Pages

Wednesday, March 18, 2015

Patah Hati Sebelum Bertemu



Hadirmu memang belum kami rencanakan, tapi bukan berarti tidak kami inginkan.
Taukah kamu, bagaimana wajah ayah saat melihat garis dua pada alat tes itu?

Senyumnya bahkan lebih rekah dari saat aku jawab iya ketika dia memintaku menjadi istrinya. Aku bahkan langsung sibuk berimaji, nama untuk kau sandang nanti.

Setiap hari kami mengajakmu berdiskusi seolah kamu telah hadir nyata diantara kami. Menerka-nerka jenis kelamin hingga hobby.

Kamu juga harus tau, photo hasil USG-mu juga selalu kami pandangi, berjanji akan selalu kami simpan dan cermati, walau ternyata itu hanya berlangsung dua kali.

Pendarahan pertamaku, adalah saat dimana jantungku seperti berhenti. Tapi aku lebih takut jantungmu yang tidak berdetak lagi.
Ayahmu membawaku pada beberapa dokter, dan kami memutuskan bersama dia yang setuju kau dipertahankan.

Semenjak aku merebah dirumah sakit kala itu, setiap saat aku memohon padamu untuk jangan pergi. Karena aku telah jatuh cinta padamu setengah mati.

Dua hari berlalu, pendarahan tidak juga berhenti, hingga dihari ketiga, dokter mengajakku bicara, kalau sesungguhnya kamu sudah tidak ada.

Kalau kamu ingin tau perasaanku saat itu, jawabannya hanya satu, aku ingin ikut kamu. Sudah, hanya itu.
Tapi ayahmu menguatkan aku, begitu juga kedua omamu, dan seluruh kerabatmu.

Saat kau dikeluarkan dari tubuhku,
aku seperti gelap sebelum malam. Mendengar suara bayi dari tetangga kamar, seperti belati yang dihunus tiap penjuru.



Iya, aku patah hati sebelum bertemu.




Nak, jangan pernah beranggapan kau kami lupakan. Karena kamu selalu akan menjadi sulung bagi keluarga kami. Doa kami selalu untukmu, karena kami tau itu yang kau mau.

Dan bila jiwamu sudi, pulanglah ke rahim ibu, karena siapa tau, kali ini kau akan menjadi adik bagi adikmu.

******