Pages

Thursday, April 14, 2011

Malaikat Bukan Kamu


Ada rindu yang ingin aku pecahkan hari ini...

Tempat ini mengandung begitu banyak kenangan yang belum mampu aku singkirkan.
Kemeja berkantung satu dengan tulisan OSIS didada ini adalah salah satu baju paling indah sekaligus paling na'as, dimana aku menanam sesal yang begitu menyesak hingga dadaku robek lalu nafasku berhamburan hingga sekarang.

Aku berdiri tepat dibawah pohon rindang dimana hampir 4 tahun yang lalu, aku mengubur harapan. Ada rasa kalut yang terlalu bertubi-tubi sejak kembali menginjak tempat ini.

Aku pengecut, dulu. Akan kuperbaiki, hari ini!

"Kamu mau diam sampai kapan? Aku tidak memberimu banyak waktu". Suatu suara membuyarkan semua lamunan, tentang aku, kamu, dan kita dulu.

"Iya tunggu, waktu istirahat saja belum tiba. Kita tunggu sampai bel berbunyi" jawabku setengah kesal pada satu sosok yang tak ku tau namanya.


*


Apalah arti sebuah nama, mungkin adalah pribahasa paling tepat untuk mahluk yang sedang bersamaku saat ini. Dengan tiba-tiba, dia muncul tadi malam tanpa undangan dan berkata kedatangannya itu perintah.

Aku sempat membaca ayat kursi dan semua ayat-ayat suci yang kuhafal, tapi mahluk itu tetap diam tak bergeming selagi aku komat-kamit tak karuan. Tanpa komando dari siapapun, aku pingsan. Setelah aku mendapatkan kembali kesadaran dengan kepala yang masih berkunang-kunang, sosok itu masih saja ada dihadapanku. Kali ini dia bersuara,

"Mau kamu pingsan 100 kali pun saya tetap ada disini" begitu katanya.

Baiklah kalau memang dia bisa diajak berkomunikasi, aku tidak usah pingsan.

"Kamu siapa?" tanyaku ulang

".........."

"Baik. saya ganti pertanyaannya, kamu apa?" kataku sekali lagi.

".........."

Baiklah, mahluk ini cukup membuatku kesal. Dari 2 pertanyaan yang aku lontarkan, dia hanya diam mematung dengan muka yang menyebalkan.

"Kamu mau ngapain?" tanyaku dengan emosi yang sedikit membuncit.

"Menjemputmu" jawabnya singkat dengan muka datar.

"Enak aja. Kamu pikir saya takut ya sama mahluk-mahluk kaya situ" kataku seraya mengacungkan sapu yang aku ambil tepat disebelah tempat tidur. "Siapa yang nyuruh kamu?" lagi-lagi aku bertanya membabi buta.

"TUHAN"

".........." kali ini aku yang diam. Aku tak punya sedikitpun kekuatan untuk mengeluarkan suara apalagi serangan. Perlahan jari-jari yang tadi menggenggam sapu dengan begitu kuat mengendur.


*


Singkat cerita, setelah aku bernegosiasi dengan mahluk aneh yang tidak menyebut namanya itu, aku diberi 1 kesempatan untuk melaksanakan apa yang ingin aku selesaikan. Karena itu aku di izinkan untuk meminta 1 permohonan, tadinya aku sempat menawar 3, tapi dengan dalih dia bukan "om jin" maka bahkan untuk bertemu di angka 2 saja dia tidak mau.

Baik, dengan 1 permintaan terakhir, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke masa 4 tahun lalu. Dimana karena satu perbuatan, selama ini aku menimang penyesalan.

Adalah Naniek, cinta pertamaku yang belum mampu aku usir dari kepala. Dia terlalu indah untuk dilupa, dan aku terlalu bodoh untuk mendapatkannya. Ketakutan akan ditolak, minder, dan lain-lain membuat aku gigit jari selama 4 tahun.

Sampai detik ini, aku belum mempunyai kekasih sedangkan Naniek telah menikah, dan bukan denganku pastinya.

Melihat Naniek di jejaring pertemanan dunia maya membuat aku selalu ingat akan senyumnya, belum berubah, hanya sekarang dia tersenyum berdua, dengan pasangannya.

