Pages

Wednesday, August 10, 2016

Pekatnya Persinggahan

Kamu pernah bertemu suatu tempat untuk pertama kalinya, tapi tak merasa asing disana?

Aku pernah..

*

Lima puluh tiga menit lagi pesawat ini akan mendarat. Bokongku sudah bosan pada bangku yang memaku selama lima belas jam ini. Mereka persis seperti pasangan yang menunggu gusar dimeja hijau, menanti ketuk palu hakim untuk mengucap selamat tinggal. Tapi lima puluh menit, bisalah hal ini aku tangani, sudah kulalui belasan jam, apalah arti puluhan menit.

Mataku masih berkunang, entah dimana kacamata ku sisipkan. Minus dua memaksaku memicing ketika kupandang lagi layar dihadapanku,


1 Hours 30 Minutes


Bukannya semakin mendekat, tapi ini justru menjauh. Pikiranku yang belum mampu diajak bekerja sama ini bingung, dia masih nyaman berdekatan dengan rasa kantuk. Persis seperti pria paruh baya disampingku, masih terlelap seperti bayi diiringi suara tenggorokan yang menandakan tidur lelapnya. Tak kulihat awak pesawat yang bisa kumintai keterangan. Aku semakin risau, lagi-lagi bokong dan kursi pesawat beradu, gelisah seperti menunggu hakim yang sedang kekamar kecil.

Sampai akhirnya lima bangku didepanku menoleh, posisi duduknya bersebrangan denganku sehingga kami mudah bertatapan. Aku lihat rautnya bingung, sama seperti rautku, lalu wanita jenjang berseragam yang kunanti akhirnya lewat. Belum sempat tanganku teracung diudara, laki-laki yang baru saja bertatapan denganku sudah memanggilnya terlebih dahulu. Aku kalah cepat, posisinya lebih menguntungkan. Aku sulit membaca bibir pramugari tersebut karena yang kulihat hanya wajah samar yang sibuk menggeleng. Kemudian perempuan berambut pirang itu kembali ketempatnya tanpa melewati kursiku.


*


"Maaf, tadi pramugarinya bilang
 apa ya? Kayanya kok waktu mendarat kita semakin mundur" tanyaku pada lelaki berambut cepak itu. Alangkah lega karena laki-laki ini berasal dari Indonesia. Aku lihat pula, tiga pria disampingnya masih terlelap dan juga dari asal negara yang sama.

"Pramugarinya gak bisa jawab, katanya tunggu pengumuman kapten" jawabnya sambil mendongak. Posisiku berdiri tepat disamping kursinya. Aku menghampiri sekalian mencoba memberi jarak pada bokongku dan kursi pesawat, mereka sudah tak bisa disatukan lagi.

"Oh, ok terima kasih" jawabku padanya sambil kembali menuju bangku.

Aku kembali duduk, memaksa dua pasangan yang sedang menunggu perceraian itu bertemu, hingga akhirnya datang pengumuman. Suara kapten yang kurasa tidak cukup jelas itu mengabarkan, bahwasannya pesawat yang kami tumpangi ini tidak diperkenankan mendarat di Bandara Turki dengan alasan isu politik, singkat kata, airport telah dikudeta militer.


APAAAA~~


Matilah aku, semakin berkunang-kunanglah kepalaku, lunglai sudah semua tubuhku. Dalam hati aku mengutuk kelabilanku yang memutuskan berangkat hari ini. Jika saja aku turut bersama ayah dan ibu, aku mungkin sudah menenggak martini dengan santai di Santorini bersama keluargaku. Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Siapa yang bisa kuremas tangannya dalam kondisi secemas ini?

Lelaki paruh baya yang setengah tubuhnya ditutupi selimut milik maskapai ini jelas tidak bisa diandalkan. Dalam situasi seperti ini saja suara tenggorokannya semakin besar. Aku gelisah sendirian. Entah apa yang akan terjadi dan dengan siapa akan kulewati semua ini.


*


Para penumpang berdesakan, sebagian memgambil barangnya pada bagasi diatas kepala. Sebagian bertanya-tanya, sebagian cemas, sebagian kecil seperti penumpang disampingku justru bertanya :

"Where are we? It’s not like Ataturk?"

Haduh pak, kemana aja daritadi. Udah bagus pesawat kita tidak dicium misil atau rudal. Mendarat dengan selamat saja rasanya ingin kupeluk tubuh kapten dan para awak kapalnya. Namun kami belum diperkenankan turun, semua masih diharap sabar menunggu. Akupum belum mengambil koperku diatas cabin. Biar saja orang-orang dahulu, toh aku juga masih akan terperangkap di airport antah berantah ini. Sampai pintu pesawat dibuka dan para penumpang diperkenankan keluar, barulah aku berperan sebagai hakim yang mengetukan palu sekeras-kerasnya menandakan perceraian antara bokong dan kursi pesawat, dimulai dari detik ini.

Setelah mulai sepi, ku ambil tas beroda kecilku diatas dan hampir saja dia menimpa kepalaku sendiri. Jangan lihat dari ukurannya, tas berukuran cabin itu sebenarnya lebih dari 7 kilo. Segala kebutuhan perempuan seperti hair dryer, catokan, sisir, make up, sampai sepatu ada disana. Jadi tas itu amat penting peranannya dalam perjalanan ini. Seorang pria menahannya, dan menurunkannya dengan mudah. Tubuhnya lebih tinggi dariku jauh, padahal untuk ukuran wanita Indonesia, aku tidak pendek.

"Akhirnya sampai juga kita" katanya sambil menurunkan satu lagi kantong yg berisi bajuku.

"Ini dimana ya?" tanyaku pada pria yang dipesawat tadi juga sempat kuajak bicara.

