Pages

Tuesday, June 12, 2012

Perjalanan Mimpi

Bagaimana jika mimpi yang biasa ditemui saat menutup mata, sekarang justru menghampar ketika mata terbuka? Segala letupan rasa yang tidak mungkin mampu saya ucapkan, tapi rasanya terlalu egois untuk disimpan. Mungkin sekedar berbagi pengalaman, atas apa yang sebenernya semua orang mampu lakukan.

*

Saya adalah pencinta tokoh Marie Antoinette dan entah kenapa rasanya jantung saya selalu berdetak lebih cepat ketika membaca kisah hidupnya. Dan betapa saya ingin menginjakkan kaki di tanah kelahiran beliau, Austria dan juga tempatnya kehilangan nyawa, Perancis. Dua negara itu adalah trmpat yang selalu saya impikan. Benua Eropa adalah dongeng yang menurut saya terlalu indah. Saya hanya membacanya lewat cerita atau buku-buku. Dongeng Anderson pun sepertinya banyak mengambil latar belakang Eropa. Saat duduk dikelas enam SD rasanya masih terlalu kecil untuk merengek menghampiri dua Negara impian saya itu. Walaupun rasanya Jerman dan Belanda sudah tinggal sejengkal (jengkal Dinosaurus?) dari Perancis dan Austria. Namun saat itu kunjungan keluarga kami ke Eropa adalah untuk pengobatan adik saya yang Tuna Rungu. Jadi rasanya untuk adegan menangis paksa orangtua ke dua negara tersebut rasanya tidak mungkin. Jadi sementara mimpi itu tertunda. ingat, TERTUNDA. Jadi suatu hari, saya akan menuju kesana. Pasti. Waktu terus bertambah seiring dengan Jakarta yang semakin sesak. Dan saya lebih suka membuat kebisingan sendiri dengan buku-buku yang ceritanya bisa menyesaki kepala. Buku-buku tersebut menjadi seperti naskah, mata adalah kamera, dan kepala seperti dipenuhi lakon-lakon titisan atas apa yang saya baca. Seringkali kaca dikamar menjadi partner untuk sekedar menemani saya membaca puisi atau dialog-dialog cerita dari buku-buku tersebut. Kisah Mahabrata yang saya gilai sejak kecil juga sering menjadi cikal bakal permainan dialog solo dihapan cermin. Kamar saya, panggung saya.

*

Tahun 2003, saya tercatat menjadi mahasiswa jurusan psikologi Universitas Paramadina. Pada suatu sore, seorang teman seangkatan saya dengan jurusan filsafat sedang bercerita tentang teater yang sedang diikutinya. Seperti dihipnotis, saat itu juga saya langsung menyeletuk "Bagaimana cara mendaftar di teatermu? Aku mau ikut". Gayung bersambut, mahasiswa filsafat bernama mario itupun menyebut satu tempat "Bulungan". "Iya, Bulungan dimananya? GOR?" tanya saya. "Bukan, disamping wapres". Tidak ada bayangan tempat sama sekali dibenak saya. setau saya, bulungan itu SMU 70, dan GOR adalah gelanggang olahraga karena beberapa kali saat SMU, sekolah saya mengikuti kejuaraan basket disana. Atas penjelasan Mario yang menurut saya singkat, padat, dan tidak jelas itu, akhirnya saya membulatkan tekad untuk mendatangi tempat yang masih samar-samar tersebut.

Sesampainya dirumah, saya dengan antusias bercerita kepada mama "Mam, aku mau ikut teater. Besok aku mau daftar?". Sebelumnya, orangtua saya sama sekali tidak ada yang berlatar belakang seni, jadi saat pernyataan itu saya kelakarkan, mama saya hanya menaikan alis kirinya, dibarengi dengan dua huruf : H dan A, dibaca = HA?

