Pages

Sunday, December 26, 2010

Jawaban Tuhan Dalam Air Mata


Apa kalian pernah merasakan detak jatung menghentak-hentakan dada dengan begitu keras ?

Jika belum, kalian harus mencobanya. Bagi yang tidak asing dengan pertanyaanku barusan, sekali lagi aku ingin bertanya : Menyenangkan bukan ?

Deretan gigiku seakan ingin terus melihat dunia karena menahan senyum ternyata sulit. Sepanjang jalan di tol menuju Bogor, kedua daun telinga tak kuizinkan untuk rehat dari sengatan lagu-lagu cinta, walau sebenarnya perasaanku saat ini lebih tepat disebut : RINDU.

Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menginjak kota hujan yang juga menjadi tempat pertama kali aku bernafas. Kegemparan di bulan kelahiranku pada tahun '98 terjadi di Jakarta. Kami yang memiliki bentuk mata yang tidak bulat dan berkulit pucat menjadi bahan hujatan. Toko milik adik ayahku habis dibakar massa. Sedangkan sebagian investasi ayah ada disana, sehingga kami yang menjadi satu-satunya sisa dari keluarga besar Ayah memutuskan untuk ikut hijrah menuju kota kelahiran nenek moyangku, Guangzhou.

Aku sempat bertanya pada ayah, mengapa kami harus ikut pindah, karena sesungguhnya kerusuhan terjadi di ibukota. Sedangkan kami sekeluarga bertempat tinggal di kawasan Bogor, tapi tampaknya saat itu seluruh keturunan Tiong Hoa telah gelap mata. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan diri, juga keluarga.

Bukan tanpa alasan aku terus bertanya pada Ayah. Sejujurnya, aku tidak ingin pindah. Walau teman-teman di tempat aku bersekolah kerap kali memanggil aku dengan sebutan "Cina". Aku punya alasan kuat untuk bertahan : CINTA.

Setidaknya pada usia sepuluh tahun, aku merasa itu namanya.

Seorang lelaki pribumi bernama Ilham mencuri perhatianku. Tidak ada yang special dari pria kurus berkulit gelap itu dimata orang kebanyakan. Tapi untukku, diamnya seperti memaksaku untuk terus memberinya perhatian. Di hari terakhir sekolah, aku beranikan diri mendatangi lelaki pribumi itu sebelum keesokan harinya aku meninggalkan negara ini.

Siang itu, Ilham sedang duduk di mejanya. Bel istirahat tidak membuat kaki-kakinya beranjak menuju kantin.

"Aku besok berangkat ke China" kataku tanpa basa-basi sembari berdiri tepat didepan mejanya.

"Mau ngapain?" tanyanya sambil tetap fokus pada buku gambarnya.

"Mau tinggal disana sama papi, mami, sama koko" jawabku

Seketika tangannya berhenti menggambar, menatapku, lalu lanjut tanpa memberi acuh. Aku jelas menjadi sedikit gusar.

"Kamu ga mau ngomong apa-apa sama aku?" tanyaku dengan keringat yang telah menyembul keluar. Karena sebenarnya aku malu sekali saat itu.

Jawaban Ilham saat itu hanya gelengan kepala, tanpa kata. Itulah aku rasakan pertama kali, yang dinamakan patah hati.

Tapi tunggu dulu, seusai sekolah kejadian berganti. Saat koko siap menjemput di gerbang dengan sepeda motornya, sebilah suara tertangkap telingaku

"MEEEEII"

itulah suara yang kunanti, namun aku tak bisa untuk membalas panggilannya. Karena koko terlalu menggesa-gesa. Dan kata selanjutnya menyusul

"KITA PASTI KETEMU LAGI". Itulah terakhir kudapat kata dari bibirnya.


*

Kuinjak lagi pada akhirnya aspal di kota Bogor. Terlalu banyak yang berubah dari kota ini, hingga tak lagi kukenali. Hari ini adalah hari besar untuk kami, karena alasan itulah juga kami melewati samudra untuk tiba di Indonesia. Natal tahun ini, akan dilewati di kota, yang pernah kami cintai.

*

Siang yang paling buruk sepanjang hidupku, adalah menerima kenyataan bahwa Gereja tempat kami biasa berkunjung telah ditutup. Para jamaat memanjatkan doa diatas trotoar, pertanyaanku : Inikah kota yang dulu penuh cinta? Kami saling menangis sambil terus memanjat doa. Natal kali ini dimeriahkan oleh suara-suara jalan dan juga hujatan. Mereka terus mencaci, mengatakan ini bukan tempat ibadah. Menyakitkan mata kami dengan spanduk-spanduk yang entah atas perintah siapa. Yang aku tau, Tuhan itu satu. Salahkah kami yang menyebutnya dengan nama berbeda?

Kami terus berdoa dalam cemas dan takut. Hingga aku-pun melambung pinta pada-NYA : berikan aku jawaban setidaknya satu, atas segala pertanyaanku.

Tak lama waktu berselang, sekumpulan pria berjubah putih mengepung kami, kontan kami berteriak dan menunduk. Air mata dan pipiku akhirnya bertemu. Kubenamkan wajahku dengan kesepuluh jemari. Sampai ku lihat sosok yang selama ini aku cari, mata yang sudah lama kucumbui rindu, dengan sorot mata asing yang menggebu-gebu. Ada sinar kebencian mendalam disana yang begitu terang, hingga percikan-percikan rinduku tenggelam dan menghilang.

ILHAM ?!?!?!?!

"BUBARKAN KEGIATAN YANG MENGGANGGU MASYARAKAT. BUBAR BUBAR BUBAR !!!
ALLAHU AKBAR !!"

Bersama air mata yang telah aku setubuhi. Tuhan memberikan jawaban, di hari suci.


*****

* Cerita ini total fiksi semata. Terinspirasi dari kisah saudara-saudara kita di GKI yasmin.

Selamat Hari Natal, semoga berkah dan damai natal menyelimuti kalian semua

3 comments:

  1. like this, tas. and you're not even a Christian. wow :)

    jadi tambah yakin. kebaikan itu emang ga memandang agama, kebaikan cuma bisa mengintip kaki mata Tuhan dan coba mengikuti langkah-Nya.

    ReplyDelete