Pages

Thursday, December 30, 2010

Lukisan Garuda Dijiwa Bangsanya

Hari ini tiga puluh desember dua ribu sepuluh. Berarti besok, seluruh dunia akan merasakan detik-detik pergantian tahun. Kemarin, Tim Nasional sepak bola kami, INDONESIA berlaga dalam Final liga AFF. Lawan kami saat itu adalah negara yang sedang panas dibicarakan oleh penduduk kami. Dimana ratusan atau bahkan ribuan TKI kami mencari suapan nasi disana, Malaysia. Kita mungkin sekarang ini sedikit melupa, bahwa mereka memiliki label "Negara Serumpun". Saya yakin bukan tanpa alasan predikat itu melekat pada mereka, ada suatu ikatan yang mungkin tidak generasi kami tau. Sesuatu energi yang melintas diantara kami. Yang dimana energi itu telah berubah menjadi udara panas yang tidak lagi memiliki angin.

Adalah saya, seorang anak bangsa yang begitu cinta pada tanah airnya. Tak bisa saya sebut atau jelaskan kenapa, namun saya selalu yakin bahwa keberadaan saya di negeri ini adalah mutlak pilihan saya sendiri sebelum dilahirkan. Saya juga memberi kepastian pada seluruh komponen disetiap sisi dari jiwa-jiwa yang bersemayam dalam diri saya sebelumnya bahwa saya telah memberi proposal permohonan kepada Tuhan untuk memberi kehidupan kembali di Negara pilihan saya, INDONESIA.

Begitu banyak air mata yang tidak seharusnya saya keluarkan atas apa yang tejadi pada nusantara tercinta. Kehilangan, bencana alam, atau apapun yang membuat jutaan air mata menetes karena kehilangan sebagian primer dari jiwanya.

Namun saya kadang dihentak oleh alam, yang berbisik : Sesuatu yang terbaik akan terjadi. Karena itu hadapilah dengan terus berjalan, karena jika kits berada dalam titik keputus asaan, maka berhentilah menjadi manusia, lalu masuklah ke dalam tanah! Sekali lagi bukan saya menolak terkubur bersama alam, saya hanya ingin bersatu dengan mereka, dengan cara yang berbeda. Bagaimana jalannya? tidak tau. Saya rasakan saja.

Dengan adanya kekalahan ( setidaknya rata-rata masyarakat menyebutnya begitu ) atas tim nasional kami kemarin adalah kutukan atas kesombongan, ataulah peringatan. Bagi saya itu adalah sebuah jalan, tanpa kata "hanya" atau sesuatu yang berlebih. Hal itu memang harus terjadi. Tanya kenapa? sekali lagi jawaban bukan milik saya.

Entah kemana Timnas akan berjalan. Tapi yang pasti mereka membuka mata jutaan nyawa, bahwa bulu kuduk bangsa masih dapat berdiri. Dan air mata masih dapat datang, saat "Indonesia Raya" berkumandang.

Bukan sesuatu yang memalukan apalagi menyedihkan, karena apabila tahun ini adalah tahun kerusakan, maka kita akan mendapat sesuatu yang lebih dari kata membanggakan. Ada sebuah diskrepasi antara kerusakan dan keindahan dan kata yang paling tepat untuk berdiri diantaranya saya rasa adalah "proses".

Secara pribadi yang masih dikelilingi dan dialiri darah, saya pastikan kita yang tersisa adalah bagian dari jiwa-jiwa pilihan yang mendapat penawaran. Akankah kita terlibat dalam suatu "proses" tersebut.

Saya rasa belum ada seseorang yang dapat secara pasti dapat menerjemahkan bahasa Tuhan. Karena keterbatasan otak manusia yang masih terlalu bayi untuk mencapai bahasa yang kuasa. Lalu mengapa harus mencipta stigma ?

Tapi sekali lagi, malam kemarin saya melewati malam dengan tersenyum. Timnas Indonesia telah membuat saya merasa menjadi manusia utuh. Yang diciptakan dengan rasa senang, sedih, marah, gemas, dan berapi-api. Tidak ada satupun yang dapat dikurangi. Bukankah manusia akan menjadi sempurna karena memiliki kelebihan, dan juga kekurangan? saya rasa hanya dengan memiliki lebih, ataupun hanya memiliki kurang tidak dapat membuat para partikel terkecil dimuka bumi pun sepakat untuk menyebut Manusia adalah mahluk Tuhan paling sempurna.

Apalagi tulisan ini hanya terketik dari tangan seorang saya, seorang perempuan dengan darah Indonesia yang juga masih saja salah dalam bersikap serta berkata dan berprilaku. Apa itu sempurna? bahkan ketika saya berdosa yang membuat jengkel beberapa raga, Tuhan masih saja menyebut saya manusia, mahluknya yang sempurna.

Jika penutup tahun ini Sekelompok pemuda yang disebut Timnas telah memberi saya begitu banyak rasa, maka saya yakin nanti mereka akan berlari lebih dari cepat.

Dan sekali lagi, apabila harimau pulang membawa kemenangan dengan berjalan, maka kita semua tau : Berselimut kemenangan ataupun kekalahan, Seekor garuda pasti tetap akan terbang !!

Tuesday, December 28, 2010

Singa dan Alat tulis


Aku masih ingat sekali garis-garis wajah lelaki yang selalu kulihat mengenakan peci itu. Belum lewat dua puluh empat jam kami bertukar suara, beliau membeli kertas berisi berita harian negeri dari tanganku.

Saat itu dia menghela nafas panjang membaca tulisan besar di kolom utama. "PENCURIAN SEBATANG ALAT TULIS". Aku menengok sisa tumpukan koran ditanganku, mencoba menyamakan gambar sosok yang ada didalamnya dengan seorang lelaki didepan batang hidungku. Mataku menyipit dan arah pandangku berganti-ganti, kadang ke koran digenggaman tanganku yang tak sebesar tangannya, kadang menuju pria dewasa dengan kharisma yang begitu menyilaukan ini.

"Apa yang kaulihat nak?" tanyanya melihatku celingukan

"Tidak Pak, anu...", suaraku terpotong "Apakah bapak adalah Lelaki di gambar ini?" kataku seraya menunjuk foto didalam koran.

Dia hanya tersenyum, lalu telapak tangannya menuju ujung kepalaku dan mengusap-usap rambutku. Tanpa ada kata lagi keluar dari mulutnya, beliau lalu membalikkan badan dan berjalan. Sempat kulihat, sebatang pulpen menyembul dari kantung yang terletak di dada kiri baju putihnya.


*****

Alun-alun ramai sekali, aku masih berkeliling dengan memanggul dagangan sisa ditangan. Diantara kerumunan manusia yang tidak hanya dihuni oleh pribumi, aku seperti melihat seekor singa diatas podium.

Singa itu bersorot mata tajam, dan siap mencabik manusia-manusia berambut merah dan kuning yang telah menjadi tuan di "rumah" kami. Setelah mengucap salam, lelaki yang wajahnya tercetak di koran yang kudagangkan membuka kembali suaranya :

"KALIAN LIHAT INI APA?" katanya sambil mengacungkan pulpen yang tadi siang kulihat tersemat dikantungnya. Tapi tidak ada satu orangpun yang menjawab meski pastilah tau akan jawabannya.

"INI ADALAH ALAT TULIS YANG MENJADI BERITA DIMANA KALIAN GEMBAR GEMBORKAN HARI INI" katanya berapi-api.

"SEBELUMNYA JELAS SAYA KATAKAN, SAYA "MEMINJAM" DAN DIHADAPAN KALIAN SEMUA BANGSA BELANDA, SAYA KEMBALIKAN". Sang singa podium mengarahkan pulpen hitam itu ke arah kumpulan tentara berkulit putih. Namun semua diantara mereka ragu untuk maju, hingga lelaki pemberani itu menaruh dibawah kakinya.

Masih dengan tatapan berapi-rapi dan suara yang menggelegar, laki-laki berpeci tersebut meneruskan katanya

"HANYA KARENA SATU BUAH ALAT TULIS, KALIAN MENYEBAR BERITA TENTANG PENCURIAN PULPEN DIMANA-MANA. DAN SAYA DETIK INI DENGAN BESAR HATI BERANI MENGEMBALIKAN LANGSUNG KE TANGAN KALIAN. SEKARANG GILIRAN KALIAN, KALIAN TELAH MENCURI NEGARA KAMI RATUSAN TAHUN LAMANYA, DAN PERTANYAAN SAYA HANYA SATU : BERANIKAH KALIAN MENGEMBALIKANNYA ??

Ratusan darah Indonesia mendidih kala itu, termasuk darahku. Lelaki itu telah membuka mata kami semua, bahwa selama tubuh kita masih mengandung darah, buang jauh-jauh kata MENYERAH !!

******

My Hermesian



Berawal dari dunia maya, mereka telah menjadi bagian nyata dalam hidup saya.
Dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, MENULIS menjadi kunci untuk mempersatukan kita. Saya itu gapteknya setengah mati, blog ini aja awalnya dibuatin sama Asiah, terus baru-baru ini lagi getol-getolnya menghias blog ini kembali.

Jadi, selamat datang di blog amatir saya dan slideshow ini saya persembahkan khusus kepada sahabat-sahabat saya tercinta : HERMESIAN....

Jakarta dan Aku



Saya sangat mencintai sejarah, sekali lagi sangat.
Hal ini kental terasa sejak saya berusia enam tahun, jelang libur panjang kenaikan kelas menuju Sekolah dasar.

Saat itu Ayahku memiliki sebuah pabrik di kawasan Tanjung priuk, dan karena kesibukannya, hampir setiap weekend kami sekeluarga menghabiskan waktu di Horison ( sebuah nama hotel di kawasan Ancol yang sekarang mercure ) atau di Putri Duyung cottage. Semua dikarenakan agar ayah dapat dengan mudah sewaktu-waktu menge-chek pabriknya karena rumah kami terbilang jauh dari pabrik.

Dalam perjalanan menuju Ancol ataupun tanjung priuk, saya jatuh cinta pada sebuah bangunan. Yang mana puluhan rengek saya tidak terhiraukan, saya justru tidak lagi tertarik pada permainan di dalam Dunia fantasi kala itu, keinginan saya hanya satu : Menuju puncak Monumen Nasional.

Entah kenapa saya selalu merasa bangunan itu memanggil-manggil. Suatu energi yang begitu kuat dan memaksa saya untuk menginjakkan kaki disana. Sejak itu saya selalu menyebutnya "Golden Woman Fire" semacam kekuatan atau inspirasi yang tidak pernah padam datang dari seorang wanita.

