Pages

Wednesday, May 12, 2010

Jangan Perintahkan Aku Untuk Berhenti...

Jangan perintahkan aku untuk berhenti
Menapaki belantara rimbun sunyi yang berkelar dengan ranjau-ranjau kesepian
Aku tidak gentar dengan gelap yang tersulut dari hitamnya bola mata yang sebentar lagi berembun.
Duka di angkasa yang menjelma abu-abu menjadi pertanda kalau matahari terlalu takut untuk terbit disini.

Jangan bertanya tentang apa arti langkah dari kedua kaki yang selalu ingin menggapai senyum yang tertanam di buah tertinggi, dimana aku tau dia hanya sedang bersembunyi. Lalu aku disini bersiap untuk menemukannya sambil berlari.

Aku tidak berharap bertemu pelangi, karena jutaan butir hujan tak mungkin mampu membuat langkahku pekat untuk menemukan sebutir harap yang selama ini dianggap debu bagi para bangsawan.

Cobalah terbang lebih jauh, dan aku akan memacu jantung agar berdetak lebih kencang sehingga baling-baling rinduku akan menangkapmu lebih cepat.
Usah katakan kau bosan, karena aku akan bereinkarnasi ratusan kali lagi hanya untuk merobek catatan Tuhan bila bukanlah namaku yg bersanding disamping namamu nanti.

Tolong.....jangan perintahkan aku untuk berhenti!

Tuesday, May 11, 2010

Aku yang mencandu...

Aku disini sedang mencandu tanganmu

Dimana saat ke sepuluh jemarimu menggeliat di setiap helai rambutku, batok kepalaku akan menggelayut manja menuju dadamu.
Aku mengira sedang berlayar disebuah kapal yang sebentar lagi karam.
Menunggu retaknya kayu-kayu yang sebagian telah masuk kedalam perut rayap, lalu tengelam.
Tapi tidak setelah kulihat sebuah pulau yang tidak mengharuskan aku berenang.
Pulau itu menghampiri dengan kedua lengan keramik, menghangatkan tubuhku yang hampir basah.
Lalu aku merasa aman untuk pulas dalam peluknya.

Aku disini sedang mencandu matamu

Dimana setiap kali mereka menyorotkan cahaya, mampu membuat gelap di ufuk neraka tak kuasa untuk benderang.
Aku selalu menantinya saat terbuka di kala mentari baru saja lahir dari rahim semesta.
Mengajak dunia untuk bercanda bersama buih samudra yang berkejaran menuju tepi.
Seperti itulah aku, ingin berada dan terperangkap di korneamu, sampai mati.

Aku disini mencandu bibirmu

Dimana saat dia terbuka, itu adalah pintu yang selalu memanggil kaki-kakiku untuk masuk kedalam dan terpenjara hingga ujung detik habisnya pita suara.
Lidahnya selalu berlafaz tentang isi cerita dunia yang meski masuk kedalam gendang telinga, namun tetap aku sulit mendengar ketika katupannya datang sekejap ke depan muka.

Aku disini mencandu nafasmu

Yang kuinginkan selalu menderu di setiap helaanku.
Karena hanya dengan kamu menghirup udara, maka akulah yang akan hidup selamanya.
Ingatanku lepas setiap kali menutup mata.
Sehingga setiap kali kita berjumpa, aku jatuh cinta......seperti kali pertama.

Aku mencintai bongkahan semesta raya berkilau, yang tidak lain adalah engkau...





Tertanda

Aku disini yang mencandu KAMU

******

Pencurian Bumi...

Di hamparan detik yang berkicau, aku datang.
Semua mahluk yang diberi jiwa bertaring, dan aku masih belum juga bertemu insting.
Dari semua guratan yang terpahat, tidak ada satupun yang membuat kakiku yang sedang menari diantara rimbunan nyawa berhenti.
Di tempat ini tiada petang atau sore hari, hanya malam atau pagi.

Langit berwarna putih keperakan.
Ladang tandus kekosongan, dan semua orang hanya berjalan dengan mono kepentingan.

Aku sempat bertanya pada seorang wanita penuh kerutan, dimana pintu keluar tertanam?
Dia hanya mengangkat bahu, gerakannya ku anggap jawaban atas kata tidak tahu.