"Anthalya" jawabnya.

Anthal.. whaaat? Apa pula itu? desirku dalam hati. Salah satu awak pesawat memanggil kami sekaligus memberi tanda bahwa kami harus segera mengosongkan pesawat. Kamipun bergegas turun dari burung besi itu. Aku lihat orang berbondong-bondong menaiki tangga menuju gedung yang aku duga adalah bandara. Jika boleh kutambah tebakannya, bandara yang kami singgahi itu jarang terpakai. Duty free ditutupi kain hitam tanpa ada lampu yang menyala, begitu juga cafe dan restoran yang mengelilingi, tidak ada satupun yang buka.

Begitu kulihat petugas bandara, langsung kutanyakan wifi karena daritadi handphoneku seperti kesulitan koneksi. Aku harus memberi kabar keluargaku. Dan alangkah kecewanya ketika petugas hanya menggeleng sambil memberi informasi kalau tidak ada koneksi internet di bandara tersebut. Setelah kupandangi sekeliling, jangankan internet, tak kulihat televisi disitu, bahkan jam dindingpun tidak ada. Aku kembali bertanya, apa aku terperangkap kudeta, atau kembali ke masa purba?



*



Berkali-kali kupandangi layar ponsel-ku dan nihil upaya bagaimana cara menghubungi keluargaku. Sudah dua batang tembakau hinggap diparu-paru, tapi jalan keluar dari semua ini belum kutau.

"Kita mestinya diberangkatin sejam yang lalu, cuma gedung parlemen mereka baru di bom tadi" kudengar meja sebelah berbincang dengan bahasa Indonesia. Segera kutarik koperku ke arah mereka.

"Permisi, dari Indonesia ya? Sebenarmya ini ada apa ya, mas? serius gitu masalahnya? Internet saya mati soalnya jadi gak bisa liat berita" aku berusaha membuka pembicaraan dengan mereka.

"Iya mba, bandara yang seharusnya kita mendarat di kudeta militer, sekarang ditutup. Jadi kita gak bisa mendarat disana" jawab salah satu pria berkemeja garis-garis biru.

"Waduh, sampai kapan ya kira-kira? Pesawat saya yang ke Yunani keburu pergi ini nanti" kataku sambil setengah bergumam sendiri.

"Iya, saya juga ada lanjutan ke Roma sama keluarga dan kayanya ketinggalan. Mba ke Yunani bareng rombongan mas-mas ini?" katanya sambil menunjuk dua pria yang sama-sama sedang menghisap rokok dengannya. Salah satu dari mereka aku tau, tadi aku sempat melihatnya terlelap disamping pria yg aku hampiri bangkunya.

"Eh, engga mas." jawabku pada si biru garis-garis. "Mas-mas ini mau ke Yunani juga?" tamyaku pada dua yg tersisa.

"Iya, mba. Kami mau pentas teater." Jawab salah satu dari mereka. Dugaanku si penjawab adalah tetua kelompok karena aku bisa melihat begitu banyak perak di helai-helai rambutnya.

Setelah melalui berbagai perbincangan tentang apa yang kami lalui dipesawat dan bagaimana kelanjutan nasib kami yang masih terkatung-katung ini, datang seorang lelaki menghampiri. Celana jeans dan kaos putih polos melekat didada. Aku mulai hafal wajahnya walaupun warna bajunya telah berganti. Terakhir kami berbincang dipesawat, kaosnya bercorak khas Bali.

"Mas, kita dimintain data passport sama KBRI. Tadi ada orang Indonesia juga nyamperin dan handphonenya nyala, nyamperin aku. Dia diminta ngedata seluruh WNI yang ada disini." Rambut cepaknya basah kali ini, mungkin dia baru saja berganti baju dan membasuh kepalanya. Spontan kumatikan rokok dan bicara dengannya.

"Saya juga bisa taruh nama juga kan, mas? Kira-kira saya bisa pinjam ponselnya gak ya? Mau kasih kabar ayah saya" celotehku sambil menembus dua pria didepanku.

"Lho, mba yang tadi?" katanya setengah bengong sambil menunjuk. "Iya mba, semua WNI dimintain datanya. Orang yang nyatet ada didalam. Saya antar?" katanya menawarkan.

Tanpa berpikir panjang, kuayunkan langsung langkahku meninggalkan smoking area dibagian luar, setelah 5 langkah, aku ingat tiga pria Indonesia tadi.

"Eh iya, itu mas-mas-nya gak sekalian?" Tanyaku pada si dada bidang.

"Mereka paling nyusul, ngabisin rokok dulu. Sayang, berharga rokok disini" jawabnya sambil tersenyum. Aku kembalikan senyumnya sambil menunduk. Aroma tubuhnya khas lelaki. Aku bisa menduga dia baru saja menyemprotkan paling tidak setengah botol parfume dibadannya. Kami menyusuri lorong berisi para penumpang yang bernasib sama dengan kami, dengan berbagai warna rambut dan kulit. Passport kami semua berbeda, namun tempat terperangkap kami satu, Anthalya.

Setelah menuliskan data pada secarik kertas bersama para Warga Negara Indonesia lain, seorang wanita berkerudung terlihat sedang membagikan signal handphonenya pada ibu-ibu dihadapannya. Ku hampiri dia sambil bertanya apakah internetnya berfungsi, dan ternyata benar. Dia telah menyalakannya dari Jakarta, sungguh hebat providernya. Aku segera meminjam untuk mengabarkan keadaanku pada ayahku yang telah tiba di Yunani sejak kemarin. Tidak lama, ponsel wanita itu berdering.

"Baby, are you okay? i saw the news. Be safe, jangan kemana-mana, ikutin aja prosedurnya. Mama kamu shock dan lagi nangis disini, aku juga khawatir" Kata suara disebrang sana.