Sekolah dasar berhasil saya duduki dan satu pelajaran favorit saya adalah : PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Tampak jelas bangunan yang sempat menjadi yang tertinggi di asean itu ada, lengkap dengan pendirinya : F. Silaban dan juga Soekarno.

Sejak itu saya putuskan : SAYA PASTI AKAN MENUJU MONAS, dengan atau tanpa diantar MAMA.

Ternyata benar, bagai gayung bersambut, karya wisata tingkat dua sekolah dasar adalah MONUMEN NASIONAL. Kalian tau, mungkin terdengar berlebih tapi saya tida bisa tertidur hari itu. Seperti menjemput mimpi yang terlalu nyata, dan membuatmu enggan memejamkan mata. Hingga pada akhirnya hari itu datang.

Kalau kalian pernah lihat sekitar 18 tahun lalu seorang anak perempuan berseragam batik al-azhar dengan rok hijau, mulutnya menganga sepanjang Monumen Nasional, itu saya !! Sepanjang museum saya tak abis menebar senyum sendirian.

Saya sempat juga terpisah dari rombongan saking terlalu asyik sendiri melihat pahatan-pahatan milik orde baru di bagian dinding luar. Sampai ahirnyaaaaaaa, saya terlewat rombongan yang menuju puncak monas. kalo dulu Senayan city udah ada, pasti yang lompat dari atas pertama kali itu saya !! RrrrRr...., tapi akhirnya ya itulah yang membuat saya selama 14 tahun terus menggilainya dan juga sejarah-sejarah lainnya.

Video diatas itu sebagian dari perjalanan saya yang dibuat sedemikian indah oleh teman saya Alman saat mengitari kota tercinta saya, kota tercinta kita semua, Jakarta :))

Sunday, December 26, 2010

Jawaban Tuhan Dalam Air Mata


Apa kalian pernah merasakan detak jatung menghentak-hentakan dada dengan begitu keras ?

Jika belum, kalian harus mencobanya. Bagi yang tidak asing dengan pertanyaanku barusan, sekali lagi aku ingin bertanya : Menyenangkan bukan ?

Deretan gigiku seakan ingin terus melihat dunia karena menahan senyum ternyata sulit. Sepanjang jalan di tol menuju Bogor, kedua daun telinga tak kuizinkan untuk rehat dari sengatan lagu-lagu cinta, walau sebenarnya perasaanku saat ini lebih tepat disebut : RINDU.

Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menginjak kota hujan yang juga menjadi tempat pertama kali aku bernafas. Kegemparan di bulan kelahiranku pada tahun '98 terjadi di Jakarta. Kami yang memiliki bentuk mata yang tidak bulat dan berkulit pucat menjadi bahan hujatan. Toko milik adik ayahku habis dibakar massa. Sedangkan sebagian investasi ayah ada disana, sehingga kami yang menjadi satu-satunya sisa dari keluarga besar Ayah memutuskan untuk ikut hijrah menuju kota kelahiran nenek moyangku, Guangzhou.

Aku sempat bertanya pada ayah, mengapa kami harus ikut pindah, karena sesungguhnya kerusuhan terjadi di ibukota. Sedangkan kami sekeluarga bertempat tinggal di kawasan Bogor, tapi tampaknya saat itu seluruh keturunan Tiong Hoa telah gelap mata. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan diri, juga keluarga.

Bukan tanpa alasan aku terus bertanya pada Ayah. Sejujurnya, aku tidak ingin pindah. Walau teman-teman di tempat aku bersekolah kerap kali memanggil aku dengan sebutan "Cina". Aku punya alasan kuat untuk bertahan : CINTA.

Setidaknya pada usia sepuluh tahun, aku merasa itu namanya.

Seorang lelaki pribumi bernama Ilham mencuri perhatianku. Tidak ada yang special dari pria kurus berkulit gelap itu dimata orang kebanyakan. Tapi untukku, diamnya seperti memaksaku untuk terus memberinya perhatian. Di hari terakhir sekolah, aku beranikan diri mendatangi lelaki pribumi itu sebelum keesokan harinya aku meninggalkan negara ini.

Siang itu, Ilham sedang duduk di mejanya. Bel istirahat tidak membuat kaki-kakinya beranjak menuju kantin.

"Aku besok berangkat ke China" kataku tanpa basa-basi sembari berdiri tepat didepan mejanya.

"Mau ngapain?" tanyanya sambil tetap fokus pada buku gambarnya.

"Mau tinggal disana sama papi, mami, sama koko" jawabku

Seketika tangannya berhenti menggambar, menatapku, lalu lanjut tanpa memberi acuh. Aku jelas menjadi sedikit gusar.

"Kamu ga mau ngomong apa-apa sama aku?" tanyaku dengan keringat yang telah menyembul keluar. Karena sebenarnya aku malu sekali saat itu.

Jawaban Ilham saat itu hanya gelengan kepala, tanpa kata. Itulah aku rasakan pertama kali, yang dinamakan patah hati.

Tapi tunggu dulu, seusai sekolah kejadian berganti. Saat koko siap menjemput di gerbang dengan sepeda motornya, sebilah suara tertangkap telingaku

"MEEEEII"

itulah suara yang kunanti, namun aku tak bisa untuk membalas panggilannya. Karena koko terlalu menggesa-gesa. Dan kata selanjutnya menyusul

"KITA PASTI KETEMU LAGI". Itulah terakhir kudapat kata dari bibirnya.


*

Kuinjak lagi pada akhirnya aspal di kota Bogor. Terlalu banyak yang berubah dari kota ini, hingga tak lagi kukenali. Hari ini adalah hari besar untuk kami, karena alasan itulah juga kami melewati samudra untuk tiba di Indonesia. Natal tahun ini, akan dilewati di kota, yang pernah kami cintai.

*

Siang yang paling buruk sepanjang hidupku, adalah menerima kenyataan bahwa Gereja tempat kami biasa berkunjung telah ditutup. Para jamaat memanjatkan doa diatas trotoar, pertanyaanku : Inikah kota yang dulu penuh cinta? Kami saling menangis sambil terus memanjat doa. Natal kali ini dimeriahkan oleh suara-suara jalan dan juga hujatan. Mereka terus mencaci, mengatakan ini bukan tempat ibadah. Menyakitkan mata kami dengan spanduk-spanduk yang entah atas perintah siapa. Yang aku tau, Tuhan itu satu. Salahkah kami yang menyebutnya dengan nama berbeda?

Kami terus berdoa dalam cemas dan takut. Hingga aku-pun melambung pinta pada-NYA : berikan aku jawaban setidaknya satu, atas segala pertanyaanku.

Tak lama waktu berselang, sekumpulan pria berjubah putih mengepung kami, kontan kami berteriak dan menunduk. Air mata dan pipiku akhirnya bertemu. Kubenamkan wajahku dengan kesepuluh jemari. Sampai ku lihat sosok yang selama ini aku cari, mata yang sudah lama kucumbui rindu, dengan sorot mata asing yang menggebu-gebu. Ada sinar kebencian mendalam disana yang begitu terang, hingga percikan-percikan rinduku tenggelam dan menghilang.

ILHAM ?!?!?!?!

"BUBARKAN KEGIATAN YANG MENGGANGGU MASYARAKAT. BUBAR BUBAR BUBAR !!!
ALLAHU AKBAR !!"

Bersama air mata yang telah aku setubuhi. Tuhan memberikan jawaban, di hari suci.


*****

* Cerita ini total fiksi semata. Terinspirasi dari kisah saudara-saudara kita di GKI yasmin.

Selamat Hari Natal, semoga berkah dan damai natal menyelimuti kalian semua

Wednesday, December 22, 2010

Dimana Letak Surga


“SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”

Ingatannya hanya melayang pada kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak. Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun tertanam dalam otak besarnya.

*

“Nik, besok ninik aja ya yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris potongan-potongan bawang

“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau, nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan tersebut kedalam wadah suatu wajan.

“Tapi aku kan ga nakal nik disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.

“Ya Ampun yo…, emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”

“Beda nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus nanti disekolah!”

Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu bangga padanya nak”

“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.

“Sudahlah bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”


*

Suara yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur turun.

“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu kirinya dipegang kuat-kuat.

“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55 tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang sedang menggerutu.

“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz” jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.

“Sebelum membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”

Anak itu terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa langkah didepannya.

“Pak Ustaaaaadd…..Pak Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan setengah berteriak.

“Ada apalagi nak?”

“Engga Pak Ustad, aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah merajuk sambul mengacungkan telunjuk

“Hahaha…, tentu boleh nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa benar Surga itu ada di telapak kaki Ibu?”

Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.

“Nak, saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.

“Lalu yang kedua siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.

“Ibumu”

“Ibu? Lalu yang ketiga?”

“Masih Ibumu nak”

Anak itu terdiam menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.

Sepasang tangan kini memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…

*

“Sudah pulang nak?”

“Sudah bu”

“Lg apa di dapur nak?”

“Lagi buat roti pake meses”

“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster batik menghampirinya

“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”

“Udaah.., ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti dari genggaman bocah cilik itu

“Ga usah buuuuu” Aryo spontan mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses, mentega, dan selai-selai lainya..

PRAAAAAAAANNNGGGG

Beberapa selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.

Pria kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…

SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU

Namun bagaimana jika sang Ibu tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?

Batinnya memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…


*

“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” sahut penghuni dari dalam rumah

Ruang tamu itu mungkin tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.

“Baru pulang nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar

“Iya bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek, bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.

“Permisi semuanya, aryo main bola ya”

“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia 35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya

“Kenalin pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.

“Bu, aryo udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”

“Iya nak, hati-hati ya” jawabnya tersenyum


*

Kaki mungilnya terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap penentuan team dijalankan.

“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali ya” bisik salah satu bocah

“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”

“yeaaaayyy, aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.

“Sampe besok ya temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah tampak menunggu di bibir lapangan.

Aryo kecil terus berjalan acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.

“ARYOO…”
Saat namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun segera menghampirinya

“Bisa bicara sebentar Aryo?”


*

“Jadi kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan

“Apa kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan “sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak berbicara

“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu ibu?”

“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah seperti teman-teman yang lain”

“Apa Ibumu pernah datang kesekolahmu?”

“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”

“Kamu senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi plastic berwarna merah yang didudukinya.

“Engga om, semua temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga karena ibuku tidak mempunyai kaki”

“Aryo, kau seharusnya bangga dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan dengan sang bocah meneruskan ceritanya


*

“Apa yang membuat anda memutuskan untuk pergi?”

“Karena saat itu saya menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang sudah seperti ibu saya sendiri.”