Lalu aku melanjutkan perjalanan, kedua mataku mencoba membaca petunjuk sekitar.
Tiada keangkuhan pohon berakar, ataupun bangunan besar.
Hanya lumbung-lumbung berisi tanaman layu dan buah-buahan yang tidak lagi segar.
Seikat tanya tumbuh di kepala, dimana tawa-tawa manusia yang dikata binasa?

Tidak ada tawa, juga air mata.
Tidak ada kicauan burung gereja, tapi juga tidak ada tangisan manja para remaja.

Akhirnya aku menancapkan bokong di bibir genangan air besar yang kukira danau.
Mencoba meraih sedikit isinya dengan telapak tangan untuk membasahi tengorokan.
Namun seekor ikan keluar dari dalam, sontak aku diam memperhatikan sebelum akhirnya dia mati beberapa saat setelah menggelinjang.
Lalu biru air menggenang darah-darah duka.
Dan udara di sekitarku sirna...
Aku tercekik, seperti nasib para tanaman di musim paceklik.

Hingga akhirnya salah satu dari mereka menghampiri
Aku kira karena dia perduli, ternyata malah berteriak memerintahkan aku angkat kaki

Dimana ini? aku kira inilah surga setelah aku mati?

Dia manjawab...

Beginilah Surga sekarang ini, segala keindahannya telah dicuri dan diciptakan sendiri di bumi...

*****

Monday, May 10, 2010

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Lambaikan tungkai kakimu saat malam masih berduka.
Lewati kerikil pasir yang tidak mampu membuat luka di akar cemara, dimana pucuk-pucuk daun sedang melawan kantuk.

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Terbangkan nafasmu seiring udara yang memburai bersama debu yang berterbangan.
Mereka sedang menyusun rencana untuk menyampaikan pesan dari jiwa-jiwa berduka yang terlalu pengecut untuk bersuara lantang...

Mari menyelinap perlahan-lahan...

Diantara pualam-pualam kasar yang bertebaran
Mencari mangsa untuk dilukai
Menciptakan cerita untuk ditangisi

Mari menyelinap perlahan-lahan...
Di bawah payung-payung awan
Usah perdulikan bisik-bisik nyinyir
Yang berusaha memadamkan cahayamu dengan mencibir

Sudah mulai dekat ?
Belum?

Berikan tawamu yang paling manis pada jalanan panjang yang selama ini terabaikan syukur.
Pijaki mereka dengan hentakan semangat dan bubuhi mereka denga darah para mahluk kufur.

Jangan berhenti...
Sabit terus menanti untuk kau daki

Mari....
Menyelinaplah perlahan-lahan...

******

aku mengira akulah satu-satunya, ternyata aku hanya salah satu dari mereka..

Udara di sekitarku masih dapat kuhirup dengan baik, walau tidak selega waktu nafasmu turut masuk dalam helaanku.

Aku tertutup?
Iya. Biar orang-orang diluaran sana melihatku selalu bahagia. Sampai tiba saatnya mereka berpikir mungkinkah ada kehidupan yang hanya berisi kebahagiaan? Sekiranya ada, itu pasti akan sangat membosankan. Setiap ruang waktu hanya diisi tawa, lagi, dan lagi.
Sama dengan dunia percintaanku, Kandas....lagi dan lagi.

Mereka bilang aku terlalu pemilih, bagaimana mungkin kamu tidak memilih seseorang yang akan berada disampingmu sampai kamu mati?
Yang akan menjadi awan dalam panasmu...
Menjadi ksatria dalam hidupmu...
Menjadi pengisi setengah darah keturunanmu...

Hingga aku bertemu dia. Bukan hal yang special, justru crusial. Saat dimana bukan hanya aku yang diperlakukan begitu, tapi juga wanita-wanita di dalam phonebooknya, facebooknya, atau bb nya.

Dia asing?
Iya tentu saja. Menatap batang hidungnya pun aku belum pernah, hanya mendengar namanya. Pendamba cinta, itu kira-kira sebutannya. Jaman begini siapa yang tidak mendamba cinta?
Setiap Adam pasti mencari rusuk kirinya,dan setiap Hawa ingin melengkapi rusuk pasangannya.
Begitu juga aku, dan dia.

Dia selalu berkata "Kenapa kamu tidak mempersilahkan aku mencintaimu, setidaknya kenapa kamu tidak bersedia mencoba cintaku?".

