Pages

Friday, August 3, 2012

Istiqlal dan Katedral

Hari ini saya hanya ingin berbagi, sebuah perasaan yang saya kira namanya "sedih".
Bukan tentang saya, tapi tentang dua orang yang sesungguhnya sangat saya sayangi. Kedua sahabat saya yang harus berpisah, hanya karena mereka memanggil Tuhan dengan cara berbeda.

Klise, mungkin itu yang banyak orang katakan tentang kasus ini. Jika memang kalian mau lebih dalam menyikapi, hal ini adalah suatu masalah dalam kdalaman hati. Saat masing-masing sanggup memberikan hati, masa depan, rasa, segalanya. Satu-satunya yang tidak sanggup mereka berikan adalah Tuhan-nya. 

Saya melihat keterpurukan dikeduanya. Kehancuran dimata mereka, dimana saat datang dua ruang yang tidak bisa dimasuki hanya dengan satu kaki, dan masing-masing dari mereka diminta untuk memilih. Manusia memang terlalu kompleks. Kita tidak mampu saling berdiri tegak, mengindahkan masing-masing kepercayaan, tanpa saling mengganggu, walau saya tau kita bukan batu. 

Kita bukan Istiqlal dan Katedral, yang ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Jika mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka berdua saling jatuh cinta?
masing-masing dar mereka begitu indah, setidaknya selama lebih kurang puluhan tahun bersanding, pasti ada saling puji diantara mereka. Mungkin terjadi saat malam hari, saat semua orang sedang sibuk bermimpi.

Mereka mungkin saling menangis, saat tau masing-masing dari penghuni bersiteru. Saling menghakimi dan merasa paling benar. Padahal keindahan dari masing-masing kepercayaan tidak ada yang salah.

Saya mungkin hanya sedang terlalu sentimentil, sehingga apa yang saya lihat dari mereka begitu mengganggu sanubari saya. Mereka berdua sebenarnya terlalu indah, tapi tau apa saya tentang keindahan, jika diantara mereka kadang seperti neraka paling dasar, saat saling beradu tentang kepercayaan. hal yang sebenarnya adalah urusan manusia dengan Tuhan. 

Sepertinya benar, saya hanya sedang terlalu sentimentil.

Sunday, July 29, 2012

Sampah digantungan ranjang.

Cerpen ini terinspirasi dari lagu "cobalah mengerti" Peterpan feat Momo #cerpenpeterpan

 Saat ini matahari sedang tertidur, langit gelap sekali. Jalanan ini terlalu sempit untuk dua motor dan seorang pejalan kaki, mungkin karena itu juga langkahku menuju pulang agak terhambat. Sepatuku sudah kenyang dengan air hasil semprotan ban kendaraan roda dua yang melewati genangan air dilubang jalan. Angkasa tadi habis menangis, atau hanya aku dadanya terisak. Selama kaki-kakiku melangkah, dikepalaku hanya terbayang dimana lagi kami harus tinggal. Kehilangan pekerjaan memang bukan barang baru untukku, tapi kali ini bukan lagi tentang aku. Ini tentang sosok yang aku cinta, tidak hanya dengan kepala, tapi juga jiwa. Apa yang harus aku katakan jika kami lagi-lagi harus pergi dari tempat yang dua tahun ini sudah kami sebut "rumah"? Aku mengerti, kau sudah lelah kalau harus terus berpindah. Aku juga tau sudah terlalu banyak mimpimu yang aku ganggu. Aku hanya belum menemukan cara, bagaimana agar kau bahagia.

 "Aku tak kan pernah berhenti. Akan terus memahami. Masih Harus berpikir. Bila harus memaksa. Atau berdarah untukmu. Apapun itu asalkan kau coba menerimaku"

 Aku tidak pernah bosan memandanginya, sejak suara tangisannya membahana disela sesakku sebelumnya. Dia telah mengajarkan aku mengabaikan sakit, sejak tiba di dunia. Saat dia menangis dikedua lenganku, aku tau dia mendekap kalbuku lebih erat dari segala perekat.
Hujan turun lagi, semakin deras. Datang begitu tiba-tiba. Seperti engkau yang mungkin tidak pernah kurencanakan kedatangannya.