“Apa yang pertama anda rasakan di sana?”

“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”

“Bagaimana dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”

“Saya justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”

“Apakah anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”


“Tidak, saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh anggota keluarga saya”


*

Bocah itu kini menangis, menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk mencetak gol.

Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka pintu kamar..

“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya. Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….

*

“ARYO GA MASUK SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu

“Kalian ko ngomongnya gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak berkepang dua

“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan masuk Surga. Hahhahahahaha”

“Kalian nanti aku laporin Bu Guru ya!!”

“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum

“Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”

**********

Tuesday, December 21, 2010

Melepas senja, dengan menunggu...


Di khatulistiwa biru yang hampir tak lagi menjadi garis,
aku cari namamu, sambil menangis...

Semesta tanpa kata, hening manusia.
Hanya burung-burung yang menyamar menjadi biduan tengah senja.
Sebentar lagi matahari lari, merelakan bulan menikahi kekasihnya sementara.
Langit masih gagah saja, menanti pasangan malamnya kali ini yang berwujud purnama.

Tidak ada pesan yang dapat aku baca, selain rasa angin.
Menunggu kamu pulang, seperti ribuan malam silam.
Dipaku kenangan, yang tidak pernah aku nisankan.

Tidak lagi pernah kulihat sabit, sejak kamu pergi.
Hanya ada kupu-kupu sakit, yang belum juga mati.

Sayang, ayo pulang.
Aku menunggumu, disini, seperti ribuan malam silam....


*******

Sunday, October 24, 2010

Aku belajar berdamai dengan diri sendiri agar dapat berdamai dengan kamu...

Monday, October 18, 2010

Satu Sama :)

Aku coba sekali lagi tersenyum pada dia disana tapi hasilnya sama : BUANG MUKA!

Ok, tidak masalah.

Perlahan aku menyapu pandang ke seluruh sudut ruangan. Suara tawa dan basa-basi para tamu undangan menyesakan telinga. Sepiring kambing guling dipalang lebih dari sepuluh tubuh untuk sampai dimulut, karenanya sekarang segelas cairan tanpa warna terpeluk erat oleh kelima jari kiriku, sedang tangan kanan sibuk menari diatas abjad-abjad ponsel.

"Iya, aku juga masih di tempat kawinan temen" jawabku untuk sebuah "PING" histeris yang dari tadi menyerang blackberry-ku.

"Aku bete nih disini, ada perempuan menjijikan. Males banget deh!!!" jawabnya tak sampai satu menit dari pesanku sebelumnya.

"Yaudah, kamu santai aja. Udah makan?" tanyaku perhatian

"Semua makanan udah aku makan, kalo bisa si Chevana pecun itu juga aku makan!" balasnya.

"Eh, jangan gitu dong sayang. Sabar, kamu pasti cantik kalo ga marah-marah. Talk to you later ya, mau foto alumni SMA nih" kataku sambil berbohong.

"Ok, tapi nanti abis kamu pulang dari kawinan, kita YM-an ya sayaaaanng. Aku kangen buanget sama pacarkuuu, cinta banget sama kamuuu!" begitu kira-kira balasnya dengan kata yang menurutku "lebayatun" Tsk.

Hari ini, aku sengaja menginjakkan kaki ke tempat yang sebenarnya malas kuinjak setengah mati. Disini semua orang tertawa, dari mulai kedua mempelai yang katanya berbahagia, sampai para undangan ( lagi-lagi katanya ) merasakan hal yang sama. Jika itu semua benar, berarti akulah satu-satunya orang dalam ruangan penuh bunga ini yang ingin menangis. Kalau perlu aku ingin meraung-raung sambil membanting semua barang yang ada.Tapi hal itu tak mungkin ku lakukan, karena bila itu terjadi berarti Rumah Sakit Jiwa akan segera menjadi rumah masa depan.

Sebenarnya kantung mataku ini sudah mau pecah, tidak mampu lagi menahan luapan air yang sebentar lagi tumpah. Pelaminan itu seharusnya singgasanaku sekarang. Tawa itu milikku!!!!!! seharusnya.....

*

Ruangan ini tidak berisik, tidak banyak suara. Disini kukira tempat yang paling aman untuk air mata sementara, sampai akhirnya kudengar suara "flush" dari salah satu pintu toilet. Segera kubersihkan sisa-sisa airmata yang tadi tumpah. Malu, ini pesta pernikahan, bukan pemakaman. Meski bagikuku Kebahagian barunya, adalah kematianku paling tragis dalam rasa.

Pintu toilet terbuka, dan ternyata wanita itu lagi.

Dia belum berubah, seperti awal paragraf kuceritakan, semanis apapun senyum kutawarkan, dia pasti mengembalikannya dengan mata yang lebih besar dari ukuran asli plus ekspresi layaknya orang mengambil nafas namun ditahan dulu sebelum dihembuskan.

Dengan hidung yang masih merah aku menatapnya. Dia tersenyum senang melihat sisa genangan air di mataku. Aku diam, berusaha mengatur irama nafas. Tenang...., aku harus tenang menghadapi wanita berkulit putih, berbadan tambun meski raut wajahnya (sedikit) manis.

"Masih dinangisin aja sih? Udah laki orang woy!!" katanya sambil menyisir di hadapan kaca diatas wastafel, dengan arah pandang tetap kedepan.

Aku yang disamping kirinya cuma diam menahan kesal. Wanita didepanku ini adalah perempuan yang membuat kekasihku mengucap kata "Maaf ya va, aku rasa hubungan kita ga mungkin dilanjutin. Aku ga bisa pacaran jarak jauh" dan tiga hari kemudian foto di jejaring sosialnya sudah berdampingan dengan wanita di hadapanku sekarang.

Ketika lulus kuliah, mereka berdua kembali ke ibukota dan entah kenapa wanita lulusan Universitas terkemuka di Bandung ini justru seperti mengibarkan bendera perang. Tidak bosan-bosannya melempariku dengan fitnah-fitnah, dan sikap tak bersahabat. Hingga saat mereka berdua putus, wanita ini stress tingkat tinggi hingga badannya mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya. Akhir kata, tidak satupun dari kita yang mendapatkan hati Bagas, karena wanita diatas pelaminan itulah pemenangnya...

"Kamu tuh ada masalah apa ya ras sama aku?" tanyaku dengan nada sopan

"Napeeeeee lagi lo? Muka lo tuh, masalah buat mata gue" jawabnya nyinyir

"Terus kenapa dilihat?" dengan segenap hati aku berusaha menjawab dengan tenang.

"Anjing lo!! Rebek banget sih?? Eh, lo kalo emang masih kecintaan sama Bagas ya sanaaaaa" katanya sambil menaikkan dagu "Heran gue, emang salah gue kalo lo ngebosenin terus Bagas naksir gue? Makanya muka dirawat dong. jerawat dipelihara" kata terakhirnya cukup mendidihkan emosiku.

"Memangnya kamu sempurna ya ras?" kataku sambil menahan tangis yang sebenarnya memang belum selesai.

"SETIDAKNYA GUE PUNYA PACAR" jawabnya bangga.

Aku menunduk..., sedikit ingin tertawa

*

@Larashita : Pathetic amat sih hidup lo! Mending gue pacaran sama @RomeoSudirdjo deh, kamu dmn sih sayang? Bbm aku ga di bales-bales :(

Itu up date-an terbaru dari jejaring sosial milik wanita yang satu jam lalu membuatku ingin membenamkan wajahnya di toilet.

Sejak aku tau wanita yang menghancurkan hidupku itu tergila-gila dengan situs jejaring sosial, segera aku membuat dua account. Satu atas namaku @chevana dan yang satu lagi alter ego-ku @RomeoSudirjo. Tanpa perlu usaha maksimal, @Larashita pun tunduk menjadi budak cinta Romeo tanpa harus bertemu di dunia nyata. Dan sudah satu bulan ini entah kenapa wanita itu tampak semakin tergila-gila pada sosok Romeo. Mmmmmm.... ya ya ya ya....

Lagi-lagi ponselku bergetar :

"PING"

"PING"

"PING"

"Sayaaaaaaaaaaannngggg, aku udah pulang kawinaaann. Beteeee, pengen chatting sayang-sayangan sama kamu."

"Sayaaaaaaaanngg"

"PING"

"PING"

"Kamu lagi apa sih yang"

"PING"

"PING"

Kira-kira itulah isi pesan melalui blackberry messenger yang lebih terasa sebagai "teror". Aku bosan menjadi Romeo, lebih baik jadi diri sendiri :)

"Maaf ya, aku ga ngerasa cocok sama kamu. Aku ga bisa pacaran jarang jauh. Sorry ya, bye!"

kira-kira itu pesan terakhir dari Romeo untuknya. Sebelum account itu aku hapus untuk selamanya.

************

Saturday, September 11, 2010

Permintaan Yang Hanya Esa..

Aku tidak pernah menyalahkan perbedaan.
Karena aku selalu suka saat kaki kita melangkah di dasar angkasa yang sama, lalu memintal ratusan hari, dengan gumpalan tawa dan para butir air mata yang jelita.

Aku tidak memusuhi jarak, yang menjadi celah di sela-sela kutipan sayang.
Dimana kadang hanya bisikan sehilir datang, sedang wujudmu tertawan di belantara bintang.
Karena aku selalu menjadi sahabat bagi pagi, yang menggiring seluruh memori, bahwasannya ada seorang kamu, untuk aku di bumi.

Aku tidak benci pada waktu saat mereka bersekutu untuk membuat aku selalu memandangi lembar penuh angka-angka tercoret.
Karena disudut ini, seonggok aku mampu melahirkan jutaan rindu.....

Pintaku hanya satu : Semoga Tuhan Kita sepakat....

******

Tuesday, August 17, 2010

Potret Indah Negriku..





Aku berjalan perlahan menapaki lorong panjang yang tidak diimbuhi cahaya.

Suara jantungku bersautan dengan suara gigi yang beradu. Belum lagi keringat yang lahir dari rahim pori-pori membuat suasana malam ini begitu tegang.

Aku sendiri disini dengan menggenggam lampu senter yang baru saja padam. Sial betul jurik malam yang menjadi acara wajib penerimaan mahasiswa baru di kampusku minggu lalu. Acara itu telah menghabiskan batere senterku dan terpujilah wahai kau kecerobohan, yang tidak memeriksa ulang keadaan batere sehingga hari ini, tepatnya malam ini, aku berjalan dalam kandungan gulita.

Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh, jarum-jarum dalam penunjuk waktu terus berjalan. Sebentar lagi tepat tengah malam, aku akan memberikan makanan untuk rasa penasaranku yang semakin kerontang.