"I'm good but this is horrible. Gak ada yg bisa ditanyain ada apa dan gimana disini. Gak ada pihak maskapai yang bisa kasih informasi, dan petugas bandara gak tau apa-apa. Aku gak yakin bisa ikut acara malam ini" jawabku lirih.

"Aku liat berita bandara udah aman dan jam satu siang udah bisa beroprasi normal kok" Katanya menenangkan.

Aku langsung bertanya pada wanita disebelahku pukul berapa saat ini, dan kami harus menunggu dua jam untuk menggapai pukul satu. Sedangkan kami telah tiba di bandara yang belum pernah kudengar sebelumnya ini sejak pukul setengah tujuh pagi.

"Ok, thank you for the info. Let me know kalo ada update ya. Bilang Ayah sama mama gak usah khawatir, i'm good kok." jawabku.

"Hang in there ya sayang, Mba Arti juga khawatir banget tadi, dia langsung mogok makan." Informasi barusan sedikit menusuk dadaku. Kakakku satu-satunya itu sedang menghitung detik menuju hari besarnya.

"Bilang mba Arti there's no problem at all. Aku cuma terlambat aja. Kiss-kiss buat dia. Aku mau cuci muka dulu dan gak enak pinjem hp orang lama-lama" kataku sebagai penutup.

Kukembalikan ponsel yang kupinjam, kututup dengan terima kasih dan berjalan menuju toilet. Langkah kupercepat padahal tak kutau dimana letak kamar kecil disini. Kuhambur pintunya, kubasuh wajahku dengan air segumpal tangan, anak-anak rambutku turut berkenalan dengan air keran asal Turki. Aku limbung, tak tau apa yang dapat aku lakukan. Aku ingin terisak tapi sesuatu yang terlalu besar menahan dadaku. Aku seperti menelan udara yang tak mampu kuhitung masanya, seorang diri.

Setelah nafasku kembali pada jalurnya, aku keluar dari ruang yang menelan sekitar lima menit waktuku. Terlalu sedikit yang terbuang, dan lelaki itu berdiri tepat didepan pintu.

"Lho?" kataku bengong sambil menunjuknya.

"Kopernya mba, tadi ditinggal aja" jawabnya sambil memberikan koper hitamku.

"Ya ampuuunn, makasi mas. Astaga bisa skip gini saya. Maaf, maaf" kataku langsung menunduk dan menghambur menuju setengah nyawaku itu.

"Gak apa-apa." jawabnya sambil tersenyum. Aku lihat lesung pipinya menyibak. Hanya di bagian kiri. Aku langsung berjalan beriringan dengan tas berodaku dan kudengar dia menyebut.

"Tama" katanya.

Aku menoleh. Melihat dia tidak beranjak.

"Nama saya, Tama." katanya. Kali ini dia mendekat, mengulurkan tangannya.

"Audri" jawabku sambil menjabatnya. "Terima kasih banyak, Mas Tama. Maaf udah ngerepotin" tambahku.

"Gak sama sekali" kali ini kedua tangannya dia lipat dibelakang punggungnya, jalannya mengiringi aku, dan koper kecilku.



*


"Wow, jadi kamu udah dua kali ke Eropa karena Teater? Hebat amat!" kataku kearahnya.

"Bukan hebat, beruntung. Pemain di Indonesia yang lebih hebat banyak, cuma saya beruntung aja karena ketemu sama director Austria ini" lanjutnya.

Dia kemudian bercerita tentang rencana perjalanan tournya, kota-kota apa saja yang akan dia singgahi, kehidupan teater di Indonesia, dan banyak lagi. Kami bertukar tawa sambil diselingi roti berisi tomat, ketimun, dan keju yang merupakan kompensasi dari pihak maskapai. Tidak masalah, roti itu terasa menyenangkan, atau kami saja yang terlalu lapar.


*



Handphoneku berdering, akupun turut terkejut dibuatnya. Bagaimana bisa akhirnya kotak buatan Steve Jobs ini menyala. Kulihat namanya dilayar, kemudian aku izin beranjak dari lelaki yang baru kukenal itu.

"Gimana keadaan disana? Katanya sekarang bandara Istambul sudah berjalan normal, aku lihat di berita" sahut suara sebrang sana.

"Apaan, kita baru dapat informasi dari pihak airport, katanya bandara masih ditutup dan gak ada penerbangan apapun. Ngaco tuh berita. Yang ada malah katanya beberapa sosial media disini di block. Udahlah aku pasrah aja" jawabku patah arang.

"Masa sih, katanya semua udah baik-baik aja kok. Maskapai kamu udah kasih keterangan" katanya meyakinkan.

"Whatever deh. Aku udah mulai pasrah. Ini udah jam 3, pesawat Yunaniku udah angus. I think i wouldnt make it to Santorini tonight." Aku pasrah sekaligus lega. Ada alasan kuat untuk menghindari malam ini. By the way, kok telephoneku bisa nyala?"

"Aku minta urus orangku di Jakarta biar nomor kamu tetep nyala. Kondisi darurat"

"Oh, thank you ya. Mama Ayah udah gpp kan?" Aku semakin cemas membayangkan kedua orangtua ku khawatir.

"Aman, mereka udah tenangan jauh. Mba Arti lagi make up". Aku melamun seketika, membayangkan kakakku akan menjadi perempuan paling cantik didunia malam ini.

"Good for her kalo gitu. Kalian have fun disana yaaa" kataku menutup pembicaraan.

"Dri, kamu lagi ngapain sih?" tanyanya.

"Lagi limbung, yaudah, keep updating me yaa. Talk to you later" kali ini benar-benar kututup telephonenya. Aku hanya tidak ingin bicara apapun. Aku hanya ingin mendengar. Mendengar suatu cerita asing yang akan kunikmati, tapi bukan ceritaku sendiri.