 Aku ingat mata ayahmu yang membelalak saat kuberikan sebatang alat tes berwarna putih dengan garis dua. Dia langsung memegangi kepalanya, menendang pintu kamar kos-nya. Aku yang kala itu belum genap dua puluh tahun hanya bisa menangis. Entah apa kalimat yang akan aku lontarkan pada nenek kakekmu. Aku ingat saat kami, orangtuamu akhirnya memutuskan pergi dari rumah masing-masing untuk mengagungkan cinta hanya berdua, sambil membawamu didalam perutku yang semakin membesar. Ayahmu yang awalnya sangat menyayangi aku, mulai berubah setiap kutanyakan soal tagihan kamar kost. Aku masih ingat jelas rasa nasi sisa kamar tetangga.

 Hari itu sepertinya kau sedang meraung-raung didalam perut, seperti menendang-nendang lambung. Aku tidak memberimu makan semalaman, dan ayahmu tidak pulang. Bungkusan coklat didepan kamar sebelah kiri kami rasanya sulit tak kuberi hirau. Hari itu kuberikan kau makanan yang tak layak. Aku tidak mengkonsumsi susu ibu mengandung, bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena lebam disekujur tubuhku, tiap aku menyebut kata rupiah ditelinga ayahmu.

 "Dan kamu hanya perlu terima. Dan tak harus memahami. Dan tak harus berpikir. Hanya perlu mengerti. Aku bernafas untukmu. Jadi tetaplah disini. Dan coba menerimaku"

 Sekarang tubuhku basah. Aku sendirian, memegangi kantung berisi bakwan dan beberapa jenis gorengan. Aku tau kau lebih suka pisang molen, tapi tadi tampaknya aku kehabisan. Maaf nak, aku mungkin tidak pantas disebut ibu. Seluruh tubuhku penuh dengan tangan laki-laki yang bahkan tak kutau namanya. Yang aku tau, kamu selalu menangis saat teman-temanmu membicarakan aku, atau pekerjaanku. Aku mungkin telah salah menggunakan senyum yang kau ajarkan. Aku mengaplikasikannya kepada seluruh tamu yang datang, berharap mereka memberikan kepingan-kepingan uang, agar kau bisa merasakan susu yang tidak pernah mampu keberikan dulu.

 Hujan sudah mulai reda, aku kembali menuju pulang, menuju engkau yang sebelumnya aku lihat diingatan. Kau memiliki alis yang sama dengan ayahmu, tebal. Alisku tipis, jelas kau jauh lebih cantik. Ayahmu pasti akan sangat terkejut jika melihatmu, walau aku pernah berharap kalian lebih baik tidak pernah bertemu.

 Pintu kayu ini rasanya sudah menjadi sisa rayap. Perlu teknik khusus untuk membukanya, tidak semua orang bisa, hanya aku, dan dia. Meja kayu bundar dengan taplak kotak2 yang semakin menguning itu terisi piring kosong. Ada sisa kuah kaldu disana, aku tersenyum. Setidaknya aku tau, perutmu sudah terisi. Dan dengan alphanya cahaya lampu, aku juga tau kau telah terlelap. Ini pukul empat pagi. Setelah jacket hitam ini kuletakkan di kursi plastik putih, aku mengambil gelas, memberikan hujan pada kerongkongan, hingga aku melewati ruang dengan penutup kain kuning muda. Kusibakkan mereka hingga aku lihat jelas kamu. Kamu yang tangisannya bisa menusuk lambungku, kamu yang tawanya mampu membuatku percaya kehadiran surga didunia, kamu yang kucintai sampai nadi. Kamu... Kamu tergantung dengan tali mengalungi lehermu. Kakimu tidak lagi menginjak tanah. Aku yang kehilangan udara, berteriak sekuat tenaga, lingkunganku gelap seketika.