Seluruh suara di luaran sana sibuk membicarakan tentang pusaka negara ini. Katanya,salah satu harta negara itu kini tidak lagi menggantung manis di sebuah dinding baja, melainkan tergolek didalam suatu peti.

Berita dari para burung yang terbang dan mendaratkan tahi mereka sembarangan itu jelas menggemparkan masyarakat. Berbagai teori konspirasi muncul. Dari mulai Lukisan kebanggaan negara itu lenyap di curi oleh gerombolan si berat dari Rusia, atau Gambar itu kini telah ada di museum kaca di Perancis. Terlalu banyak hipotesa yang ada. Rakyat dan media yang menanyakan berita itu juga telah dipatahkan oleh pemerintah.

Dengan jawaban "Lukisan kebanggaan negara kita sedang mengalami perbaikan. Akan segera kami sampaikan kemudian setelah Gambar negara kita itu sudah kembali mulus dan sehat" kira-kira begitu kata juru bicara presiden berbadan gemuk, dengan tinggi badan seadanya, kumis melintir, serta kulit kecoklatan.

He? Sehat? Siapa yang sakit pula pikirku. Tapi sudahlah, jawaban dari pemerintah memang rata-rata mengambang dan aku sudah terlalu kenyang dengan janji-janji hebat saat mengharapkan suara, lalu beralih muka setelah meraja.

Aku bukan anak seorang tokoh politik atau bahkan tertarik pada kehidupan pemerintahan. Aku juga bukan pria patah hati yang sehingga menjadi sedemikian gila menerobos museum nasional pukul 10 malam. Aku hanya anak bangsa biasa yang merasa ingin tau kekayaan negaranya. Yang tidak hanya mengenyot jempol mitos ceria tentang Negaranya. Aku ingin menjadi saksi atas bangkitnya negara yang terlalu lama dilanda bencana, dan malam ini aku akan membuktikan bahwa tak perlu lagi ada rahasia.

*

Kini aku telah berhadapan pada sebuah pintu baja. Ruangannya sekali lagi tidak temaram, tapi aku berhasil mencuri kartu dari kantong petugas yang sekarang telah tertidur pulas setelah kububuhi sedikit obat di kopinya.

Ku gesekkan kartu itu di tempat yang terlihat seperti mesin debit. Dan cahaya ke unguan serta kebiruan mencuat 30 persen dalam ruang itu. Tidak terlalu terang namun cukup untuk membuat kedua mataku menangkap pinntu raksasa yang terbuat dari besi.

Di bagian bibir kanan terdapat satu lagi mesin semacam mesin debit kartu jika kita bertransaksi melalui kartu. Ku gesekan lagi kartu yang satu, dan seketika terbukalah secara perlahan besi besar itu.

Mataku sekali lagi membelalak, debu seakan telah memama biak di ruangan ini. laba-laba pun sepertinya telah membentuk kerajaan besar dan menabur jaring dimana-mana. cahaya ke kuningan menyeka ruangan itu. Aku mendekat pada anak tangga yang dimana pada pucuknya terdapat sebuah peti.

"ah, itu pasti peti penyimpanan lukisan fenomenal tersebut!" ujarku dalam hati sambil mendekat.

Ku tapaki satu persatu anak tangganya dan tibalah peti berdebu itu tepat dihadapanku. Tanganku bergetar, "aku akan menjadi saksi sejarah. Dimana manusia-manusia diluaran sana menganggap ini buah bibir semata. tapi aku menyentuhnya".

Kini kesepuluh jemariku bekerjasama mengangkat penutupnya dan seketika...

DEG!!!!

Jantungku seperti berhenti ditempat, aku hanya sebuah pigura kayu berukir, dimana pada bagian bawahnya tertulis

"POTRET INDAH NEGERIKU"

perlahan pula aku merasakan air di pelupuk mataku mulai menjamahi pipiku, jemariku membelai kanvas kandungan dari pigura kayu tersebut. ...

PUTIH....ya, hanya ada warna putih disana. Tidak ada pegunungan indah yang tinggi, atau para pantai yang mencolek hati pasa turis, tidak ada alam raya yang membuat kita dijajah bangsa-bangsa lain, tidak ada rempah-rempah, tidak ada tawa santun khas bangsa ini, tidak ada pemimpin yang berorasi, tidak ada keringat perjuangan, tidak ada apapun....Lukisan itu : KOSONG!

Aku menunduk dan meratap, ini lah potret bangsaku yang selalu di elu-elukan. Akulah anak bangsa yang selalu mencari seribu macam alasan untuk memcinta negara yang kadang membuatku sengsara. Ini bukan hanya rintihan air mata para rakyat jelata, ini adalah cermin bagi rasa malu setiap penduduk yang merasa sempurna.

Masih dalam rangkaian air mata, aku mengusap pigura yang membinkainya, namun tampaknya kau itu terlalu lapuk. Serabutnya mengundang darah dari telunjukku untuk turut hadir.

Sakit...tapi tak begitu lagi terasa, ketika ingatanmu merambat pada sumpah para petinggi untuk selalu menggunakan nurani, para anak jalanan yang harus kehilangan beberapa organ tubuhnya, fakir miskin yang semakin miskin didempul asap knalpot mobil-mobil mewah.

Seperti kebencian mendidih rakyat yang tinggal dan mati di negaranya. Negara ini sudah tidak punya cinta?

PERSETAN DENGAN KEADILAN, PERSETAN DENGAN KESABARAN!! kenyataannya semua butuh makan...

Ku sapu darahku di antara kanvas putih yang tergolek lemas, aku yakin suatu saat lukisan itu akan dikenang kembali, sebagai lukisan kebangkitan.

Selama hayat di kandung badan. Engkau tetap Kubanggaakan

Aku Pernah...





Aku pernah....

Disaat malam sedang menggelapi jagat raya, aku mengibarkan lilin kecil untuk mengharap adanya kamu yang akan segera pulang.
Aku takut, kamu kira rumah ini kosong, karena hitam tidak mengizinkan mata kita menangkap bayangan satu sama lain.

Tak ku izinkan kantuk tiba, hingga lelehannya menyatu dengan marmer yang semakin kusam. dan api itu menghilang.

Kamu? tidak juga datang...

*

Aku pernah

Diketuk oleh embun pagi di bibir daun.
Dia bilang " Lelakimu itu seperti aku, yang tak sengaja tertangkap matamu dikala lahirnya mentari, namun sebelum kau bergegas mandi, kami pasti segera pergi".

Aku diam saat itu.
Pelupukku mulai berair, tapi aku tak sudi menangis. Aku mau kau melihat ku tersenyum kala pulang...., meski tak juga kamu datang.

*

Aku pernah

Merasakan ribuan tabung gas meledak didada, saat melihat bibirmu bersujud di wajahnya.
Dan aku disini, menahan tangki air mata yang segera jatuh ke permukaan dunia nyata.
Angin senja pun tau, aku hanya pura-pura turut berbahagia.

Jangan dulu kau pinta padaku sebilah doa, karena aku belum sanggup melakukannya.
Jangan pula kau minta aku sajikan senyum terindah, selama jemarimu mengikat pada telapaknya.

*

Aku pernah

Berbisik cinta, sebelum kamu bersamanya...


*******

Monday, August 16, 2010

AKU INGIN....


AKU INGIN :

*ada dibelantara pelangi. Menjilatinya satu per satu hingga nafasku menjelma puisi...

*menjadi pasangan atas sepatu yg hilang, supaya dia tidak terlihat egois dan sendirian..

*menjadi semangat atas perunggu. Agar dari yang ke-tiga, dia dapat segera menjadi nomor satu...

*melebur menjadi debu, lalu hinggap di pori-porimu

*kenyataan dari ribuan kisah di setiap kitab. Agar tidak hanya menjadi santapan rayap..

*menari dengan irama jantungmu. Lalu menghentakannya, agar kamu merasa...ada aku disana.

*bercinta denganmu diatas piano dan mengganti semua dentingannya, dengan desahan kita..

*menjadi serbuk yang melumpuhkan seluruh sel otakmu. Hingga di seluruh penjuru kepalamu, hanya ada..., seorang aku.

*mencukil awan saat dia abu-abu, lalu kusemaikan dalam kopimu. Tinggal menunggu, halilintar di kerongkonganmu..

*meredakan dahagaku, dengan air matamu...

*merobek langit. Untuk membuktikan tidak ada surga, selama kamu didunia

*merangkum melodi semesta dengan memori kita. Bukan aku, atau kamu..., kita.

*Hisapan bibir kita, segera menjadi pahala..

AKU INGIN, seluruh kata-kataku....menjelma menjadi seorang KAMU!

Monday, August 9, 2010

Menjemput Matahari

Berangkat dari jurang senja yang kelelahan, aku mendaki keinginan.
" Temukan dia di pucuk malam, saat burung gereja tidak lagi bersenandung, dan para laskar cahaya tertidur lelap" katanya lantang.

Aku mengendus semerbak hujat dari delapan titik mata angin.
Memantulkan gaung seperti cinta yang dimentahkan tiap sisi.
Berpindah terus berpindah, hingga suara semakin kecil lalu hilang dalam sunyi, tidak abadi.

Para lelaki yang bersajak tentang putri di Tanjung Pualam. Mereka bilang wanita itu merekah bagai bunga cempaka, molek seperti pegungungan indah yang imajiner.
Aku masih menanjak, meski terdengar puja yang mereka muntahkan dalam aksara kini menjadi samudra hina yang tak bertepi. Mereka mengumpat, mengunyah serapah dengan rakus.
Para tikus datang menyerang loteng langit, "kami mau keadilan!!" katanya.
"Kami bosan hidup kotor dalam istana debu yang berpilarkan dosa-dosa beragam, angkut kami menuju tempat yang Tuhan-mu kata sebagai surga!" tambah mereka.

Cakrawala membiru, dia beku dalam angan-angan klasik tentang perdamaian. Tidak ada lagi bola keemasan yang bersinar. Dia tenggelam, terseret dalam lubang yang melumpuhkan kebenaran. bahkan kini keberadaan matahari dipertanyakan. Dan aku sedang memacu ke dua kaki untuk menjemputnya, dia....Matahari yang terluka.

Friday, July 9, 2010

AKU yang merindu KAMU



Pada lembaran kosong ini aku coba memuntahkan aksara...

Aku hampa, tadinya.
Sebelum caci yang menjelma menjadi lumpur penghisap menarikku menuju dasar pusaran benci yang terlalu dalam.
Kamu tidak jahat, JELAS!
Akulah bangsal kegelapan yang berpura-pura menjadi malam yang menyejukkan.
Membawamu pergi menelusuri bukit-bukit indah yang ku rakit dari gumpalan dendam.