Mencoba, cinta mungkin memang harus dicoba dulu sebelum diambil, dibekukan, dan dimiliki. Namun hatiku terlalu pilu untuk itu.
Bukan 1 kali aku masuk kedalam kubangan berdarah yang bernama "cinta". Dan aku perlu waktu untuk membersihkan diri, sebelum aku bersedia melompat kembali.

Waktu, fenomena yang selalu ingin dibunuh manusia. Namun ternyata terlalu kuat, terlalu banal, dan hanya TUHAN yang dapat membuatnya mati.
Bukan aku, bukan dia...
Namun waktu dapat menumbuhkan benih cinta, yang tak mungkin langsung berbuah ranum saat baru berkembang. Cintaku masih masam bila dipetik, dia bilang selalu bersedia menunggu karena dia cinta aku, selalu begitu...seingatku...

Kini kulihat buahnya mulai memerah, seiring perjalanan pertapa menuju taman surga dewa.
Berjalan perlahan, sedikit memberi tapi tak harap kembali. Dia mulai jengah, menunggu dalam pongah. Segala yang diberikan menjadi patokan akan balasan kasih sayang. Dia pergi, dengan alasan tak mampu lagi berdiri. Menanti sesuatu yang belum pasti.

Malam itu temaram sedang meraja, dan mataharipun mati. Gelap, pekat seperti mata hati yang terkoyak. Sahabatku pernah berkata "andai saja kita hidup dimana pusat informasi tidak secanggih sekarang yang diwarnai, friendster, facebook,atau twitter, hidup pasti akan lebih tenang". Saat itu aku tertawa, membayangkan hati sahabatku yang terluka, karena dia sedang kecewa. Tapi kini saat katanya kembali menggenang, aku semakin tau rasanya,hingga alasan pernyataannya.

Dia selalu bilang aku tak menghargainya saat aku pergi dengan sahabat laki-lakiku ,pergi tanpa pamit terlebih dahulu, atau ada mahluk mars lain mendekatiku. Walau sepengingatan otak semutku,dia belum resmi menjadi kekasihku..

Saat baru kurasakan sayap kupu-kupu yang dia ditinggalkan diperutku, mengira dia orang yang mengerti aku, dia justru menjauh. Dengan prasangka dikepalanya, dia merasa aku malu berdampingan dengannya hanya karena aku lebih suka menghabiskan malam minggu diluar jakarta selatan.
Tempatku hidup 25 tahun dalam ancaman.

Detik saat lingkunganku selalu menyebut namanya sebagai pemburu wanita a,b, dan c, ak tetap mencoba menutup mata. Itu tidak mungkin, karena dia selalu menyamakan dirinya dengan Nabi Yusuf yang mendapat fitnah bertubi-tubi karena menolak kaum hawa. Tapi nyatanya, teman-temanku sendiri adalah objeknya. Seorang wanita bahkan menghubungiku hanya untuk memastikan apakah aku kekasihnya karena saudaranya kini sedang dekat dengannya. Saat itu dia sedang menghilang, rasanya untukku dia bilang sedang mati. Atau mungkin baginya aku hanya fiksi..

Tapi dia datang lagi, entah darimana atau karena apa dia datang dengan kata "I miss u" dan kujawab dengan "I miss u to" karena memang itu rasaku, dan aku jujur padanya juga pada hatiku.

Hari itu indah, kami bagai perindu hebat yang melepaskan hasrat. Tangan kami terajut mati, tidak akan ada udara dapat menyelinap, terlalu rapat. Di tudungi cakrawala malam kami saling menatap dan dia menggegam hangat, katanya yang kuingat "Jangan pergi lagi ya".
Aku hanya tersenyum, sejak kapan aku pergi?
Aku selalu disini, mengamati dan bertahan untuk dia disisi.
Karena aku percaya padanya, ambisinya, dan impiannya!!

Dia tidak menyadari bahwa hatiku telah terbuka ikhlas untuknya, semenjak bibirku bersujud di bibirnya..

Namun dia terlampau hebat mengkasihani dirinya, sehingga kasih dariku tak teraba, selalu mendongak menantang langit, menghitung bintang-bintang yang bertaburan untuk mewakilkan patah hatinya, tanpa dia sadar sebanyak itulah berarti dia telah jatuh cinta.

Ini bukan keluhan, hanya samudra perasaan yang tidak aku ketahui dimana dia akan bersemayam. Karena saat cinta bersenggama dengan kekecewaan, kupercaya akan lahir sebuah "Mahakarya".