 "Cobalah mengerti. Semua ini mencari arti. Selamanya takkan berhenti. Inginkan rasakan. Rindu ini menjadi satu. Biar waktu yang memisahkan."

Tuesday, June 12, 2012

Perjalanan Mimpi

Bagaimana jika mimpi yang biasa ditemui saat menutup mata, sekarang justru menghampar ketika mata terbuka? Segala letupan rasa yang tidak mungkin mampu saya ucapkan, tapi rasanya terlalu egois untuk disimpan. Mungkin sekedar berbagi pengalaman, atas apa yang sebenernya semua orang mampu lakukan.

*

Saya adalah pencinta tokoh Marie Antoinette dan entah kenapa rasanya jantung saya selalu berdetak lebih cepat ketika membaca kisah hidupnya. Dan betapa saya ingin menginjakkan kaki di tanah kelahiran beliau, Austria dan juga tempatnya kehilangan nyawa, Perancis. Dua negara itu adalah trmpat yang selalu saya impikan. Benua Eropa adalah dongeng yang menurut saya terlalu indah. Saya hanya membacanya lewat cerita atau buku-buku. Dongeng Anderson pun sepertinya banyak mengambil latar belakang Eropa. Saat duduk dikelas enam SD rasanya masih terlalu kecil untuk merengek menghampiri dua Negara impian saya itu. Walaupun rasanya Jerman dan Belanda sudah tinggal sejengkal (jengkal Dinosaurus?) dari Perancis dan Austria. Namun saat itu kunjungan keluarga kami ke Eropa adalah untuk pengobatan adik saya yang Tuna Rungu. Jadi rasanya untuk adegan menangis paksa orangtua ke dua negara tersebut rasanya tidak mungkin. Jadi sementara mimpi itu tertunda. ingat, TERTUNDA. Jadi suatu hari, saya akan menuju kesana. Pasti. Waktu terus bertambah seiring dengan Jakarta yang semakin sesak. Dan saya lebih suka membuat kebisingan sendiri dengan buku-buku yang ceritanya bisa menyesaki kepala. Buku-buku tersebut menjadi seperti naskah, mata adalah kamera, dan kepala seperti dipenuhi lakon-lakon titisan atas apa yang saya baca. Seringkali kaca dikamar menjadi partner untuk sekedar menemani saya membaca puisi atau dialog-dialog cerita dari buku-buku tersebut. Kisah Mahabrata yang saya gilai sejak kecil juga sering menjadi cikal bakal permainan dialog solo dihapan cermin. Kamar saya, panggung saya.

*

Tahun 2003, saya tercatat menjadi mahasiswa jurusan psikologi Universitas Paramadina. Pada suatu sore, seorang teman seangkatan saya dengan jurusan filsafat sedang bercerita tentang teater yang sedang diikutinya. Seperti dihipnotis, saat itu juga saya langsung menyeletuk "Bagaimana cara mendaftar di teatermu? Aku mau ikut". Gayung bersambut, mahasiswa filsafat bernama mario itupun menyebut satu tempat "Bulungan". "Iya, Bulungan dimananya? GOR?" tanya saya. "Bukan, disamping wapres". Tidak ada bayangan tempat sama sekali dibenak saya. setau saya, bulungan itu SMU 70, dan GOR adalah gelanggang olahraga karena beberapa kali saat SMU, sekolah saya mengikuti kejuaraan basket disana. Atas penjelasan Mario yang menurut saya singkat, padat, dan tidak jelas itu, akhirnya saya membulatkan tekad untuk mendatangi tempat yang masih samar-samar tersebut.

Sesampainya dirumah, saya dengan antusias bercerita kepada mama "Mam, aku mau ikut teater. Besok aku mau daftar?". Sebelumnya, orangtua saya sama sekali tidak ada yang berlatar belakang seni, jadi saat pernyataan itu saya kelakarkan, mama saya hanya menaikan alis kirinya, dibarengi dengan dua huruf : H dan A, dibaca = HA?