Ingatkah kali pertama bertemunya kedua bola mata?
Kita bersikeras masa itu adalah racikan Tuhan paling sempurna.
Dimana kupu-kupu menari disekitaran tubuh kita, mengerlingkan sorot bahagia dalam pelupuk mata.

Mati sayang, rasa itu mati!
Setidaknya aku mengira demikian.
Sampai tiba saatnya wajahmu datang kembali di layaran sudut pandang.

Ternyata kamu masih hidup, atau setidaknya gentayangan di pikiranku tanpa aturan.
Ya ya ya.....aku kembali menghela nafas panjang...
kupanggil lagi engkau perlahan...

"Sayang, sini...aku akan membunuhmu. Jangan takut, kulakukan dengan rindu yang menggebu langsung menuju jaring nadimu"



Tertanda
Aku yang merindu Kamu

Thursday, July 8, 2010

jakarta, 8 juli 2010

Hari ini saya membuka mata dengan bahagia. Entah karena apa, mungkin tidur saya terlampau nyenyak tadi malam. Dimulai dengan rencana keluar untuk menjambangi bioskop Ibukota bersama seorang lelaki tampan : Raesaka (ahem) serta merta pilihan kami jatuh pada setiabudi 21. Secara kan yaaaaa, semua bioskop sibuk menghabiskan studionya untuk cerita seorang perempuan yang labil setelah di hadapkan dengan vampire (yang katanya) ganteng dan siluman serigala berperut kotak-kotak (ya labil la ya kalo pilihannya begitu?!?!!?)

Dengan segala pertimbangan (atau tak ada pilihan) kami akhirnya memutuskan untuk menonton CHLOE yang ternyata dapat mengobati kekecewaan saya terhadap Bella, edwad, dan juga jacob (kaya nama beo kakak saya). Amanda sumthing bla bla bla (ga tau namanya) itu bermain apik sekali . Film itupun menjadi topik pembicaraan kami sepanjang jalan kuningan sampai pada suatu sore, bola mata saya terpaku melihat spanduk yang terpampang tepat di muka Taman Menteng : PAMERAN SENI BENDA TUA.

Walau saya belum tua ( sumpah deh! ) tapi saya amat menggilai seni dan buah karya. Maka kami memutuskan untuk melibas senja disana. Diantara bangunan-bangunan kaca, Taman Menteng semakin cantik dengan tambahan tenda-tenda berwarna putih dimana didalamnya pula, terdapat berbagai macam rupa bongkahan batang kayu yang telah menjelma menyerupai hewan-hewan cantik seperti rusa, cendrawasih, dan sebagainya.

Yang tidak juga luput dari pandangan saya adalah banyaknya lukisan-lukisan tua yang mengantung di dalam ruang kaca salah satu ruang disana. Lukisan-lukisan itu mungkin telah lipatan kali keberadaan saya di dunia. Tapi mereka semakin indah beriring bertambahnya usia. Salah satu yang membuat saya mengeras di lantai yang sama adalah sebuah lukisan (DAMN, ga boleh difoto) sebuah pohon berakar besar di pingir danau. Dengan goresan lukis atas-bawah halus, saya seakan diajak masuk kedalam dunia penciptanya. Dia mengguratkan kuas dengan sangat berhati-hati, setiap warna nyaris tidak bersenggolan. Dibanjiri dengan warna pastel, membuat saya teduh berlama-lama menatapnya. Pohon tanpa dedaunan yang berdiri tua sendirian di tepi danau yang tenang itu terasa sepi sekali. Seperti ditingal sesuatu yang amat dicinta tapi terus berharap kuat dan tenang selamanya (lebay? gpp ya!)

Yaaaahhh..kira-kira gitu deh ya. Dan yang bersarang di otak saya seharian adalah tumpukan yang ada diatas meja antik dua setengah meter itu. Berbagai peta tua ada disana, dari mulai batavia sampai Eropa. Mungkin untuk menghindari rayap-rayap nakal memangsa, maka para peta tua itu telah berbalut laminating. Tangan saya serasa dioles perekat hebat sampai-sampai salah satu peta berukuran sekitar tiga meter enggan lepas dari genggaman. Saya bersikeras ingin membei peta tersebut (sebelum tau harganya). Harganya LIMA JUTA!!! Mak Nyaaaaakkk...... Ahirnya saya memutuskan untuk mencatat kata2 yg ada didalamnya. Terdapat kata S V M A T R A S yang saya kira itu : SUMATRA serta ada tulisan tambahan NOVA DELINEATIO AUTORE MARE. Sepertinya pembuat peta itu VISSCHER- 1675 karena namanya jelas tertera disana. Buat yang penasaran, slahkan datang langsung ke Taman Menteng (ga tau sih tepatnya sampai kapan ;p)

Ini cuma catatan iseng doang selagi menunggu teman saya yang tak kunjung datang. heheheh.....
Terima kasih untuk yang sempat membaca, saya coba cari-cari plus baca-baca tentang peta tersebut dulu yaa. Kalo ada informasi boleh lho bantu-bantu :) hihihi.....thank uuuuuu!!!

Thursday, June 3, 2010

Matahari di Negeri Malam 1

Cerita ini dimulai dengan warna hitam...
Kenapa hitam?
Karena memang itulah warna yang mendominasi Negri ini, Negri Malam.

Negri ini tidak memiliki siang, langit selalu seragam tiap saatnya, tanpa cahaya...
Tidak ada yang berbeda pada kehidupan rakyat disana, mereka memiliki ritme tersendiri saat bekerja.
Dengan bantuan kunang-kunang, negri yang gelap itu mendapat sedikit bumbu terang walau tidak benderang.

*

Saat itu didalam gelap terjadi suatu kegemparan. Dua kelompok rakyat saling mencukil darah masing-masing lawan. Dengan kunang-kunang dalam botol plastik yang di ikat di kepala, mereka memperebutkan satu-satunya hutan yang diyakini masih menyimpan sisa kunang-kunang.

Ya, Negri alam seakan sedang diujung tombak, kunang-kunang semakin langka karena terus diburu.
Kini mereka semakin jarang dan sulit ditemui. Hal ini memancing kepanikan warga karena harga kunang-kunang di pasaran melonjak naik sedangkan penghasilan warga merosot diakibatkan kesulitan bekerja karena kekurangan cahaya. Kini rakyat pun haus akan kunang-kunang, apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkannya...

*

Di bawah langit hitam dalam udara dingin yang menusuk, seorang wanita sedang bertarung menghadapi maut demi memberikan 1 nyawa baru. Perempuan muda itu menjalani proses persalinan seorang diri dan hanya ditemani oleh seorang perepuan tua yang dikenal sebagai pembantu kelahiran. Suaminya tercinta telah gugur menjadi salah satu korban dalam perang perebutan kunang-kunang yang membuat wanita cantik yang sedang hamil tua ini geram dan mengutuk Negri Malam!

Kini perjuangannya telah mencapai titik akhir. Suara tangis seorang bayi akhirnya pecah juga, dan suara tangis bayi penghuni baru dunia itu menjadi penutup kerja telinganya. Dia pun pergi menyusul lelaki tercintanya, ke alam keabadian dan meninggalkan bayi tak berdosa itu sendirian.
Melihat pasiennya sudah kehilangan nafas, bidan tua itupun kembali menatap bayi yang sedang menangis keras dengan tangan menggemgam.
Didekatilah bayi laki-laki yang terlihat sehat itu, seketika saat genggaman tangannya terbuka, sebercah cahaya memancar dari kedua tangan bayi tersebut!

Bidan tua pun terkejut dan langsung menatap sekelilingnya. Setelah memastikan tidak ada satu orangpun yang melihatnya, ia pun langsung membalut bayi mungil itu dengan selimut dan membawanya pulang.....

*

Sebuah Rumah yang dulu renyot dengan bau mayat binatang kini perlahan berganti menjadi rumah yang lebih kokoh, dengan kaca-kaca terang yang mengantung di setiap sudut. Menjadikan rumah tersebut menjadi rumah paling benderang di negri malam.
Tidak sedikit warga yang mengantri di depan garasi rumah dimana tempat itu juga dijadikan sebagai kios "CAHAYA". Pemiliknya adalah pasangan suami istri yang sudah mulai semakin tua.

Mereka menjual bola-bola kaca semacam kelereng dengan variasi ukuran dengan mengeluarkan cahaya yang tahan hingga 2 bulan. Barang itu sangat diminati warga apalagi sejak semakin memunahnya kunang-kunang di negri itu. Hidup mereka pun sekarang menjadi 360 derajat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sang suami tidak perlu menjadi pengrajin kaca miskin yang menjual bola-bola kaca untuk dijadikan mainan anak-anak atau hiasan. Dan sang istri tidak perlu lagi menjadi bidan keliling untuk membantu persalinan. Mereka telah kaya, bahkan dapat masuk dalam jajaran orang terkaya di Negri itu.... Negri Malam.


*

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun duduk dipojok ruangan. Gelap yang pekat menyelimutinya. Kulitnya yang putih terbungkus kemeja lusuh abu-abu dan celana coklat. matanya kosong, dia tidak sedang berusaha menangkap bayangan, atau memfokuskan penglihatan pada apapun. Dia hanya tidak tau secara pasti siapa dirinya yang utuh? Topi pet coklat yang bertengger di atas kepalanya pun kini dia lepaskan. Hingga kedua tangannya kini terpangku oleh kedua lututnya yang dia tekuk. Punggungnya masih nyaman bersender di dinding. Kini kepala nya pun menyusul, menuju dinding dan sedikit mendangak, menahan agar air mata tidak perlu datang. karena dia hanya ingin sendirian.

Kembali dia tatap kedua telapaknya yang terbungkus sarung tangan. Dilepaskannya dan seketika pada bola mata hitamnya terpantul gambar kedua telapaknya yang bercahaya. Digerak-gerakannya dan cahaya itu terus terang dan semakin benderang. Perasaannya kini tercampur aduk, bahagia bermain sendiri dengan telapaknya, sedih karena berbeda, terasing, dan perasaan-perasaan ambigu lainnya. Absurt....terlalui absurt.

BRAAAAAAAAAAAAKkKKK dalam sekejad suara pintu terbuka

"HARI!! jangan terus bermain-main dengan telapakmu. Ini kardus terakhir untuk hari ini. Jika kau selesaikan lebih cepat, maka kamu boleh ikut Ayah jalan ke pasar untuk membeli kaca-kaca baru" kata perempuan tua dengan baju terusan sebatas betis bercorak bunga-bunga sambil menyerahkan satu kardus berisi bulatan-bulatan kaca.