Karena tampang yang pasang malam itu cukup serius, akhirnya mama mengiyakan dengan syarat "Tapi mama yang anter ya". Dan saya hanya menganggukkan kepala saat itu. Keesokan harinya, dikampus sewaktu matahari sedang lucu-lucunya (baca : panas banget) Mario ternyata tidak saya temukan batang hidungnya dikampus. Ponselnyapun berkali dihubungi hanya dijawab oleh mesin bersuara wanita atau wanita bersuara mesin. Berhubung saya kadung bilang mama nanti malam akan diantar ke bulungan jadi show must go on.

Sepulang dari kampus pada waktu sore, kami menanti pukul 7 tiba di kediaman nenek saya didaerah wijaya. Pukul setengah tujuh saya mulai memberika kode-kode kepada mama yang sedang asik mengobrol bersama tante-tante saya yang lain. Setelah ribuan kode saya layangkan, akhirnya mama sadar juga setelah kode yang entah sudah keberapa juta. "Kak, yang mana tempatnya?" tanya mama yang saat itu mengemudi. "Gak tau, sebelahnya itu kali" jawab saya sambil menunjuk GOR basket bulungan.

Sejauh mata memandang kok ya gak ada penampakan anak-anak teater. Akhirnya kami memutuskan bertanya pada seorang lelaki dibalik sebuah gerobak minuman "Mas, wapres dimana ya?". "Ooh, wapres mah disebelah neng. pas disebelah gedung ini. Parkir sini aja". Akhirnya kami menurut, memarkir mobil di GOR bulungan, lalu berjalan kaki mengikuti arah telunjuk lelaki tadi. Perjalanan kaki kami menuju wapres melewati banyak rupa yang belum pernah saya lihat sebelumnya (maklum, saya katro berat) dari mulai lelaki dengan cincin yang disematkan diantara ramnbut gimbalnya, lelaki gondrong berkeliaran dimana-mana, sampai orang bertato dengan tindikan mungkin lebih dari lima di satu telinga. Mama cuma berbisik "kak, yakin kak?" sedangkan saya malah senyum-senyum sendiri dalam hati "Waaah, tempat ini keren sekaliii".

 Sejak keluar pintu gerbang GOR dengan berjalan kaki menuju wapres, mulai terdengar alunan gitar dan drum menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya (Saya pendengar setia radio) jadi saya pikir "waaa itu pasti lagu karangan mereka sendiri, keren!). Sekali lagi kami bertemu dengan seorang penjual minuman tepat didepan gerbang bangunan setelah GOR "Mas, bulungan tempat teater dimana ya?" tanya saya dengan lebih jelas. Dan sang penjual minuman itupun mengeluarkan ibu jarinya kearah dalam gerbang "tuh". dan sayapun berhambur masuk, meninggalkan sedikit langkah mama yang memstung.

*

Sebuah meja kecil menghampar. Kenapa kecil? meja itu berukuran sekitar 2x 2 meter dengan tinggi tidak lebih dari 80 cm. kursi-kursi mungil pun melingkari meja itu. mama yang mematung membuat saya harus segera mengambil keputusan langkah apa yang harus saya amnbil, hingga akhirnya saya memutuskan menjejakan kaki saya kearah kumpulan orang-orang yang sedang melingkari meja tersebut 'Permisi, apa benar disini tempat latihan taater?". Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan rambut setengah memutih memegang cangkir mungil mendongak "Kamu cari siapa?" saya mendadak bingung juga "Cari siapa? Cari tempat latian teater sih mas. Saya dikasih tau temen saya namanya Mario." Tiba-tiba dia menjawab 'Oh mariooo, kamu siapa?" saya buru-buru menjulurkan tangan "TAsya mas, saya mau ikut teater" dia lalu tersenyum sambil menyeruput tehnya "Teater apa? disini banyak lho teater" dan saya yang berdiri mati gaya akhirnya berkata "Apa aja mas. Mas kenal mario?". "kenallah, bentar lagi juga orangnya dateng" kemudian mama mendekat, ikut memperkenalkan diri, lelaki setengah tua itu menyebut namanya : Aji.