Karena tampang yang pasang malam itu cukup serius, akhirnya mama mengiyakan dengan syarat "Tapi mama yang anter ya". Dan saya hanya menganggukkan kepala saat itu. Keesokan harinya, dikampus sewaktu matahari sedang lucu-lucunya (baca : panas banget) Mario ternyata tidak saya temukan batang hidungnya dikampus. Ponselnyapun berkali dihubungi hanya dijawab oleh mesin bersuara wanita atau wanita bersuara mesin. Berhubung saya kadung bilang mama nanti malam akan diantar ke bulungan jadi show must go on.

Sepulang dari kampus pada waktu sore, kami menanti pukul 7 tiba di kediaman nenek saya didaerah wijaya. Pukul setengah tujuh saya mulai memberika kode-kode kepada mama yang sedang asik mengobrol bersama tante-tante saya yang lain. Setelah ribuan kode saya layangkan, akhirnya mama sadar juga setelah kode yang entah sudah keberapa juta. "Kak, yang mana tempatnya?" tanya mama yang saat itu mengemudi. "Gak tau, sebelahnya itu kali" jawab saya sambil menunjuk GOR basket bulungan.

Sejauh mata memandang kok ya gak ada penampakan anak-anak teater. Akhirnya kami memutuskan bertanya pada seorang lelaki dibalik sebuah gerobak minuman "Mas, wapres dimana ya?". "Ooh, wapres mah disebelah neng. pas disebelah gedung ini. Parkir sini aja". Akhirnya kami menurut, memarkir mobil di GOR bulungan, lalu berjalan kaki mengikuti arah telunjuk lelaki tadi. Perjalanan kaki kami menuju wapres melewati banyak rupa yang belum pernah saya lihat sebelumnya (maklum, saya katro berat) dari mulai lelaki dengan cincin yang disematkan diantara ramnbut gimbalnya, lelaki gondrong berkeliaran dimana-mana, sampai orang bertato dengan tindikan mungkin lebih dari lima di satu telinga. Mama cuma berbisik "kak, yakin kak?" sedangkan saya malah senyum-senyum sendiri dalam hati "Waaah, tempat ini keren sekaliii".

 Sejak keluar pintu gerbang GOR dengan berjalan kaki menuju wapres, mulai terdengar alunan gitar dan drum menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya (Saya pendengar setia radio) jadi saya pikir "waaa itu pasti lagu karangan mereka sendiri, keren!). Sekali lagi kami bertemu dengan seorang penjual minuman tepat didepan gerbang bangunan setelah GOR "Mas, bulungan tempat teater dimana ya?" tanya saya dengan lebih jelas. Dan sang penjual minuman itupun mengeluarkan ibu jarinya kearah dalam gerbang "tuh". dan sayapun berhambur masuk, meninggalkan sedikit langkah mama yang memstung.

*

Sebuah meja kecil menghampar. Kenapa kecil? meja itu berukuran sekitar 2x 2 meter dengan tinggi tidak lebih dari 80 cm. kursi-kursi mungil pun melingkari meja itu. mama yang mematung membuat saya harus segera mengambil keputusan langkah apa yang harus saya amnbil, hingga akhirnya saya memutuskan menjejakan kaki saya kearah kumpulan orang-orang yang sedang melingkari meja tersebut 'Permisi, apa benar disini tempat latihan taater?". Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan rambut setengah memutih memegang cangkir mungil mendongak "Kamu cari siapa?" saya mendadak bingung juga "Cari siapa? Cari tempat latian teater sih mas. Saya dikasih tau temen saya namanya Mario." Tiba-tiba dia menjawab 'Oh mariooo, kamu siapa?" saya buru-buru menjulurkan tangan "TAsya mas, saya mau ikut teater" dia lalu tersenyum sambil menyeruput tehnya "Teater apa? disini banyak lho teater" dan saya yang berdiri mati gaya akhirnya berkata "Apa aja mas. Mas kenal mario?". "kenallah, bentar lagi juga orangnya dateng" kemudian mama mendekat, ikut memperkenalkan diri, lelaki setengah tua itu menyebut namanya : Aji.