"Iya Ibu, tapi setelah itu aku benar akan diajak ayah keluar rumah?" tanya Hari kecil dengan bolamata berbinar.

Wanita tua itu kini mendekati lelaki kecil yang sedang menyimpan harapan
"Iya nak. Tapi ingat, kamu tidak boleh nakal. Jangan sekali-kali kamu lepaskan sarung tanganmu dan membiarkan orang lain melihat telapakmu. nanti mereka akan segera menangkapmu dan memasukan kamu ke penjara. Ibu harus melindungi kamu, kau tidak mau kan masuk penjara bersama orang-orang jahat?"

"Tidak bu, aku tidak mauu" jawab Hari cepat.

"Bagus, kalau begitu turuti ibu. Hanya Ayah dan Ibu yang dapat membantumu. Sekarang kau chayakan kaca-kaca ini dan Ibu akan membuatkan coklat panas untukmu" dan mantan bidan itupun berdiri dan kembali menutup pintu setelah dia keluar dari ruangan.

Kini Hari kecil mengambil sebongkah kaca yang ada didalam kardus lalu menggenggamnya, seketika cahaya dari telapak Harry seakan berpindah menuju bongkahan kaca tersebut, dan begitu terus selanjutnya hingga kaca-kaca berikutnya.

Bocah kecil itu terus melakukannya berulang-ulang hanya demi sebuah keselamatan. Dia tau dia berbeda, dan dia hanya ingin kesamaan dan rasa aman. Dia tidak ingin menghabisi waktunya di penjara bersama orang-orang jahat. Meski dia belum menemukan logikanya, apakah dilahirkan berbeda adalah suatu kejahatan?

******

Tolong...




Jangan Hadirkan aku, dimimpimu malam ini...

Aku beri kamu belati,
Tolong, bunuh aku di otakmu..



Tertanda,

Aku yang sekarat di ego-mu.

Wednesday, May 12, 2010

Jangan Perintahkan Aku Untuk Berhenti...

Jangan perintahkan aku untuk berhenti
Menapaki belantara rimbun sunyi yang berkelar dengan ranjau-ranjau kesepian
Aku tidak gentar dengan gelap yang tersulut dari hitamnya bola mata yang sebentar lagi berembun.
Duka di angkasa yang menjelma abu-abu menjadi pertanda kalau matahari terlalu takut untuk terbit disini.

Jangan bertanya tentang apa arti langkah dari kedua kaki yang selalu ingin menggapai senyum yang tertanam di buah tertinggi, dimana aku tau dia hanya sedang bersembunyi. Lalu aku disini bersiap untuk menemukannya sambil berlari.

Aku tidak berharap bertemu pelangi, karena jutaan butir hujan tak mungkin mampu membuat langkahku pekat untuk menemukan sebutir harap yang selama ini dianggap debu bagi para bangsawan.

Cobalah terbang lebih jauh, dan aku akan memacu jantung agar berdetak lebih kencang sehingga baling-baling rinduku akan menangkapmu lebih cepat.
Usah katakan kau bosan, karena aku akan bereinkarnasi ratusan kali lagi hanya untuk merobek catatan Tuhan bila bukanlah namaku yg bersanding disamping namamu nanti.

Tolong.....jangan perintahkan aku untuk berhenti!

Tuesday, May 11, 2010

Aku yang mencandu...

Aku disini sedang mencandu tanganmu

Dimana saat ke sepuluh jemarimu menggeliat di setiap helai rambutku, batok kepalaku akan menggelayut manja menuju dadamu.
Aku mengira sedang berlayar disebuah kapal yang sebentar lagi karam.
Menunggu retaknya kayu-kayu yang sebagian telah masuk kedalam perut rayap, lalu tengelam.
Tapi tidak setelah kulihat sebuah pulau yang tidak mengharuskan aku berenang.
Pulau itu menghampiri dengan kedua lengan keramik, menghangatkan tubuhku yang hampir basah.
Lalu aku merasa aman untuk pulas dalam peluknya.

Aku disini sedang mencandu matamu

Dimana setiap kali mereka menyorotkan cahaya, mampu membuat gelap di ufuk neraka tak kuasa untuk benderang.
Aku selalu menantinya saat terbuka di kala mentari baru saja lahir dari rahim semesta.
Mengajak dunia untuk bercanda bersama buih samudra yang berkejaran menuju tepi.
Seperti itulah aku, ingin berada dan terperangkap di korneamu, sampai mati.

Aku disini mencandu bibirmu

Dimana saat dia terbuka, itu adalah pintu yang selalu memanggil kaki-kakiku untuk masuk kedalam dan terpenjara hingga ujung detik habisnya pita suara.
Lidahnya selalu berlafaz tentang isi cerita dunia yang meski masuk kedalam gendang telinga, namun tetap aku sulit mendengar ketika katupannya datang sekejap ke depan muka.

Aku disini mencandu nafasmu

Yang kuinginkan selalu menderu di setiap helaanku.
Karena hanya dengan kamu menghirup udara, maka akulah yang akan hidup selamanya.
Ingatanku lepas setiap kali menutup mata.
Sehingga setiap kali kita berjumpa, aku jatuh cinta......seperti kali pertama.

Aku mencintai bongkahan semesta raya berkilau, yang tidak lain adalah engkau...





Tertanda

Aku disini yang mencandu KAMU

******

Pencurian Bumi...

Di hamparan detik yang berkicau, aku datang.
Semua mahluk yang diberi jiwa bertaring, dan aku masih belum juga bertemu insting.
Dari semua guratan yang terpahat, tidak ada satupun yang membuat kakiku yang sedang menari diantara rimbunan nyawa berhenti.
Di tempat ini tiada petang atau sore hari, hanya malam atau pagi.

Langit berwarna putih keperakan.
Ladang tandus kekosongan, dan semua orang hanya berjalan dengan mono kepentingan.

Aku sempat bertanya pada seorang wanita penuh kerutan, dimana pintu keluar tertanam?
Dia hanya mengangkat bahu, gerakannya ku anggap jawaban atas kata tidak tahu.

Lalu aku melanjutkan perjalanan, kedua mataku mencoba membaca petunjuk sekitar.
Tiada keangkuhan pohon berakar, ataupun bangunan besar.
Hanya lumbung-lumbung berisi tanaman layu dan buah-buahan yang tidak lagi segar.
Seikat tanya tumbuh di kepala, dimana tawa-tawa manusia yang dikata binasa?

Tidak ada tawa, juga air mata.
Tidak ada kicauan burung gereja, tapi juga tidak ada tangisan manja para remaja.

Akhirnya aku menancapkan bokong di bibir genangan air besar yang kukira danau.
Mencoba meraih sedikit isinya dengan telapak tangan untuk membasahi tengorokan.
Namun seekor ikan keluar dari dalam, sontak aku diam memperhatikan sebelum akhirnya dia mati beberapa saat setelah menggelinjang.
Lalu biru air menggenang darah-darah duka.
Dan udara di sekitarku sirna...
Aku tercekik, seperti nasib para tanaman di musim paceklik.

Hingga akhirnya salah satu dari mereka menghampiri
Aku kira karena dia perduli, ternyata malah berteriak memerintahkan aku angkat kaki

Dimana ini? aku kira inilah surga setelah aku mati?

Dia manjawab...

Beginilah Surga sekarang ini, segala keindahannya telah dicuri dan diciptakan sendiri di bumi...

*****

Monday, May 10, 2010

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Lambaikan tungkai kakimu saat malam masih berduka.
Lewati kerikil pasir yang tidak mampu membuat luka di akar cemara, dimana pucuk-pucuk daun sedang melawan kantuk.

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Terbangkan nafasmu seiring udara yang memburai bersama debu yang berterbangan.
Mereka sedang menyusun rencana untuk menyampaikan pesan dari jiwa-jiwa berduka yang terlalu pengecut untuk bersuara lantang...

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Diantara pualam-pualam kasar yang bertebaran
Mencari mangsa untuk dilukai
Menciptakan cerita untuk ditangisi

Mari menyelinap perlahan-lahan...
Di bawah payung-payung awan
Usah perdulikan bisik-bisik nyinyir
Yang berusaha memadamkan cahayamu dengan mencibir

Sudah mulai dekat ?
Belum?

Berikan tawamu yang paling manis pada jalanan panjang yang selama ini terabaikan syukur.
Pijaki mereka dengan hentakan semangat dan bubuhi mereka denga darah para mahluk kufur.

Jangan berhenti...
Sabit terus menanti untuk kau daki

Mari....
Menyelinaplah perlahan-lahan...

******

aku mengira akulah satu-satunya, ternyata aku hanya salah satu dari mereka..

Udara di sekitarku masih dapat kuhirup dengan baik, walau tidak selega waktu nafasmu turut masuk dalam helaanku.

Aku tertutup?
Iya. Biar orang-orang diluaran sana melihatku selalu bahagia. Sampai tiba saatnya mereka berpikir mungkinkah ada kehidupan yang hanya berisi kebahagiaan? Sekiranya ada, itu pasti akan sangat membosankan. Setiap ruang waktu hanya diisi tawa, lagi, dan lagi.
Sama dengan dunia percintaanku, Kandas....lagi dan lagi.

Mereka bilang aku terlalu pemilih, bagaimana mungkin kamu tidak memilih seseorang yang akan berada disampingmu sampai kamu mati?
Yang akan menjadi awan dalam panasmu...
Menjadi ksatria dalam hidupmu...
Menjadi pengisi setengah darah keturunanmu...

Hingga aku bertemu dia. Bukan hal yang special, justru crusial. Saat dimana bukan hanya aku yang diperlakukan begitu, tapi juga wanita-wanita di dalam phonebooknya, facebooknya, atau bb nya.

Dia asing?
Iya tentu saja. Menatap batang hidungnya pun aku belum pernah, hanya mendengar namanya. Pendamba cinta, itu kira-kira sebutannya. Jaman begini siapa yang tidak mendamba cinta?
Setiap Adam pasti mencari rusuk kirinya,dan setiap Hawa ingin melengkapi rusuk pasangannya.
Begitu juga aku, dan dia.

Dia selalu berkata "Kenapa kamu tidak mempersilahkan aku mencintaimu, setidaknya kenapa kamu tidak bersedia mencoba cintaku?".

Mencoba, cinta mungkin memang harus dicoba dulu sebelum diambil, dibekukan, dan dimiliki. Namun hatiku terlalu pilu untuk itu.
Bukan 1 kali aku masuk kedalam kubangan berdarah yang bernama "cinta". Dan aku perlu waktu untuk membersihkan diri, sebelum aku bersedia melompat kembali.