Aku kira akulah satu-satunya wanita dihatinya, ternyata aku hanya salah satu dari mereka...

...........

Sunday, May 9, 2010

Aku dan Syair..

Ketika para penyair berkhayal untaian syair dan mantra kata-kata yang mereka rangkai suatu saat akan menjadi tali pengekang bakat, aku akan datang dan merobek-robek manusrip mereka.

Jika seseorang meramalkan bahwa apa yang mereka tulis akan menjadi mata air yang tandus.
Sebuah kekuatan akan menuntunku dan kelompok lain untuk menuangkan tinta-tinta kami dalam sumur pelupaan, lalu memecah paksa pena mereka dengan tangan-tangan kelalaian.

Aahh....bukankah itu menyenangkan kawan?

Tapi aku sedih teman...
Aku sedih mendengar para jiwa mengoceh dengan lidah-lidah kebodohan.
Mereka seakan membunuhku demi merengguk anggur perenungan yang mengair diatas pena manusia yang suka berpura-pura.

Terlebih lagi saat kakiku menginjak lembah kebencian serta melihat kenyataan bahwa tempat itu sudah terlalu penuh.
Terlihatlah aku salah satu dari khalayak yang melihat seekor cicak membengkakkan tubuhnya menyerupai seekor buaya.

Syair,sahabatku tersayang, adalah sebuah genangan dari hujan senyuman.
Syair merupakan keluhan panjang yang mengerikan bagi airmata, setiup roh yang mendiami jiwa, yang memiliki makanan hati, yang memiliki anggur kasih sayang.
Naahh...ini dia! Syair dari para imam palsu dimataku!!!

Wahai Jiwa-jiwa para Pujangga, yang melihat kami dari surga Keabadian, kami berjalan menuju altar yg berhias mutiara-mutiara pikiran. Mencoba berpikir keras dengan akal-akal penyempurnaan, sebab kami ditindas oleh dentuman besi dan pabrik-pabrik. Syairku dirasa lebih berat dari muatan kereta api, dan mengganggu seperti bau limbah busuk!!

Kalian para pujangga abadi, maaf kan aku jika syairku menjadi debu yg mengotori kaki kalian...

Aku termasuk dalam dunia baru dimana manusia akan berlari setelah harta benda keduniawian.

Syairku ini adalah sebuah barang dagangan di pagi hari, bukan sebuah nafas kehidupan yang abadi.

Aku yang menentukan hari, kapan kamu akan mati...


Di siang yang cukup terik, botol air minum, kantung plastik bekas, dan debu menjadi sebagian dari aksesoris yang menghiasi tempat kuberpijak saat ini.
Hari ini matahari hanya mampu menghantam sebatas raga. Ya, aku berkeringat karenanya. Tapi jiwaku?
Gelap.....cahayanya tidak mampu menembus batinku walau secercahpun.
Aku tak dapat menemukan apapun disana, terlalu hitam....dan aku tidak berkeinginan untuk mencari putih.

Kini aku menerobos lalu lalang manusia dengan berbagai keperluan.
Aroma sampah dan daging mentah pun berbaur sempurna menusuk penciumanku.
Sambil menjinjing kantung plastik putih hasil belanjaku tadi, aku melewati toko keranjang, toko peralatan olah raga, hingga perlengkapan bayi. Di muka toko terakhir, aku memutuskan menghentikan langkah setelah mataku menangkap gerobak kayu berisi aneka ragam minuman. Di sisi kirinya kulihat gerobak yang menjual makanan kesukaanku sewaktu seragamku masih putih biru.

Ku tancapkan bokongku di kursi panjang di hadapan gerobak-gerobak itu yang juga terbuat dari kayu.

"Baksonya 1 bang, campur semua. Jangan pake seledri ya" kataku pada lelaki di gerobak berwarna biru.

"Teh botol 1 ya bang" kataku lagi pada gerobak disebelahnya.

Lalu akupun mencari posisi ternyaman untuk duduk sementara seorang ibu dengan keranjang berisi aneka bumbu dapur dan semilir bau ayam mentah berdiri, membayar makanannya tadi, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan, aku pun membuka tas abu-abu besar yang kuhimpitkan di ketiak sejak pagi. Aku memeriksa kembali kotak yang ada didalamnya.
Aaah...dia aman, dia masih disitu. Itu adalah kotak berharga, dimana dia menyimpan milikku sejak aku tiba di dunia. Hari ini adalah harinya, dimana aku juga yang akan menentukan nasibnya.

