Pages

Tuesday, May 11, 2010

Pencurian Bumi...

Di hamparan detik yang berkicau, aku datang.
Semua mahluk yang diberi jiwa bertaring, dan aku masih belum juga bertemu insting.
Dari semua guratan yang terpahat, tidak ada satupun yang membuat kakiku yang sedang menari diantara rimbunan nyawa berhenti.
Di tempat ini tiada petang atau sore hari, hanya malam atau pagi.

Langit berwarna putih keperakan.
Ladang tandus kekosongan, dan semua orang hanya berjalan dengan mono kepentingan.

Aku sempat bertanya pada seorang wanita penuh kerutan, dimana pintu keluar tertanam?
Dia hanya mengangkat bahu, gerakannya ku anggap jawaban atas kata tidak tahu.

Lalu aku melanjutkan perjalanan, kedua mataku mencoba membaca petunjuk sekitar.
Tiada keangkuhan pohon berakar, ataupun bangunan besar.
Hanya lumbung-lumbung berisi tanaman layu dan buah-buahan yang tidak lagi segar.
Seikat tanya tumbuh di kepala, dimana tawa-tawa manusia yang dikata binasa?

Tidak ada tawa, juga air mata.
Tidak ada kicauan burung gereja, tapi juga tidak ada tangisan manja para remaja.

Akhirnya aku menancapkan bokong di bibir genangan air besar yang kukira danau.
Mencoba meraih sedikit isinya dengan telapak tangan untuk membasahi tengorokan.
Namun seekor ikan keluar dari dalam, sontak aku diam memperhatikan sebelum akhirnya dia mati beberapa saat setelah menggelinjang.
Lalu biru air menggenang darah-darah duka.
Dan udara di sekitarku sirna...
Aku tercekik, seperti nasib para tanaman di musim paceklik.

Hingga akhirnya salah satu dari mereka menghampiri
Aku kira karena dia perduli, ternyata malah berteriak memerintahkan aku angkat kaki

Dimana ini? aku kira inilah surga setelah aku mati?

Dia manjawab...

Beginilah Surga sekarang ini, segala keindahannya telah dicuri dan diciptakan sendiri di bumi...

*****

No comments:

Post a Comment