Aku selalu yakin, jika denganku, senyum Naniek pasti akan lebih indah dari itu. Akulah pria yang dapat membuat Naniek menjadi perempuan paling cantik di dunia, hanya saja belum pernah aku ucap langsung dihadapannya.

Sebelum aku mati, aku telah meminta 1 permohonan terakhir. Aku ingin kembali ke masa lalu. Bertemu dengan aku yang dulu. Aku ingin "aku di jaman dulu tau" kalau aku dijaman sekarang hidup tersiksa, karena tidak mampu bersuara.

Aku ingin mendorongnya untuk memberikan sebait puisi cinta yang aku tulis 4 tahun lalu, tapi berakhir dibawah pohon besar itu. Karena aku terlanjur melihat temanku Adi, menyatakan cintanya pada gadis idamanku terlebih dahulu, dan aku cemburu.

Hari ini aku datang, untuk menghalangi "aku" di masa lalu mengubur tulisan penghantar rasaku pada Naniek. Dibawah pohon besar yang menjadi saksi atas kelalaian, aku akan merubah masa depan.

"Apakah bocah laki-laki itu kamu?" tanya si mahluk besar seraya menunjuk seorang lelaki bertubuh kurus sedang duduk diatas bangku sendirian, sementara murid-murid lain berhamburan menuju kantin.

"Iya" jawabku sambil tersenyum menatap "aku" 4 tahun lalu

"Pantas patah hati" imbuhnya datar

"Apa katamu? aku tidak percaya diri, makanya aku duduk dikursi, menunggu Naniek keluar kelas seorang diri. Baru akan kuberikan surat yang ada digenggaman tanganku itu." jawabku kesal

Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat kejadian yang paling aku sesali terulang lagi. Naniek keluar tidak sendiri, tapi bersama adi. "Aku" 4 tahun yang lalu menunduk sedih sambil memasukan surat itu kedalam saku. Sedangkan aku yang sekarang telah bersiap dibawah pohon untuk menghalangi "Aku" 4 tahun yang lalu itu mengubur cintanya.

"Kamu tau bedanya kau dan lelaki yang pergi bersama gadismu itu?" tanya si sosok besar.

"....." aku menggeleng

"Lelaki itu berani menjemput, sedangkan kamu hanya menunggu" pungkasnya.

Aku hanya diam, pernyataan itu adalah yang paling pahit aku dengar untuk seorang aku yang akan mati, BESOK!

"Aku akan membayarnya hari ini, aku akan menghalangi "aku" yang dulu untuk mengubur surat itu. Dia harus berbalik badan dan tetap menyampaikannya. Semua ini harus berubah" jawabku penuh emosi.

"Kamu yakin?"

"Tentu"

"Pernah terpikirkan oleh kamu, jika Gadis itu menjadi milikmu dan kamu mengukir senyum paling Indah di wajahnya, besok kamu akan membunuh senyumnya."

"Maksudmu?"

"Kamu harus 'pergi' besok, aku sudah katakan dari awal."

Aku dihadapkan pada pilihan : Mendapatkan orang yang paling aku cinta lalu menjadikannya kesepian atau, Mati sendirian.

"Aku" 4 tahun lalu semakin mendekat, kulihat dia menggali tanah-tanah dibawah pohon ini dengan emosi. Aku hanya diam.

"Kamu tak jadi menghentikan dia?" tanya mahluk besar sambil menunjuk "aku" 4 tahun lalu.

Aku hanya bisa kembali diam mengamati "aku" 4 tahun lalu selesai mengubur mimpinya.

"Aku pilih yang kedua, karena terlalu mencintainya."

Sosok besar itu hanya diam, dan siap mengajakku pergi. Tapi aku terlalu lemah untuk menahan pertanyaan :

"Apa kamu pernah jatuh cinta?"

"Malaikat bukan kamu" jawabnya.


*********

3 comments:

  1. kok bisa yah dapet inspirasi kayak gini... ckckckck, keren... :)

    ReplyDelete
  2. terima kasih dinda dan penyair paruh waktu :)) senang sekali kedatangan tamu...

    ReplyDelete