*


Matahari mulai melemah. Kali ini suara bayi menangis turut ambil kendali. Satu per satu dan saling bersautan. Aku bisa paham, terperangkap lebih dari enam jam tanpa kepastian membuat jiwa-jiwa baru itu tak nyaman. Mereka pasti kelelahan. Begitu juga wajah orangtua mereka yanh khawatir berlebihan. Wajar.

"Jalan-jalan yuk" dia datang lagi.

"Tama. Kamu gak tidur?" tanyaku. Sebenarnya aku sempat mengintip dia dan rombongannya tadi. Kulihat dia menutup wajah dan sebagian pundaknya dengan jacket hitam.

"Udah bangun dan super segar. Sekarang butuh jalan-jalan. ikut?" katanya sambil memamerkan lesung pipitnya yang hanya sebelah itu.

"Kemana?" kataku masih dengan posisi duduk dan kaki tersangga koper berukuran cabin.

"Ya kita cari tau bisanya kemana, sini berdiri. Nanti kram lho" katanya mengulurkan tangan.

Aku menyambutnya, berdiri dengan perasaan yang masih setengah bingung, lalu melongok pada satu koper, dan satu tas berisi gaun yang harusnya kukenakan malam ini. Lelaki itu mengambilnya, kedua bawaanku kini ada ditangannya. Dia berjalan dan aku mengikuti. Kali ini ia menuju pada kelompoknya sambil menoleh padaku.

"Barang-barangmu biar saya titip di teman-teman, jadi kita jalan-jalan bebas. Tenang, mereka terpercaya kok" katanya sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk. Tidak ada pilihan kecuali setuju. Toh tidak ada juga yang bisa kulakukan. Idenya tidak begitu buruk.

Akhirnya kami berjalan mengelilingi bandara yang tidak lebih besar dari terminal 3 Soekarno Hatta, lebih kecil malah, setengahnya. Ada satu cafe yang yang mulai dibuka dan penuh pembeli.

"Kopi atau teh?" katanya.

"Saya gak punya uang Turki" kataku.

"Saya nanya kopi atau teh, bukan nanya kamu punya uang Turki atau engga"

"Tea, please" tak terasa tiba-tiba aku bibirku membentuk sabit melihat dia mengantri dan sesekali melempar senyum ke arahku.

"Teh untuk anda, Kopi untuk saya" katanya sambil menyodorkan tangan kanannya.

"Efharisto" kataku.

"Parakalo" jawabnya

"Hey, your good in greek!" aku setengah kaget. Walaupun hanya sekedar satu kata, aku tak menyangka dia akan mengatakannya.

"4 tahun lalu saya pentas di Yunani, mbak Audri. Jadi kalau sekedar Terima kasih, sama-sama, bisalah" jawabnya dengan muka jahil.

"Ok fine." jawabku sambil menenggak teh yang masih mengebul ini. "So, you're a coffee person" kataku.

"Ya sebenernya gak juga, cuma aja ini ngantuk banget sebenernya, jadi butuh kopi. Ini juga bukan kopi item, chapuchino. Mau coba?" dia menyodorkan gelasnya.

"No, thanks. I'm good with this. Thank you" jawabku.

"Oia, kamu mau ke Yunani, dikota apa?" tanyanya

"Santorini"

"Seriuuussss? Itu kota cantikk bangett kan." Dia menoleh kearahku sambil membelalakkan matanya.

"Kamu pernah kesana?"

"Engga sih. Liat di tv doang" jawabnya cengengesan.

"iya cantik terakhir kesana. Gak tau sekarang" aku sebenarnya tidak begitu tertarik membahas hal itu.

"Ada acara atau liburan?"

"Kawinan kakak" jawabanku semakin tak bergairah.

"Kakak kamu kawinan disana? Gokil, keren amat. Kapan?" tanyanya makin antusias.

"Malam ini"

"........." dia bengong.

"Iya malam ini, dan pada pukul lima sore, saya masih minum teh dengan baju yang sama persis saya pakai tadi pagi, di bandara antah berantah ini" jawabku sambil merentangkan kedua tangan,

"AS TA GA. Terus gimana ituuuu?" katanya panik.

"Ya gak gimana-gimana. Mau gimana emang?" aku memandang wajahnya dengan datar. Dia membalasku masih dengan raut muka penuh tanya.

"Gimana kalau kita ngerokok aja? Yuukk!" kataku sambil mempercepat langkah. Kulihat dia masih mematung dengan jemari memeluk gelas berisi kopi.

"Ayuuuukk" entah kenapa aku tetiba menarik tangannya, dan dia menahannya. Tangan kami bagaikan bergandengan dalam 3 detik. Ada aliran listrik sekejap didadaku. Dan kami sama-sama melepasnya.

"Let's make a game. Kita suit, yang menang maju satu langkah. Yang sampe duluan, akan dapet rokok dari yang kalah. Sebatangpun berharga kan? jadi kita bisa bunuh-bunuhan demi asap disini." Kataku berusaha mencairkan suasana.

"Siapa takut. Suit jawa apa jepang?" katanya tertantang.

"Jawa aja deh"

Kamipun larut dalam permainan dan entah dia mengalah, atau memang aku sedang beruntung. Smoking area dibandara ini setidaknya cukup nyaman karena merupakan area terbuka. Didalam semakin ramai karena banyaknya pesawat yang datang serta mendarat darurat. Dia memberikanku rokok lintingan.

"Apa ini? Gila kamu, legal dibawa kesini?" jawabku sambil panik setengah mati.

"Ini rokok kali, legallah. Tembakau lintingan. Katanya yang kalah mesti kasih rokoknya." jawabnya.