Tuesday, March 13, 2012

Rusak


Suatu malam, sebuah kotak musik yang terbuka. Sebilah boneka cantik dengan gaun berwarna gading melekat di tubuhnya dengan sempurna. Dia begitu cantik, berputar dengan satu kaki terangkat. Rambutnya diikat keatas, menambah keindahan lehernya yang jenjang. Siapapun akan terpikat. Dia terus berputar, dipandangi puluhan pasang mata yang memandang kagum.

Pengemudi-pengemudi Lego tak mampu mengalihkan mata, segala macam action figure pun bependapat sama. Dalam kamar bernuansa biru dan abu-abu, dialah sang maha cantik yang selalu mempesona. Berputar tanpa lelah dengan senyum yang selalu menghiasi wajah. Namun kedua bola matanya belum pernah lelah, memandangi satu sosok pemilik ruangan itu. Seseorang yang dengan ukuran tubuh puluhan bahkan ratusan kali lipat darinya.

Masih lekat di ingatannya, saat ibunda Edward pertama kali membelinya dari suatu toko mainan terbesar dikota itu untuk putra pertama dan semata wayangnya. Si cantik itu selalu setia bernyanyi dan menari, mengiri lelaki yang kala itu masih berupa bongkahan daging mungil hingga kini, beranjak menjadi pemuda yang begitu ia puja.

Pandangan di berbagai sudut dari puluhan pasang mata yang juga merupakan koleksi Edward tak digubrisnya. Kedua penglihatannya hanya tetuju pada seorang pemuda yang memiliki jiwa, dimana dia masih belum sadar jua. Mereka berbeda. Si cantik ini adalah idola, yang tidak mengindahkan sekelilingnya. Dia hanya begitu buta, pada sosok yang amat dia cinta.

*

Suatu malam, Edward pulang dengan mimik yang tidak biasa. Wajahnya lebih cerah dari langit biru yang dicumbui awan putih, matanya lebih terang daripada matahari yang selalu menyapanya tiap pagi. Seluruh penghuni kamar itu bertanya. Apa yang terjadi pada bos kesayangan mereka.

Si cantik merasakan hal yang sama, sesuatu telah terjadi pada Edward. Meski hari itu lelaki pujaan tersebut tidak lupa untuk menatap dan memutar tongkang dibawah kakinya agar si cantik ini benyanyi dan menari, namun tetap, kali ini pandangannya berbeda. Si cantik menari sambil bertanya-tanya. Matanya tidak lepas dari lelaki yang tersenyum dalam lelap.

Sudah lebih dari sepekan, Edward tidak seperti biasa. Waktu bermain bersama para koleksinya semakin sedikit. Laki laki yang beranjak dewasa itu kini jarang ada dirumah. Setelah menyisir dan tersenyum didepan kaca, Edward biasanya bergegas pergi. Dan sudah berapa hari ini, Edward tidak lagi memintanya bernyanyi. Jam pulangnya yang terlalu larut, membuat Edward tidak lagi sempat menyapa si cantik yang berdiri diatas meja pada sisi kanan tempat tidurnya. Si cantik kini begitu lesu. Tiga hari ini dia hanya terbujur kaku.

Para penghuni ruangan itu merasakan apa yang tejadi pada si cantik. Mereka berusaha menghibur dengan segala bentuk lelucon yang mana semua gagal menciptakan senyum dibibirnya.

Pada suatu siang, tidak seperti biasa, Edward pulang lebih awal. Seluruh penghuni kamarnya merasa janggal, begitu juga si cantik. Pria tesebut dengan tergega-gesa merapikan beberapa koleksi dan baju tidurnya yang berserakan, lalu kembali berlari keluar kamar. Si cantik, sekumpulan lego, para action figure saling bertatapan heran. Tak lama setelah itu, pintu kembali terbuka "Kamarku agak berantakan gapapa ya?". Suara Edwin terdengar lebih jelas setalah kaki-kakinya melangkah masuk, namun setelah itu sepasang kaki cantik milik seorang perempuan berambut pirang turut hadir "Waw, kamarmu nyaman sekali". Mereka kemudian masuk dalam kamar tesebut.
sang wanita tampaknya begitu tepesona dengan koleksi-koleksi Edward. Dipandangi bekali-kali para action figure di setiap sudut ruangan tersebut. Tampak master yoda yang sebenarnya salah tingkah karena kedatangan tamu asing yang tak segan meraba-raba dirinya.