Aku pun melahap sesuap demi sesuap gumpalan daging yang kuragukan bahan dasarnya. Entah sapi, kucing, atau tikus, aku sudah tidak perduli. Rasanya persis seperti "aku" saat ini, hambar.
Setelah menyantapnya dan menyeruput teh botol itu sampai habis, aku berdiri untuk membayar segala yang sudah aku telan tadi. Tiba-tiba sebuah suara dibelakangku berbunyi

"Mbak, ini kain kavan buat apaan?" tanya seorang pria yang mengenakan jacket jeans, berkulit gelap dan bertopi. Usianya ku taksir sekitar 34 tahun. Aku tidak mengenalnya, dan aku tidak suka dia terlihat mengintip kantung plastik putih belanjaanku.

"Bukan urusan anda!" jawabku ketus, dan berlalu meninggalkannya.


*

Mataku yang diterpa semilir angin tetap mampu menangkap warna emas yang menggumpal di atas sana. Dia tidak pernah padam, belum juga padam sejak 1961. Tahun dimana dia diresmikan oleh pemimpin pertama bangsa ini. Dulu aku selalu bermimpi untuk naik ke puncaknya dan aku telah mewujudkannya hampir 1 tahun yang lalu. Kali ini aku datang bukan untuk itu, aku memiliki misi baru. Dan aku tidak ingin menunggu lama seperti waktu lalu.

"Udah bang, disini aja" kataku pada lelaki yang sudah membocengiku dari pasar Mayestik tadi. Setelah mengembalikan helm berwarna hitam kepadanya, aku pun melanjutkan perjalananku.

Ini dia, Monumen Nasional !

Aku selalu mencintai tempat ini, sejak dulu. Entah tamannya, auranya, atau emasnya seakan terus memanggilku. Aku suka menikmati angin sambil berkhayal di sini. Udaranya bersih untuk ukuran ibukota. Aku pasti akan menarik nafas dalam-dalam, jika mampu mungkin akan ku hirup seluruh udara yang ada disini tanpa sisa.

Ok waktunya langsung menuju tempat kejadian perkara. Instruksi otakku tampaknya langsung ditangkap dengan cepat oleh kedua kaki karena mereka kini berpacu hingga sampailah aku di hadapan Husni Thamrin. Seorang politikus Betawi yang dikenal santun. Negara ini mengabadikannya dalam bentuk patung dan diapun kini menjadi penghuni tetap area taman Monumen nasional.

Kini aku duduk di hadapannya, dan segera mengeluarkan kain dari kantung plastik putih yang kubeli siang tadi. Aku hamparkan setelah memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan.
Lalu sekarang aku mengambil kotak didalam tas besarku. Kotak yang selalu aku jaga sejak dulu.
Kupandangi dia sekali lagi sambil mengenang masa-masa saat aku masih memilikinya. Atau lebih tepat jika disebut aku "dimilikinya".

Aaaahhh...aku benci sekali bila harus mengingat hal itu. Begitu saja dia berkendak, maka apapun itu aku selalu saja menurutinya. Dan hari ini, akulah yang akan menentukan nasibnya!

Aku membukanya, dan dia......dia masih bergerak. Berlumuran darah dan masih berdetak.
Kucuri senyuman sabit yang seharusnya hanya terbit kala malam. Ini adalah saat dimana aku akan menerbangkan jutaan burung merpati yang masing-masing membawa batu beban di hidupku.
Kelima jemariku berkerja sama dengan sangat baik untuk mengangkatnya dari dalam kotak putih yang sekarang ternoda warna merah yang berbercak, lalu merebahkannya di atas kavan yang akan menyelimutinya hingga kiamat menjelang atau sampai ragaku melayang.

Kulipat rapih walaupun aku telah lupa bagaimana cara ber origami. Namun kupastikan gumpalan daging itu tidak akan kedinginan. Dia akan terus terhangatkan.
Waktunya menyingkap tanah tepat dibawah Thamrin berdiri. Aku mengkoreknya sendiri dengan kesepuluh jari. Setelah kupastikan cukup dalam, aku tidurkan onggokan yang telah berselimut kavan itu kedalam lalu kutimpa lagi dengan tanah-tanah sisa gerukan tadi.