"Rokok beneran?" tanyaku ragu-ragu.

"Lha ya iya, masa ganja neng?" katanya tertawa.

Ini pertama kalinya bagiku mencoba rokok lintingan. Rasanya tidak buruk. Tembakau bercampur aroma cherry ini lebih mirip seperti shisha di restoran Arab. Lumayan untuk mencoba hal baru ditempat yang rasanya sudah kududuki dari jaman majapahit. Lalu dia bercerita tentang rokok ini, bagaimana dan kenapa dia menyukainya,

"Saya gak pernah masalah kalo harus repot untuk menuju nikmat" katanya.


*



Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, akhirnya pihak bandara memberikan pengumuman, seluruh penumpang di bandara ini akan dibawa pada suatu hotel di daerah Anthalya.

Hotel? Jadi kesimpulannya kami harus bermalam? Positif sudah aku akan melewati hari besar kakakku. Ada rasa lega namun cemas saling menatap dalam dadaku. Tapi aku tak punya pilihan, semua harus aku ikuti.

Dari kaca bus ini, aku bisa melihat hotel megah dengan batu bata maroon sebagai ornamen utamanya. Tempat ini lebih bisa dikatakan sebagai istana. Angkuh, megah, dan tak terjamah. Pada lobby hotel bintang lima itulah para penumpang yang lebih terlihat sebagai pengungsi berjejalan. Para petugas hotel kewalahan, aku sendirian menopang badanku yang terdorong-dorong belasan orang. Mereka menyerbu, meminta kunci kamar secepat-cepatnya agak dapat beristirahat. Semua sudah seperti tidak pandang bulu, padahal apa sulitnya jika ibu-ibu dan anak-anak dipersilahkan lebih dulu. Tapi penantian cemas selama lebih dari 12 jam itu membutakan akal. Memaksa ego untuk maju ke medan perang. 
Akhirnya aku mengalah dan memilih duduk pada doga yang tersedia terlebih dahulu. Lebih-lebih hotel ini menyediakan free wifi khusus untuk pada bagian lobby. Maka ketika kunyalakan semua media sosialku, notifikasi berhamburan satu per satu. Puluhan photo kakakku terpampang disana. Dalam balutan gaun putih, putri tertua ayahku itu terlihat sangat cantik dan anggun, senyum tak pernah lepas dari setiap photo yang kucermati. Pada satu gambar, kutemukan seorang pria memeluk pinggang dan mencium lehernya. Kakakku tertawa bahagia hingga kehilangan bola matanya, dan lelaki berbadan atletis dengan rambut kecoklatan itu seolah tak mau melepaskannya. Mereka berdua begitu serasi, tanpa terasa aku sudah menciptakan banjir bandang dipipi. Aku tau segala lekuk dibalik jas putih itu, aku juga tau bagaimana rasa bibirnya, pelukannya, aku masih ingat jelas semua. Dan sekarang, ia resmi menikahi kakak kandungku sendiri, sementara aku terperangkap dalam ruang belantara ini, sendiri.

"Kamu udah dapat kamar?" suara itu menyentak lamunanku. Kuhapus dengan segera seluruh air mata yang membasahi wajahku.

"Kamu gak papa?" Tanya lelaki yang tadi mengisi hariku di bandara.

"Gapapa, kecapean aja ini kayanya, jadi agak pilek" jawabku panik.

"Kertas formulir kamar kamu mana sama pasport? sini saya yang urusin. Kamu duduk sini aja" tanpa pertahanan, kuberikan formulir hotel dari pihak maskapai yang tadi sudah kuisi di bandara, berikut juga dengan passportku. Aku tak bisa berpikir apa-apa, yang bisa kulakukan hanya melepas kacamata, dan membuyarkan segala pandang. Untuk hari ini, aku ingin buta.

"Ini kamarmu, 1126. Berarti dilantai satu gedung wing kanan. Keluar lobby ini, kolam renang, langsung kanan nanti katanya ada tulisannya" laki-laki ini kembali sambil memberikan kotak kartu yang berisi akses untuk kekamarku. Akupun berjalan lunglai menuju arah yang semestinya membawaku. Menggeret koperku dengan tenaga seadanya.

"Hey, saya lupa. Didalam kartu itu ada kupon untuk makan malam. Mereka buka jam 8. Jadi jangan lupa makan dulu, takutnya kalau kamu tidur, nanti kebablasan." aku menoleh mencari arah suara tersebut. Tama, dia diam ditempat. Memaku dengan koper coklatnya.



*

Hotel ini sebenarnya cukup bagus, sangat bagus malah. Entah berapa biaya yang harus ditanggung oleh pihak maskapai sehingga harus menampung ratusan penumpang yang terjebak ini. Kamar ini terlalu besar untuk kuisi sendiri, terlalu dingin untuk kugigili, seorang diri. Aku memandang bungkus yang berisi gantungan baju. Sebilah gaun tergantung disana. Dress coklat muda yang ditaburi payet sederhana berwarna emas, yang seharusnya kukenakan malam ini, untuk menghadiri pernikahan kakakku dan mantan kekasihku secara sembunyi-sembunyi. Air mataku menetes lagi, dia mulai ikut menghiasi baju, menemani manik yang dari tadi ditutupi sinarnya. Kuputuskan untuk mengenakannya malam ini, sendiri,

Rambutku yang melewati dada, kukuncir kuda, Tali besar gaunnya memeluk leherku, resletingnya berhenti disetengah punggungku, mempersilahkan dunia melihat pundakku yang dirudung beban tak terkira. Hari ini entah aku bersolek untuk siapa.