Si cantik yang masih tertegun dengan kehadiran perempuan tesebut berusaha menahan rasa yang bekecamuk didadanya. Hingga akhirnya, wanita tersebut berlari menghampiri dirinya "Edward, action figure apa ini? Cantik sekali!" katanya sambil memandangi boneka penari tersebut. Edward kemudian mendekat "itu kotak musik kesayanganku. Aku harus memutarnya setiap malam agar bisa tetidur". Jawabnya sambil mengangkat si cantik, memutar skrupnya, memintanya bernyanyi dan menari. Melenggoklah si cantik setelah sekian lama tubuhnya kaku dan tak lagi tejamah tangan Edward. Wanita disamping pujaannya itu kini menatap kagum, memandangi si cantik yang menari. Hingga saat sicantik dan perempuan itu berhadapan, Edward mendaratkan bibirnya di bibir si wanita yang sedang terpana oleh tarian si cantik. Siang itu adalah suatu kenyataan yang harus si cantik terima, menari dan bernyanyi, mengiringi kekasih pujaan bercinta, dengan wanita yang bukan dirinya.

Hari itu matahari seperti bersekutu dengan udara. Mereka menghilang untuk membunuh mata dan nafas si cantik. Begitu gelap dan sesak, tariannya menggejolak, tangisannya tak tedengar.

Sejak kejadian siang itu, si cantik merasa sebagian dirinya sudah mati. Dia tidak lagi menari, apalagi benyanyi. Tubuhnya seperti tebujur kaku. Edward tak lagi menyapanya, dia terlalu sibuk dengan kekasih barunya. Para action figure dan anggota lego pun kini kehilangan kata-kata. Melihat si cantik yang semakin lama semakin kuyu.
Kotak musik yang dipijaknya kini sesak oleh debu, tidak ada lagi tangan yang mengusapnya. Dia begitu rapuh, tidak lagi ada senyum, apalagi kata-kata.
Waktu berlalu, Edward kini akan pergi, meninggalkan rumah untuk melanjutkan perguruan tinggi di kota lain.

Lelaki itu duduk seorang diri diatas tempat tidur, memandangi seluruh koleksinya semenjak kecil, bernostalgia dengan ingatannya. Diangkatnya si cantik, dia kembali memutar skrup dibawah kakinya. Kali ini, si cantik tak lagi bernyanyi. Edward yang sempat bingung meniup-niup bagian bawah kotak musik tersebut, namun tetap, si cantik tak lagi bersuara, apalagi menari. Mimik Edward berubah sedih, namun suara dari luar kamar memecah hening dikamarnya "Edward, semua sudah siap dimobil. Jangan sampai ketinggalan kereta!". Edwardpun bersiap. Meletakkan sicantik kembali diatas meja kamarnya.

"Aku rusak".

Friday, January 20, 2012

Hujan di Januari

Hujan di bulan Januari itu aku.
Bersikeras menjatuhi kamu yang kini menanti cahaya.

Lalu aku marah. Menyusup di gumpalan awan, membuatnya hitam.
Kemudian menciptakan kilatan-kilatan serta halilintar, membanjiri kamu dengan tangisan.

Hujan di bulan Januari itu aku.
Tak diharapkan lagi datang, tapi tetap tegas menantang.

Aku terlalu takut kamu beyemu sinar, yang akan membawamu pada panas berkepanjangan.
Dan aku menggelegar, sampai khatulistiwa di nadimu terbakar.

Hujan di bulan Januari itu aku, yang merajuk karena cemburu.
Rasa yang turun rintik-rintik didadaku, menjelma deras saat kamu tetap membatu.

Jika kau lihat hujan deras diluar sana, itu adalah rinduku yang tak kau tengok kala gerimis..