Pages

Tuesday, March 29, 2011

Plastic Heaven


kalian pernah melihat Surga? Jika belum, izinkan saya bercerita tentang sebuah tempat dimana sebagian manusia menganggapnya sebagai tempat paling Indah.

Dengan berbekal uang Seratus Lima puluh ribu, kita mungkin akan bertemu. Tapi belum tentu, kalian boleh menyentuhku.

Berawal dari seorang pria yang merupakan tetangga lama kami yang sudah terasa sebagai keluarga. Pak Gunawan, lelaki keturunan Tionghoa ini cukup akrab dengan keluargaku di kampung. Beliau adalah perantau Ibukota yang kadang pulang dua bulan sekali untuk menjenguk anak istri. Karena sang istri merupakan saudara jauh ibu, maka ikatan silaturahmi kami cukup dekat. Hanya saja, Pak Gunawan selalu merasa tidak kerasan tinggal dikampung dalam kurun waktu lama. Alasannya, beliau merasa terasingkan oleh warga karena berkulit pucat dan bermata sipit.

Pada suatu hari, Pak Gunawan bertamu kerumah sambil membawakan oleh-oleh dari kota. Akulah yang mengantar teh untuk pak Gunawan, Mbak Sri (istri beliau) pergi kekamar bersama ibu.

"Ini Drupadi?" tanya Pak Gun kepada bapak sambil memandangku.

"Iya, sudah gadis ya? kamu sudah terlalu lama tidak bertamu berarti" sahut bapak sambil tertawa terkekeh.

Aku hanya membalas perbincangan selintas tadi dengan senyum, lalu berlalu ke dapur. Sampai akhirnya kedengar suara Bapak kembali memanggil.

"iya pak" jawabku seraya kembali keruang tamu.

"Ini lho, pak Gun ingin mengajak kamu ke kota. Mau mengorbitkan kamu jadi artis katanya.


STOP!

itu memori terakhir yang aku ingat. Sekitar Lima tahun lalu, sebelum akhirnya aku tiba disini.

Surga, itu kata mereka. Untukku, ini hanya suatu tempat bias. Aku tak lagi punya rasa. Yang aku tau hanya mengangkat, pura-pura merasa nikmat, lalu aku akan punya uang untuk dikirimkan pada para kerabat.

Aku ada dilantai tiga. Disini terdapat kolam besar ditengah rimbunan pohon seperti layaknya surga. Pohon-pohon itu semuanya terbuat dari Plastik tapi nyaris menyerupai asli. Bunga-bunga juga bertebaran. Lelaki berbagai macam tipe ada disini, kalian sebut bangsanya, aku rasa semua ada.

Tetapi jika lelaki-lelaki itu cenderung dari dalam negri, biasanya mereka akan memilih gadis dari Negara lain. Usbekistan sangat laris dikalangan pribumi. Sedangkan kami wanita-wanita berdarah asli nusantara, biasanya akan siap menjadi santapan para turis dari Belanda, Jerman, atau Amerika.

Bahasa Inggrisku tidak fasih. Jadi bisa bayangkan rasanya pertama kali mendapatkan "client" asing, kami masuk kedalam kamar yang mana biasanya mereka dalam kendali alkohol lalu segera meremas kami tanpa basa-basi. Tidak jarang mereka "langsung" dan menolak "berciuman" terlebih dahulu. Mereka melihat kami sebagai ladang penyakit yang sangat nikmat, jadi tetap dikunjungi namun sangat berhati-hati.

Aku juga begitu, harus sangat berhati-hati. Karena jika pelayanan kami tak memuaskan mereka. "PAPI" atau panggilan terhadap pak Gun sekarang ini tidak ragu membentak atau memukul.

*

Malam ini Rabu, salah satu malam yang aku tunggu.
Biasanya dia datang.

DIA?

Seperti biasa, salah satu pengunjung disini. Tapi seperti kataku, laki-laki seperti dia akan memilih Usbek atau Korea. padahal harga Korea disini lebih mahal, 1.9 juta. Sedangkan aku dan pribumi lain 900ribu saja.

Aku sudah berdandan secantik mungkin, berharap dia menatapku dengan dalam dan akhirnya memutuskan untuk mengangkutku keluar dari lantai 3 yang sungguh menurutku amat membosankan ini. Aku kadang kedinginan. Diwajibkan berbikini disaat outdoor sampai salah satu dari pengunjung memilihmu sebenarnya bukan ide baik.

Kami biasanya dibariskan dengan nomor yang sudah ada di dada kami. Rombongan Korea telah keluar dan tersisa tiga dari sepuluh yang ada. Stock Uzbek sudah habis dibawa naik ( bagian atas adalah hotel ) maka setelah China, giliran kami para Gadis Indonesia yang masih lengkap ber delapan.

Aku lihat dia duduk sambil menenggak alkohol bersama teman-temannya.

"INDONESIA" suara papi kembali menggema "Silahkan bisa diamati dulu. Apabila ada yang ingin melihat lebih jelas, sebut saja nomornya. Supaya pilihan kalian bisa mendekat dan dilihat lebih jelas" tambah pria tambun tionghoa itu.

"10w120" dia, DIA mengangkat tangannya. Seingatku, itu adalah nomor yang tertera didadaku. Hatiku menjerit senang, Akhirnya, aku dapat mendekatinya. Satu malam berpura-pura menjadi kekasihnya. Aku pun mendekat sampai akhirnya dia berkata setelah aku mendekat.

"Maaf, bukan. 10m121 maksudnya. nomor kalian hampir sama sih" katanya terkekeh.

Aku sering mengalami seperti itu. ditolak dalam menjalani pekerjaan yang sangat hina sekalipun. lalu kembali pada barisan, dan Wina si beruntung yang memiliki nomor dada seperti yang disebutkan maju.

Papi sempat menawarkan "Satu aja? ga mau dua sekalian? siapa tau untuk variasi?" tambahnya dengan lelucon yang menurutku sama sekali tidak lucu.

tapi itulah aku, tetap tersenyum dalam apa yang aku rasakan. Seperti keberadaan pohon dan bunga-bunga disini, PALSU...


******

4 comments:

  1. I like this one, Tasy.. It's reflective of society. Care to do some more and collaborate for short stories on a piece of fabric?

    xx

    Fa

    ReplyDelete
  2. gue bengong bacanya.. O_o

    ReplyDelete
  3. @fariiiiizzz : yeaaayyyy, assiikk kamu main2 ke blogku. Lets letsss :))

    @Asiah : *cubit*

    ReplyDelete