*



Satu potong daging kambing dan ikan telah masuk kedalam perutku yang seharian hanya diisi sandwich berisi tomat. Sekarang aku menerawang, mengecap anggur berwarna putih sambil memandang langit-langit restoran yang tinggi. Arsitekturnya bergaya Eropa kuno, dengan ukiran melingkar dan beberapa ornamen kayu, taplak dan kursi-kursi berwarna putih ini yang membuat suasana semakin menusukku. Tembus pada usus dan lambungku.

"Audri?" lagi-lagi suaranya memecah lamunanku.

"Hai Tama. Udah makan?"

"Udah tiga kali, ini gelas ke-empat." jawabnya sambil mengangkat gelas berisi wine berwarna merah.

Aku mengacungkan jempolku padanya. Dan dia membalasnya dengan tawa.

"Saya duduk disini boleh?" dia menunjuk bangku kosong tepat dihadapanku.

"Sure, please have a seat" jawabku mempersilahkan.

"Saya pangling, Dri. You look good" katanya sambil memandangiku.

Aku memberikannya senyum kecil, senyum kecut lebih tepatnya. Aku sedang tidak bernafsu membicarakan penampilan, walau kulirik rambut basah dan bulu-bulu sekitaran wajahnya yang sudah terpangkas habis. Ada sekelibat warna biru mengabu disekitaran bibirnya. Tanda tercukurlah kumis tipis dan rambut halus sekitaran pipi dan lehernya.

"Saya gak ada baju ganti. Koper besar kan gak dikeluarin. Jadi cuma ada baju ini di cabin" jawabku mencari alasan.

"iya, cantik" katanya sambil meneguk wine itu sampai habis tak bersisa.

Gombalam paling standart dimuka bumi ini keluar dari mulutnya tapi aku tak merasa geli. Itu agak dipertanyakan. Karena biasanya jikalau ada pria berkata demikian padaku, seketika lambungku akan menolak makanan yang baru saja tiba, dan menendangnya ke tenggorokan kemudian dikeluarkan oleh mulut.

Aku memutuskan untuk membuang pandanganku dari wajahnya. Tapi ekor mataku tau, dia masih menatap dengan pandangan yang kupertanyakan.

"Kenapa ngeliatin?" tanyaku memberanikan diri.

"Engga. Kok saya kaya pernah ke tempat ini sebelumnya ya?"

"Deja vu?"

"Lebih tepatnya, saya yakin pernah kesini"

"Sama?" kataku sambil memicingkan mata.

"kamu."

Aku diam walau jantungku tersentak. Wajahku makin menuntut penjelasan.

"Jangan parno. Tadi pas kamu buang muka, tiba-tiba saya ngerasa pernah dalam kondisi persis begini. Sama kamu"

Dia mengulangnya. Aku pernah mendengar bahkan mengalami dejavu berkali-kali. Jadi pembicaraan barusan tidak terlalu absurt bagiku.

"Engga parno. Saya sering mimpi lihat laki-laki yang punggungnya bersayap. Dileher kirinya ada tahi lalat"

Dia terdiam.

"Gantian parno yaaaa?" kataku sambil tertawa, menunjuk raut wajah bingungnya.

"Kalau saya, mimpinya perempuan, dibahu kanannya ada tahi lalat juga."

"Saya dong!" kataku sambil tertawa dan menunjukkan bahuku yang dihinggapi tahi lalat sejak lahir.

Kali ini dia makin terdiam, dahinya mengerut.

"Mukanya gimana?" tanyaku merinci ceritanya.

"Mukanya gak pernah lihat. Cuma lihat dari belakang" jawabnya.

Kami berdua saling kikuk. Salah tingkah hadir sebagai pelengkap di meja makan itu.

"Jalan-jalan yuk" kataku sambil berdiri.

"kemana?" tanyanya sambil mendongak.

"Ya kita cari tau bisanya kemana, sini berdiri. Nanti kram lho" jawabku men copy kata-katanya di bandara. Dia tersenyum, mengikuti langkahku dan merapat.

Hotel ini besar sekali, mungkin salah satu yang terbesar di Anthalya. Kolam renangnya super luas, seperti kolam renang Shangrila Jakarta dikali tiga. Dikelilingi payung-payung dan kursi putih di bibir kolam. Lampu temaram, menjadikan malam ini begitu cantik tanpa perlu kaya akan warna. Cahaya sudah menghidupkan, kami tak butuh lagi warna warni.

Kami bertukar cerita, tentang passionnya di dunia seni yang begitu tinggi, tentang mimpi dan harapan untuk negri kami, sampai kehebohan pemilihan gubenur DKI. Kita berdua tertawa lepas tanpa batas, saling mengagumi tanpa menghakimi, sesekali kulit kami bersentuhan, dan entah karena anggur yang mulai memabukkan, syaraf-syarafku bagai terjangkit listik tegangan rendah. Mengundang kupu-kupu yang mengira perutku adalah taman bunga, hingga mereka bebas bermain disana.

Pada pangkal kolam kami mendengar alunan suara musik. Tampaknya seorang DJ memainkan jarinya pada alat musik. Kami dengar senandungnya yang cepat. Seperti mengundang untuk mengintip.

"Kesana yuk" ajakku

"Disini aja deh. Saya gak begitu suka musik disko" tolaknya halus.

"Saya penasaran. Saya kesana dulu boleh?" kataku meminta izin.

"Kalau gitu saya ikut. Katanya sambil berdiri dari kursi putih tempat kita berdua duduk sedari tadi.

"Katanya gak suka musik disko"

"Tapi saya suka dekat kamu" katanya sambil merangkul pinggangku seakan memberi signal untuk aku jalan terlebih dahulu.

Kamipun tertawa terbahak dilantai dansa, sesekali aku lihat atau lebih tepatnya memaksa dia bergerak, walaupun tariannya off beat, aku merasa sangat terhibur. Tawa pun pecah diantara kami, dan suara musik sudah tidak penting lagi.