Waktu, fenomena yang selalu ingin dibunuh manusia. Namun ternyata terlalu kuat, terlalu banal, dan hanya TUHAN yang dapat membuatnya mati.
Bukan aku, bukan dia...
Namun waktu dapat menumbuhkan benih cinta, yang tak mungkin langsung berbuah ranum saat baru berkembang. Cintaku masih masam bila dipetik, dia bilang selalu bersedia menunggu karena dia cinta aku, selalu begitu...seingatku...

Kini kulihat buahnya mulai memerah, seiring perjalanan pertapa menuju taman surga dewa.
Berjalan perlahan, sedikit memberi tapi tak harap kembali. Dia mulai jengah, menunggu dalam pongah. Segala yang diberikan menjadi patokan akan balasan kasih sayang. Dia pergi, dengan alasan tak mampu lagi berdiri. Menanti sesuatu yang belum pasti.

Malam itu temaram sedang meraja, dan mataharipun mati. Gelap, pekat seperti mata hati yang terkoyak. Sahabatku pernah berkata "andai saja kita hidup dimana pusat informasi tidak secanggih sekarang yang diwarnai, friendster, facebook,atau twitter, hidup pasti akan lebih tenang". Saat itu aku tertawa, membayangkan hati sahabatku yang terluka, karena dia sedang kecewa. Tapi kini saat katanya kembali menggenang, aku semakin tau rasanya,hingga alasan pernyataannya.

Dia selalu bilang aku tak menghargainya saat aku pergi dengan sahabat laki-lakiku ,pergi tanpa pamit terlebih dahulu, atau ada mahluk mars lain mendekatiku. Walau sepengingatan otak semutku,dia belum resmi menjadi kekasihku..

Saat baru kurasakan sayap kupu-kupu yang dia ditinggalkan diperutku, mengira dia orang yang mengerti aku, dia justru menjauh. Dengan prasangka dikepalanya, dia merasa aku malu berdampingan dengannya hanya karena aku lebih suka menghabiskan malam minggu diluar jakarta selatan.
Tempatku hidup 25 tahun dalam ancaman.

Detik saat lingkunganku selalu menyebut namanya sebagai pemburu wanita a,b, dan c, ak tetap mencoba menutup mata. Itu tidak mungkin, karena dia selalu menyamakan dirinya dengan Nabi Yusuf yang mendapat fitnah bertubi-tubi karena menolak kaum hawa. Tapi nyatanya, teman-temanku sendiri adalah objeknya. Seorang wanita bahkan menghubungiku hanya untuk memastikan apakah aku kekasihnya karena saudaranya kini sedang dekat dengannya. Saat itu dia sedang menghilang, rasanya untukku dia bilang sedang mati. Atau mungkin baginya aku hanya fiksi..

Tapi dia datang lagi, entah darimana atau karena apa dia datang dengan kata "I miss u" dan kujawab dengan "I miss u to" karena memang itu rasaku, dan aku jujur padanya juga pada hatiku.

Hari itu indah, kami bagai perindu hebat yang melepaskan hasrat. Tangan kami terajut mati, tidak akan ada udara dapat menyelinap, terlalu rapat. Di tudungi cakrawala malam kami saling menatap dan dia menggegam hangat, katanya yang kuingat "Jangan pergi lagi ya".
Aku hanya tersenyum, sejak kapan aku pergi?
Aku selalu disini, mengamati dan bertahan untuk dia disisi.
Karena aku percaya padanya, ambisinya, dan impiannya!!

Dia tidak menyadari bahwa hatiku telah terbuka ikhlas untuknya, semenjak bibirku bersujud di bibirnya..

Namun dia terlampau hebat mengkasihani dirinya, sehingga kasih dariku tak teraba, selalu mendongak menantang langit, menghitung bintang-bintang yang bertaburan untuk mewakilkan patah hatinya, tanpa dia sadar sebanyak itulah berarti dia telah jatuh cinta.

Ini bukan keluhan, hanya samudra perasaan yang tidak aku ketahui dimana dia akan bersemayam. Karena saat cinta bersenggama dengan kekecewaan, kupercaya akan lahir sebuah "Mahakarya".

Aku kira akulah satu-satunya wanita dihatinya, ternyata aku hanya salah satu dari mereka...

...........

Sunday, May 9, 2010

Aku dan Syair..

Ketika para penyair berkhayal untaian syair dan mantra kata-kata yang mereka rangkai suatu saat akan menjadi tali pengekang bakat, aku akan datang dan merobek-robek manusrip mereka.

Jika seseorang meramalkan bahwa apa yang mereka tulis akan menjadi mata air yang tandus.
Sebuah kekuatan akan menuntunku dan kelompok lain untuk menuangkan tinta-tinta kami dalam sumur pelupaan, lalu memecah paksa pena mereka dengan tangan-tangan kelalaian.

Aahh....bukankah itu menyenangkan kawan?

Tapi aku sedih teman...
Aku sedih mendengar para jiwa mengoceh dengan lidah-lidah kebodohan.
Mereka seakan membunuhku demi merengguk anggur perenungan yang mengair diatas pena manusia yang suka berpura-pura.

Terlebih lagi saat kakiku menginjak lembah kebencian serta melihat kenyataan bahwa tempat itu sudah terlalu penuh.
Terlihatlah aku salah satu dari khalayak yang melihat seekor cicak membengkakkan tubuhnya menyerupai seekor buaya.

Syair,sahabatku tersayang, adalah sebuah genangan dari hujan senyuman.
Syair merupakan keluhan panjang yang mengerikan bagi airmata, setiup roh yang mendiami jiwa, yang memiliki makanan hati, yang memiliki anggur kasih sayang.
Naahh...ini dia! Syair dari para imam palsu dimataku!!!

Wahai Jiwa-jiwa para Pujangga, yang melihat kami dari surga Keabadian, kami berjalan menuju altar yg berhias mutiara-mutiara pikiran. Mencoba berpikir keras dengan akal-akal penyempurnaan, sebab kami ditindas oleh dentuman besi dan pabrik-pabrik. Syairku dirasa lebih berat dari muatan kereta api, dan mengganggu seperti bau limbah busuk!!

Kalian para pujangga abadi, maaf kan aku jika syairku menjadi debu yg mengotori kaki kalian...

Aku termasuk dalam dunia baru dimana manusia akan berlari setelah harta benda keduniawian.

Syairku ini adalah sebuah barang dagangan di pagi hari, bukan sebuah nafas kehidupan yang abadi.

Aku yang menentukan hari, kapan kamu akan mati...


Di siang yang cukup terik, botol air minum, kantung plastik bekas, dan debu menjadi sebagian dari aksesoris yang menghiasi tempat kuberpijak saat ini.
Hari ini matahari hanya mampu menghantam sebatas raga. Ya, aku berkeringat karenanya. Tapi jiwaku?
Gelap.....cahayanya tidak mampu menembus batinku walau secercahpun.
Aku tak dapat menemukan apapun disana, terlalu hitam....dan aku tidak berkeinginan untuk mencari putih.

Kini aku menerobos lalu lalang manusia dengan berbagai keperluan.
Aroma sampah dan daging mentah pun berbaur sempurna menusuk penciumanku.
Sambil menjinjing kantung plastik putih hasil belanjaku tadi, aku melewati toko keranjang, toko peralatan olah raga, hingga perlengkapan bayi. Di muka toko terakhir, aku memutuskan menghentikan langkah setelah mataku menangkap gerobak kayu berisi aneka ragam minuman. Di sisi kirinya kulihat gerobak yang menjual makanan kesukaanku sewaktu seragamku masih putih biru.

Ku tancapkan bokongku di kursi panjang di hadapan gerobak-gerobak itu yang juga terbuat dari kayu.

"Baksonya 1 bang, campur semua. Jangan pake seledri ya" kataku pada lelaki di gerobak berwarna biru.

"Teh botol 1 ya bang" kataku lagi pada gerobak disebelahnya.

Lalu akupun mencari posisi ternyaman untuk duduk sementara seorang ibu dengan keranjang berisi aneka bumbu dapur dan semilir bau ayam mentah berdiri, membayar makanannya tadi, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan, aku pun membuka tas abu-abu besar yang kuhimpitkan di ketiak sejak pagi. Aku memeriksa kembali kotak yang ada didalamnya.
Aaah...dia aman, dia masih disitu. Itu adalah kotak berharga, dimana dia menyimpan milikku sejak aku tiba di dunia. Hari ini adalah harinya, dimana aku juga yang akan menentukan nasibnya.

Aku pun melahap sesuap demi sesuap gumpalan daging yang kuragukan bahan dasarnya. Entah sapi, kucing, atau tikus, aku sudah tidak perduli. Rasanya persis seperti "aku" saat ini, hambar.
Setelah menyantapnya dan menyeruput teh botol itu sampai habis, aku berdiri untuk membayar segala yang sudah aku telan tadi. Tiba-tiba sebuah suara dibelakangku berbunyi

"Mbak, ini kain kavan buat apaan?" tanya seorang pria yang mengenakan jacket jeans, berkulit gelap dan bertopi. Usianya ku taksir sekitar 34 tahun. Aku tidak mengenalnya, dan aku tidak suka dia terlihat mengintip kantung plastik putih belanjaanku.

"Bukan urusan anda!" jawabku ketus, dan berlalu meninggalkannya.


*

Mataku yang diterpa semilir angin tetap mampu menangkap warna emas yang menggumpal di atas sana. Dia tidak pernah padam, belum juga padam sejak 1961. Tahun dimana dia diresmikan oleh pemimpin pertama bangsa ini. Dulu aku selalu bermimpi untuk naik ke puncaknya dan aku telah mewujudkannya hampir 1 tahun yang lalu. Kali ini aku datang bukan untuk itu, aku memiliki misi baru. Dan aku tidak ingin menunggu lama seperti waktu lalu.

"Udah bang, disini aja" kataku pada lelaki yang sudah membocengiku dari pasar Mayestik tadi. Setelah mengembalikan helm berwarna hitam kepadanya, aku pun melanjutkan perjalananku.

Ini dia, Monumen Nasional !

Aku selalu mencintai tempat ini, sejak dulu. Entah tamannya, auranya, atau emasnya seakan terus memanggilku. Aku suka menikmati angin sambil berkhayal di sini. Udaranya bersih untuk ukuran ibukota. Aku pasti akan menarik nafas dalam-dalam, jika mampu mungkin akan ku hirup seluruh udara yang ada disini tanpa sisa.