*Aku melakukannya dengan hati-hati karena aku tidak mau dia mati, aku hanya ingin dia pergi...

Kini dia telah tergunduk rapi. Bersemayam di tempat yang selalu aku datangi meski aku sedang bermimpi. Tertunduk sunyi, tanpa mendengar lagi bisik-bisik nurani.
Saatnya tegak berdiri dan berjalan kembali.
Kuberikan senyum terakhir,

Selamat Tinggal HATI :)


*****

NB : Aku hanya tidak ingin melihat, mendengar, dan mengikuti. Saat ini aku cukup tau kamu masih berdetak. Tidak tau besok, atau nanti...

Saturday, May 8, 2010

Bertemu Hermesian!!


Teman-teman, tanggal 16 nanti datang ya semua ke Museum Mandiri. Hermesian ( sekelompok penulis muda ) akan mengisi slot acara selama 2 jam ( dari jam 1-3 ) Make sure u guys gonna b there :) Disana juga tersedia "ADRIANA" buku keluaran Lingkar Pena Mizan yang ditulis oleh Anggota hermesian (which is Me n Fajar Nugros) dan khusus tanggal 16 nanti, ADRIANA akan discount lhoooo.....soooo c u guys on 16 mei at Museum Mandiri :)

- Artasya Sudirman -

Selamat Datang :)


Hari ini begitu gelap.
Tidak hanya terpancar dari biasan langit yang menghitam, tapi juga dari emosi yang menggumpal. Keringat mengalir menuju pelipis tanpa sekaan hasil perjalanan 2 kaki dari pancoran hingga bundaran HI.
Melody langkahnya semakin cepat diiringi amarah mencekat. Angin malam yang meniup semilir tak membuat hatinya yang terlalu panas mereda, kedua kaki menghentak aspal-aspal kualitas 3 pada lahan ekor naga.

Kualitas 3?
Dimana kualitas 1 ?

Kualitas 1 sudah menjadi bahan export untuk diperdagangkan ke negara lain. Maka dari itu MAMPUSlah roda-roda kendaraan mewah di Jakarta yang terpaksa harus menerobos lubang-lubang sepanjang jalan!!

Kancing-kancing kemeja merah kotak-kotak buatan Bandung tak lagi terkait, membuat kaos dalam berwarna putih yang dibeli dari pasar tanah abang tak perlu mengintip dari kedua kancing teratas.
Langkahnya berhenti di depan kedua pasangan yang selalu menunjukan wajah bahagia…

“SIAPA YANG KALIAN SAMBUT???!!!”

Pasangan itu saling bertatapan lalu menoleh pada sosok pemuda 19 tahun yang merasa dewasa setelah mengantongi KTP selama 2 tahun

“KENAPA DIAM?? SIAPA YANG KALIAN SAMBUT DENGAN WAJAH BAHAGIA ITU?? PARA ATLET YANG BERTARUNG DENGAN KERJA KERAS DAN KERINGAT HINGGA INDONESIA MENDAPAT SEJARAH MEDALI EMAS TERBANYAK DITAHUN KALIAN DIBUAT PUN SUDAH DILUPAKAN WARGA SAAT INI. BUKAN TIDAK MUNGKIN MEREKA YANG BERKALUNG EMAS SAAT ITU KINI SEDANG TERLILIT HUTANG DAN TIDAK LAGI BISA MENGUYAH DAGING SAPI ATAU AYAM. UNTUK APALAGI KALIAN BERDIRI DIATAS SANA?TURUUUUUUNNN!!”

Nafasnya semakin tersenggal-senggal. Teriakannya menggema dibawah bilik awan yang menyaksikan kolam serapah laki-laki muda.

“Apa yang kau ingin kami lakukan apabila kami turun kebawah nak?”

Suara laki-laki diatas sana akhirnya membuat pemuda yang berjalan dari pancoran menuju bundaran HI tidak mengadakan perbincangan sepihak.

“Aku ingin kalian melihat anak-anak bernyayi tanpa alas kaki di samping kaca mobil-mobil mewah, aku ingin kalian melihat kaumku membunuh satu sama lain untuk bertahan hidup, aku ingin kalian melihat pemuda-pemuda meneguk minuman keras sambil merayu para pemudi untuk menemani tidur mereka 1 malam, aku ingin kalian melihat wanita-wanita cantik negri ini mempersembahkan tubuhnya pada laki-laki beristri demi materi, aku ingin kalian melihat pemimpin-pemimpin yang mengiba suara dan beralih muka saat berkuasa. Setelah itu aku ingin tau apakah kalian masih dapat mengatakan Selamat Datang dengan gembira.”