"Rambut kamu warna aslinya emang begini?" tanyanya sambil berbisik dari belakang.

"Engga, ini di cat. Aslinya rambut saya kaya main layangan. Ini dicat kecoklatan supaya lebih manusiawi" jawabku berbisik.

"Emang kamu kecil main layangan juga?"

"Engga, nemenin kakak saya yang paling besar doang. Jadi main layangannya gak bisa, kucel rambutnya dapet"

Dia tertawa, nafasnya bergema ditelinga, dan disebagian punukku.

"Kamu sih gak ikut main layangan, kalo iya jangan-jangan kamu udah ikut nikah kaya kakak kamu" katanya lagi.

Sontak aku berhenti. Berbalik badan menghadapnya, "Bukan kakak saya yang itu, kakak saya yang laki-laki. Dan dia sekarang udah gak ada". Tiba-tiba aku menjadi emosional. Wajah saudara lelaki tertua dan terbaik yang pernah kupunya datang menyebak ditengah-tengah kota asing ini. Senyumnya tak pernah kulupa.

"Maaf. Saya gak tau" Tama memegang tanganku. Aku melepasnya "Ga papa. Maaf. Kok saya jadi sensi begini".

"Kamu udah dapat kabar tentang acara kakak perempuanmu?" tanyanya halus.

"Udah, dari sosmed. Kita balik ke tempat duduk tadi yuk. Saya pegel" Kataku sambil melepas sepatu berhak 7 cm ini.

Kamipun kembali ke tempat semula. Duduk memandangi hamparan kolam tanpa ombak. Warnanya biru, seperti lamgit siang tadi.

Kali ini lebih banyak hening, walau samar-samar suasana pesta musik diujung sana masih terdengar.

"Saya menyinggung hal sensitifmu ya?" Tana bertanya dengan hati-hati.

"Engga juga, perjalanan ini yang kayanya salah waktu, salah tempat, salah mood, salah semua"

"Saya ngerti, acara kakak kamu pasti penting buat kamu. Kalo saya jadi kamu pasti saya juga stress."

"Kalo gitu kamu gak ngerti" kataku menatapnya.

"Ini berkah buat saya, justru perkawinan mereka yang bencana."

Tama terdiam, dia tampak bertanya-tanya dan hilang kata-kata.

"Saya selalu berdoa untuk kegagalan pernikahan mereka. Ternyata Tuhan mengabulkan dengan meniadakan kehadiran saya disana." Aku mulai terisak.

"Maksudnya?"

"Panjang ceritanya"

"Saya punya banyak waktu"

Akupun mulai meracau. Tentang keindahan dan kenaifan masa lampau. Dimana seorang pria yang kukira mencintai aku, ternyata menikahi kakakku sendiri. Setelah kuberikan semua untuknya pertama kali, dia menganggap aku hanya sebagai seorang adik kecil. Walaupun apa yang dia lakukan malam itu jelas bukan bentuk kasih kakak kepada adiknya. Bisa-bisanya dia melamar kakakku setelah memghabiskan malam bersamaku. Terlalu biadab untuk dikenang, tapi kenyataan yang harus ku ingat sepanjang zaman.

Aku mengulur waktu untuk datang dengan berbagai alasan, hingga peristiwa yang mengeliminasiku untuk datang, dengan segala cara mereka menyelamatkan. Gemuruh didadaku menguap, hujan di bola mata tak terelakan. Aku meraung seperti anak kecil yang kehilangan barang kesayangannya. Udara begitu menusuk, aku menggigil dalam kisahku sendiri.

Sebuah jacket hitam memelukku. Menutupi pundakku yang gemetaran. Tubuhnya memelukku, mengajakku bersandar pada bidang tangannya. Dadanya adalah musim semi bagi badanku yang kekeringan. Rongga-ronggaku retak di bakar matahari, dan malam itu pelukannya menghujani, sesekali dia mengecup kepala juga dahi. Alam tau, lebih baik tersesat di kota asing ini, daripada pesta bunuh diri di Santorini.


*



Meja kami telah penuh gelas-gelas anggur dan minuman yang namanya tidak aku ketahui. Maskapai ini sunggu merasa bersalah hingga membiarkan bar terbuka bebas untuk para penumpangnya. Kakiku sudah lunglai. Tak kurasakan lagi telapak memijak. 
Diantara angin yang mencoba memporak porandakan tubuh, yang kurasa hanya.. basah kecupmu, pada lenganku. 
Pandanganku yang mengambang, dan bibirmu yang melindap pada pori-pori jelas tidak dapat kuhindarkan. Orang asing yang begitu dekat.

"Sudah jam satu. Kamu harus beristirahat." katanya.

"Kita" jawabku.

"Iya. Kita."

"Kamu antar aku kekamar?" tanyaku

Dia diam tidak menjawab. Kepalanya sedikit menunduk.

"Sorry. It's ok. Aku jalan sendiri, kita ketemu besok pagi. Kataku sambil berdiri, mengecup pipinya, tempat dimana titik lesungnya hadir saat tersenyum.

Aku berdiri, jalan lunglai sambil meracau dalam hati. Entah apa yang terjadi, bencana ini lebih gila dari konspirasi semesta, membawaku kedalam gelap yang terlalu legam. Kulihat pintu kamarku, aku telah tiba, berkali-kali kucoba menempelkan kartu untuk membuka pintu tapi tak juga berhasil. Aku benci dalam ketidak pastian, aku benci pada keadaan, aku benci pada ketidak stabilan, hingga seseorang memgambil kartu yang terjatuh dilantai, membukanya, dan mengiringku masuk.

