??AKU MUAK DENGAN PERNYATAAN : JANGAN TANYA APA YANG NEGARA INI SUDAH BERIKAN PADAMU TAPI APA YANG SUDAH KAMU BERIKAN UNTUK NEGARA INI. APA YANG BISA KUBERIKAN BILA AKU TIDAK MEMPUNYAI APAPUUUNN???”
“Kami melihat kau mempunyai kaki-kaki yang kuat untuk sampai kemari melewati Dirgantara dan Sudirman”
“YA, KEDUA PATUNG BODOH ITU. SEKARANG AKU HARUS MEMASUKAN KALIAN BERDUA KEDALAM DAFTAR PATUNG-PATUNG BODOH!!!!!.”
“Nak, Dirgantara tetap menunjuk cita-citanya ke bandara pertama yang dimiliki Indonesia, KEMAYORAN. Agar bangsa ini dapat terbang tinggi dan dilihat bangsa lain, dia tetap menunjuk cita-citanya meski kini bandara kemayoran sudah tidak ada. Tidakkah kaummu dapat melihat semangatnya saat mereka sedang merasa tidak lagi dapat melihat cita-citanya?”
Lelaki itu kini terdiam, bara api di dadanya mulai memadam walau belum mati…, diapun menolehkan kepalanya kea rah kiri…
“Lalu bagaimana dengan Sudirman? Untuk siapa dia memberi hormat? Bangsa inii??!!”
Katanya sambil menunjuk patung pemuda yang mendapat gelar Jendral pada usia 31 itu.
“Sudirman menghormat kepada mereka yang menghormati bangsanya nak!!”
Pemuda itu kini menitikan air mata, menjatuhkan kedua lututnya diatas aspal kualitas 3. Tangannya masih mengepal, keringat dan air mata bersenggama lalu ber ejakulasi kesadaran akan cintanya pada Negara…
“Lalu kalian, kepada siapa kalian mengucapkan Selamat Datang dan tersenyum?” tanyanya dalam isak..
“Kami mengucapkan Selamat Datang pada Rasa Cinta yang mulai tumbuh di dada kalian, dan kami tersenyum karena selalu percaya kalau rasa cinta itu tidak akan pernah binasa…”
***
SELAMAT DATANG….