Pages

Wednesday, December 22, 2010

Dimana Letak Surga


“SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”

Ingatannya hanya melayang pada kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak. Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun tertanam dalam otak besarnya.

*

“Nik, besok ninik aja ya yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris potongan-potongan bawang

“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau, nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan tersebut kedalam wadah suatu wajan.

“Tapi aku kan ga nakal nik disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.

“Ya Ampun yo…, emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”

“Beda nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus nanti disekolah!”

Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu bangga padanya nak”

“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.

“Sudahlah bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”


*

Suara yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur turun.

“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu kirinya dipegang kuat-kuat.

“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55 tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang sedang menggerutu.

“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz” jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.

“Sebelum membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”

Anak itu terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa langkah didepannya.

“Pak Ustaaaaadd…..Pak Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan setengah berteriak.

“Ada apalagi nak?”

“Engga Pak Ustad, aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah merajuk sambul mengacungkan telunjuk

“Hahaha…, tentu boleh nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa benar Surga itu ada di telapak kaki Ibu?”

Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.

“Nak, saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.

“Lalu yang kedua siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.

“Ibumu”

“Ibu? Lalu yang ketiga?”

“Masih Ibumu nak”

Anak itu terdiam menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.

Sepasang tangan kini memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…

*

“Sudah pulang nak?”

“Sudah bu”

“Lg apa di dapur nak?”

“Lagi buat roti pake meses”

“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster batik menghampirinya

“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”

“Udaah.., ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti dari genggaman bocah cilik itu

“Ga usah buuuuu” Aryo spontan mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses, mentega, dan selai-selai lainya..

PRAAAAAAAANNNGGGG

Beberapa selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.

Pria kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…

SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU

Namun bagaimana jika sang Ibu tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?

Batinnya memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…


*

“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” sahut penghuni dari dalam rumah

Ruang tamu itu mungkin tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.

“Baru pulang nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar

“Iya bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek, bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.

“Permisi semuanya, aryo main bola ya”

“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia 35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya

“Kenalin pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.

“Bu, aryo udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”

“Iya nak, hati-hati ya” jawabnya tersenyum


*

Kaki mungilnya terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap penentuan team dijalankan.

“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali ya” bisik salah satu bocah

“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”

“yeaaaayyy, aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.

“Sampe besok ya temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah tampak menunggu di bibir lapangan.

Aryo kecil terus berjalan acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.

“ARYOO…”
Saat namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun segera menghampirinya

“Bisa bicara sebentar Aryo?”


*

“Jadi kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan

“Apa kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan “sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak berbicara

“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu ibu?”

“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah seperti teman-teman yang lain”

“Apa Ibumu pernah datang kesekolahmu?”

“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”

“Kamu senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi plastic berwarna merah yang didudukinya.

“Engga om, semua temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga karena ibuku tidak mempunyai kaki”

“Aryo, kau seharusnya bangga dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan dengan sang bocah meneruskan ceritanya


*

“Apa yang membuat anda memutuskan untuk pergi?”

“Karena saat itu saya menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang sudah seperti ibu saya sendiri.”

“Apa yang pertama anda rasakan di sana?”

“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”

“Bagaimana dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”

“Saya justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”

“Apakah anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”


“Tidak, saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh anggota keluarga saya”


*

Bocah itu kini menangis, menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk mencetak gol.

Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka pintu kamar..

“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya. Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….

*

“ARYO GA MASUK SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu

“Kalian ko ngomongnya gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak berkepang dua

“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan masuk Surga. Hahhahahahaha”

“Kalian nanti aku laporin Bu Guru ya!!”

“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum

“Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”

**********

4 comments:

  1. linknya nyampe kesini dan terharu
    -_-"

    ReplyDelete
  2. dua malam lalu aku baca cerpen ini di rumah dan, hrrr... jadi meinding, begitu bilang

    “Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”

    Cinta Ibu emang gak berbatas dan gak akan pernah habis ^^

    ReplyDelete