"Kamu ngikutin saya?" ditengah kesulitanku mengangkat kelopak mata, aku lihat sosoknya. Dia tidak lagi asing.

"Kamu mabuk, gak mungkin saya lepas sendiri"

"Kamu bisa pergi sekarang, saya udah baik-baik saja."

"Saya gak bisa" jawabnya.

Aku menoleh, berjalan menghampirinya, menggenggam tangannya. Kutemukan lingkaran perak disana.

"You?" kataku sambil memegang cincin di jari manisnya.

Dia menunduk. Aku makin hancur berantakan. Otakku seperti bola keramik yang siap menggelinding dari pegunungan Alpen.

"Oh shit, you didn’t say that you’re married!" kataku memaki sambil menangis.

"Well i'm not!" katanya mebalas tegas.
"Not yet" suaranya kembali melemah.

"Kamu punya waktu semenit untuk jelasin!" kataku.

"Empat tahun lalu saya ketemu perempuan ini di Hungary. Dia mahasiswa musik director yang bawa saya ke Eropa. Kami berkenalan, dan beberapa kali dia ke Indonesia..."

"Ok, so you guys engaged?" potongku sambil membuang muka.

"Yes" jawabnya tegas.

"Ok. Terima kasih dan mohon maaf untuk semuanya." Aku mendorongnya dari lorong kamarku, memaksanya keluar pintu. Tapi dia jusru memelukku, aku yang meraung terus dipeluknya hingga tak berdaya, aku rindu dada ini, entah kerinduan apa, seperti pernah aku miliki sebelumnya. Kami berpelukan, tangannya membelai punggungku yang kosong, hidungku mengendus aroma lehernya, masih terasa wangi yang kucium di bandara, ini wangi yang sama, wajahnya menoleh kearahku, dan bibirnya mulai menyerangku. Kami bertautan malam itu, tanpa kata-kata, dengan rasa yang tidak kami ketahui artinya, dan tidak perlu dicari tau pula. Tidak ada masa udara yang mampu menyelinap dalam tubuh kita, kamar ini menjadi terlalu sesak, pertukaran udara kian pekat. Pada anggur-anggur basi ini segala dosa kita persalahkan, atas nama ketidak sadaran mereka kita kambing hitamkan.


*


Kita telanjang dibawah sinar bulan, tidak perlu lampu atau warna, cahaya sudah terlalu mewah dan benderang. Sesekali kita seka keringat, pada malam yang akan selalu kita ingat. Kita bicara tentang banyak hal, tentang mimpi yang pernah kita lalui sebelum benar kita temui. Tentang rasa yang terlalu biadab untuk dikenal tapi kita yakin akan kekal.

Suara pintu diketuk, sebuah kertas selebaran masuk. Dia menuju pintu, membacanya.

"Kita akan berangkat ke Istambul jam 3 pagi."

Aku menganga, sepasang sayap mengembang dipunggungnya.

"Sekarang udah jam setengah 3. Setengah jam lagi kita harus siap" lanjutnya.

Mataku berkunang, punggung itu, sayap itu, jelas sering berkunjung pada mimpi-mimpiku terdahulu.

"Kamu kenapa?" tanyanya

"Sejak kapan kamu punya tato itu?" tanyaku bergetar.

"Sejak umur 20. Pas lagi pentas di Makasar"

Aku menelan ludah yang terasa seperti gumpalan larva. Tubuhku beku disengat jutaan lebah. Aku tak dapat bergerak. Dia menghampiriku, memelukku, menciumi rambutku.

"Mendingan kamu balik ke kamar. Teman-teman kamu pasti menunggu." kataku.

Dia diam, menatapku dalam-dalam.

"Aku juga harus siap-siap. Waktu kita cuma setengah jam, kan?"

Dia mengangguk, mengambil kaosnya, mengencangkan sabuknya, dan berlalu. Terakhir yang ku ingat hanya bunyi pintu. Kali ini aku ingin tuli.



*

 Kami tidak duduk berjauhan. Mata kami masih saling mampu memandang. Tiga jam lagi burung raksasa ini akan mengantar kami meninggalkan Turki, dan menjumpai Yunani. Kukenakan kacamata hitamku, aku takut memandangnya, matanya memaku, dan aku pasti layu. Seperti magnet yang tak terpisahkan, mereka seperti saling tarik menarik, mataku dan matanya, mereka memberontak ingin dipertemukan. 180 menit paling menyiksa. Ini lebih panjang dari segala bencana yang telah terjadi. Ini tragedi.



*



Athena, bandara yang tidak juga asing karena 3 tahun belakangan, passportku terisi capnya empat kali. Kakakku bersekolah disini, begitu juga dia. Dia, yang melambaikan tangan penuh semangat di sebrang kaca. Dia yang mengira telah mengambil hatiku satu tahun belakangan. Dia bekerja dan menetap di negri para dewa sejak SMA. Kami berkenalan 2 tahun lalu dan tepat setahun kemudian memutuskan menjadi sepasang kekasih.

"AUDRI!!" Dia menghambur memelukku, mengatakan segala kekhawatirannya, Mencium rambut dan keningku, memelukku berkali-kali. Tapi bukan dada ini, bukan pundak ini. Aku ingin yang kemarin.

Sudut mataku menangkap, seorang wanita mungil berambut emas memeluk lelakiku. Lelaki yang seharusnya menjadi milikku, sejak masa lalu.

Ini bukan kisah cinta, atau mungkin cerita yang belum terukur kadarnya...
Ini tentang kehilangan, atas apa yang belum pernah kita miliki, ini tentang akhir, dari sesuatu yang belum pernah kita mulai.


Kamu pernah bertemu suatu tempat untuk pertama kalinya, tapi tak merasa asing disana?

Aku pernah..
***********