Ok waktunya langsung menuju tempat kejadian perkara. Instruksi otakku tampaknya langsung ditangkap dengan cepat oleh kedua kaki karena mereka kini berpacu hingga sampailah aku di hadapan Husni Thamrin. Seorang politikus Betawi yang dikenal santun. Negara ini mengabadikannya dalam bentuk patung dan diapun kini menjadi penghuni tetap area taman Monumen nasional.

Kini aku duduk di hadapannya, dan segera mengeluarkan kain dari kantung plastik putih yang kubeli siang tadi. Aku hamparkan setelah memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan.
Lalu sekarang aku mengambil kotak didalam tas besarku. Kotak yang selalu aku jaga sejak dulu.
Kupandangi dia sekali lagi sambil mengenang masa-masa saat aku masih memilikinya. Atau lebih tepat jika disebut aku "dimilikinya".

Aaaahhh...aku benci sekali bila harus mengingat hal itu. Begitu saja dia berkendak, maka apapun itu aku selalu saja menurutinya. Dan hari ini, akulah yang akan menentukan nasibnya!

Aku membukanya, dan dia......dia masih bergerak. Berlumuran darah dan masih berdetak.
Kucuri senyuman sabit yang seharusnya hanya terbit kala malam. Ini adalah saat dimana aku akan menerbangkan jutaan burung merpati yang masing-masing membawa batu beban di hidupku.
Kelima jemariku berkerja sama dengan sangat baik untuk mengangkatnya dari dalam kotak putih yang sekarang ternoda warna merah yang berbercak, lalu merebahkannya di atas kavan yang akan menyelimutinya hingga kiamat menjelang atau sampai ragaku melayang.

Kulipat rapih walaupun aku telah lupa bagaimana cara ber origami. Namun kupastikan gumpalan daging itu tidak akan kedinginan. Dia akan terus terhangatkan.
Waktunya menyingkap tanah tepat dibawah Thamrin berdiri. Aku mengkoreknya sendiri dengan kesepuluh jari. Setelah kupastikan cukup dalam, aku tidurkan onggokan yang telah berselimut kavan itu kedalam lalu kutimpa lagi dengan tanah-tanah sisa gerukan tadi.

*Aku melakukannya dengan hati-hati karena aku tidak mau dia mati, aku hanya ingin dia pergi...

Kini dia telah tergunduk rapi. Bersemayam di tempat yang selalu aku datangi meski aku sedang bermimpi. Tertunduk sunyi, tanpa mendengar lagi bisik-bisik nurani.
Saatnya tegak berdiri dan berjalan kembali.
Kuberikan senyum terakhir,

Selamat Tinggal HATI :)


*****

NB : Aku hanya tidak ingin melihat, mendengar, dan mengikuti. Saat ini aku cukup tau kamu masih berdetak. Tidak tau besok, atau nanti...

Saturday, May 8, 2010

Bertemu Hermesian!!


Teman-teman, tanggal 16 nanti datang ya semua ke Museum Mandiri. Hermesian ( sekelompok penulis muda ) akan mengisi slot acara selama 2 jam ( dari jam 1-3 ) Make sure u guys gonna b there :) Disana juga tersedia "ADRIANA" buku keluaran Lingkar Pena Mizan yang ditulis oleh Anggota hermesian (which is Me n Fajar Nugros) dan khusus tanggal 16 nanti, ADRIANA akan discount lhoooo.....soooo c u guys on 16 mei at Museum Mandiri :)

- Artasya Sudirman -

Selamat Datang :)


Hari ini begitu gelap.
Tidak hanya terpancar dari biasan langit yang menghitam, tapi juga dari emosi yang menggumpal. Keringat mengalir menuju pelipis tanpa sekaan hasil perjalanan 2 kaki dari pancoran hingga bundaran HI.
Melody langkahnya semakin cepat diiringi amarah mencekat. Angin malam yang meniup semilir tak membuat hatinya yang terlalu panas mereda, kedua kaki menghentak aspal-aspal kualitas 3 pada lahan ekor naga.

Kualitas 3?
Dimana kualitas 1 ?

Kualitas 1 sudah menjadi bahan export untuk diperdagangkan ke negara lain. Maka dari itu MAMPUSlah roda-roda kendaraan mewah di Jakarta yang terpaksa harus menerobos lubang-lubang sepanjang jalan!!

Kancing-kancing kemeja merah kotak-kotak buatan Bandung tak lagi terkait, membuat kaos dalam berwarna putih yang dibeli dari pasar tanah abang tak perlu mengintip dari kedua kancing teratas.
Langkahnya berhenti di depan kedua pasangan yang selalu menunjukan wajah bahagia…

“SIAPA YANG KALIAN SAMBUT???!!!”

Pasangan itu saling bertatapan lalu menoleh pada sosok pemuda 19 tahun yang merasa dewasa setelah mengantongi KTP selama 2 tahun

“KENAPA DIAM?? SIAPA YANG KALIAN SAMBUT DENGAN WAJAH BAHAGIA ITU?? PARA ATLET YANG BERTARUNG DENGAN KERJA KERAS DAN KERINGAT HINGGA INDONESIA MENDAPAT SEJARAH MEDALI EMAS TERBANYAK DITAHUN KALIAN DIBUAT PUN SUDAH DILUPAKAN WARGA SAAT INI. BUKAN TIDAK MUNGKIN MEREKA YANG BERKALUNG EMAS SAAT ITU KINI SEDANG TERLILIT HUTANG DAN TIDAK LAGI BISA MENGUYAH DAGING SAPI ATAU AYAM. UNTUK APALAGI KALIAN BERDIRI DIATAS SANA?TURUUUUUUNNN!!”

Nafasnya semakin tersenggal-senggal. Teriakannya menggema dibawah bilik awan yang menyaksikan kolam serapah laki-laki muda.

“Apa yang kau ingin kami lakukan apabila kami turun kebawah nak?”

Suara laki-laki diatas sana akhirnya membuat pemuda yang berjalan dari pancoran menuju bundaran HI tidak mengadakan perbincangan sepihak.

“Aku ingin kalian melihat anak-anak bernyayi tanpa alas kaki di samping kaca mobil-mobil mewah, aku ingin kalian melihat kaumku membunuh satu sama lain untuk bertahan hidup, aku ingin kalian melihat pemuda-pemuda meneguk minuman keras sambil merayu para pemudi untuk menemani tidur mereka 1 malam, aku ingin kalian melihat wanita-wanita cantik negri ini mempersembahkan tubuhnya pada laki-laki beristri demi materi, aku ingin kalian melihat pemimpin-pemimpin yang mengiba suara dan beralih muka saat berkuasa. Setelah itu aku ingin tau apakah kalian masih dapat mengatakan Selamat Datang dengan gembira.”

Kedua tangannya mengepal, membangunkan liku-liku urat syaraf

“Siapa namamu anak muda?”

laki-laki yang sekilas tampak mirip dengan mantan gubenur Jakarta dengan masa jabatan tersingkat (1964-1965) Henk Ngantung bertanya.

“Apa artinya sebuah nama rakyat kecil seperti saya yang hanya mengantungi ijazah Sekolah Menengah Atas karena harus mengakui Negara tempat saya berpijak adalah Negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia??”

“Tenang anak muda, tenang”
kali ini giliran wanita si pendamping laki-laki yang bersuara.

“TENANG?? KALIAN MINTA AKU TENANG?? Taukah kalian kalau disini jarang sekali dijumpai sekedar kursi-kursi pinggir jalan atau taman tempat duduk-duduk tenang? Bahkan kita tidak memiliki keran air minum gratis untuk menghapus dahaga para pejalan kaki yang keselamatannya terancam.

“Apa kau pernah berusaha untuk mencintai bangsamu?”

“Ha-ha-ha” tawanya meledek, “Kalian pikir kami bisa mencintai sejarah bangsa ini dengan melihat museum-museum yang tidak menawarkan eksibisi internasional? Tempat-tempat itu terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana…cuuuiih!”

“Lalu untuk apa kamu tinggal di tempat yang tidak kau cintai?”

“KARENA AKU STUCK DISINI, AKU TIDAK PUNYA PILIHAN LAIN. TAUKAH KALIAN BETAPA SUSAHNYA MENCARI LAHAN PEKERJAAN DI KOTA INI? DARIMANA AKU MENDAPAT UANG UNTUK HENGKANG DARI NEGRI YANG SEBENTAR LAGI HANCUR BERANTAKAN? MENGAPA NURDIN M TOP TIDAK MEMBUAT BOM DENGAN SKALA YANG LEBIH BESAR UNTUK MENGHANCURKAN NEGARA INI??AKU MUAK DENGAN PERNYATAAN : JANGAN TANYA APA YANG NEGARA INI SUDAH BERIKAN PADAMU TAPI APA YANG SUDAH KAMU BERIKAN UNTUK NEGARA INI. APA YANG BISA KUBERIKAN BILA AKU TIDAK MEMPUNYAI APAPUUUNN???”

“Kami melihat kau mempunyai kaki-kaki yang kuat untuk sampai kemari melewati Dirgantara dan Sudirman”

“YA, KEDUA PATUNG BODOH ITU. SEKARANG AKU HARUS MEMASUKAN KALIAN BERDUA KEDALAM DAFTAR PATUNG-PATUNG BODOH!!!!!.”

“Nak, Dirgantara tetap menunjuk cita-citanya ke bandara pertama yang dimiliki Indonesia, KEMAYORAN. Agar bangsa ini dapat terbang tinggi dan dilihat bangsa lain, dia tetap menunjuk cita-citanya meski kini bandara kemayoran sudah tidak ada. Tidakkah kaummu dapat melihat semangatnya saat mereka sedang merasa tidak lagi dapat melihat cita-citanya?”

Lelaki itu kini terdiam, bara api di dadanya mulai memadam walau belum mati…, diapun menolehkan kepalanya kea rah kiri…

“Lalu bagaimana dengan Sudirman? Untuk siapa dia memberi hormat? Bangsa inii??!!”
Katanya sambil menunjuk patung pemuda yang mendapat gelar Jendral pada usia 31 itu.

“Sudirman menghormat kepada mereka yang menghormati bangsanya nak!!”

Pemuda itu kini menitikan air mata, menjatuhkan kedua lututnya diatas aspal kualitas 3. Tangannya masih mengepal, keringat dan air mata bersenggama lalu ber ejakulasi kesadaran akan cintanya pada Negara…

“Lalu kalian, kepada siapa kalian mengucapkan Selamat Datang dan tersenyum?” tanyanya dalam isak..


“Kami mengucapkan Selamat Datang pada Rasa Cinta yang mulai tumbuh di dada kalian, dan kami tersenyum karena selalu percaya kalau rasa cinta itu tidak akan pernah binasa…”


***


SELAMAT DATANG….