Kedua tangannya mengepal, membangunkan liku-liku urat syaraf

“Siapa namamu anak muda?”

laki-laki yang sekilas tampak mirip dengan mantan gubenur Jakarta dengan masa jabatan tersingkat (1964-1965) Henk Ngantung bertanya.

“Apa artinya sebuah nama rakyat kecil seperti saya yang hanya mengantungi ijazah Sekolah Menengah Atas karena harus mengakui Negara tempat saya berpijak adalah Negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia??”

“Tenang anak muda, tenang”
kali ini giliran wanita si pendamping laki-laki yang bersuara.

“TENANG?? KALIAN MINTA AKU TENANG?? Taukah kalian kalau disini jarang sekali dijumpai sekedar kursi-kursi pinggir jalan atau taman tempat duduk-duduk tenang? Bahkan kita tidak memiliki keran air minum gratis untuk menghapus dahaga para pejalan kaki yang keselamatannya terancam.

“Apa kau pernah berusaha untuk mencintai bangsamu?”

“Ha-ha-ha” tawanya meledek, “Kalian pikir kami bisa mencintai sejarah bangsa ini dengan melihat museum-museum yang tidak menawarkan eksibisi internasional? Tempat-tempat itu terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana…cuuuiih!”

“Lalu untuk apa kamu tinggal di tempat yang tidak kau cintai?”

“KARENA AKU STUCK DISINI, AKU TIDAK PUNYA PILIHAN LAIN. TAUKAH KALIAN BETAPA SUSAHNYA MENCARI LAHAN PEKERJAAN DI KOTA INI? DARIMANA AKU MENDAPAT UANG UNTUK HENGKANG DARI NEGRI YANG SEBENTAR LAGI HANCUR BERANTAKAN? MENGAPA NURDIN M TOP TIDAK MEMBUAT BOM DENGAN SKALA YANG LEBIH BESAR UNTUK MENGHANCURKAN NEGARA INI??AKU MUAK DENGAN PERNYATAAN : JANGAN TANYA APA YANG NEGARA INI SUDAH BERIKAN PADAMU TAPI APA YANG SUDAH KAMU BERIKAN UNTUK NEGARA INI. APA YANG BISA KUBERIKAN BILA AKU TIDAK MEMPUNYAI APAPUUUNN???”

“Kami melihat kau mempunyai kaki-kaki yang kuat untuk sampai kemari melewati Dirgantara dan Sudirman”

“YA, KEDUA PATUNG BODOH ITU. SEKARANG AKU HARUS MEMASUKAN KALIAN BERDUA KEDALAM DAFTAR PATUNG-PATUNG BODOH!!!!!.”

“Nak, Dirgantara tetap menunjuk cita-citanya ke bandara pertama yang dimiliki Indonesia, KEMAYORAN. Agar bangsa ini dapat terbang tinggi dan dilihat bangsa lain, dia tetap menunjuk cita-citanya meski kini bandara kemayoran sudah tidak ada. Tidakkah kaummu dapat melihat semangatnya saat mereka sedang merasa tidak lagi dapat melihat cita-citanya?”

Lelaki itu kini terdiam, bara api di dadanya mulai memadam walau belum mati…, diapun menolehkan kepalanya kea rah kiri…

“Lalu bagaimana dengan Sudirman? Untuk siapa dia memberi hormat? Bangsa inii??!!”
Katanya sambil menunjuk patung pemuda yang mendapat gelar Jendral pada usia 31 itu.

“Sudirman menghormat kepada mereka yang menghormati bangsanya nak!!”

Pemuda itu kini menitikan air mata, menjatuhkan kedua lututnya diatas aspal kualitas 3. Tangannya masih mengepal, keringat dan air mata bersenggama lalu ber ejakulasi kesadaran akan cintanya pada Negara…

“Lalu kalian, kepada siapa kalian mengucapkan Selamat Datang dan tersenyum?” tanyanya dalam isak..


“Kami mengucapkan Selamat Datang pada Rasa Cinta yang mulai tumbuh di dada kalian, dan kami tersenyum karena selalu percaya kalau rasa cinta itu tidak akan pernah binasa…”


***


SELAMAT DATANG….